17 Tahun Bom Bali, Bersatu dalam Doa di Ground Zero

Tragedi bom Bali 12 Oktober 2002 diperingati di area Ground Zero, Kuta. Menyatukan berbagai bangsa dalam doa bersama.

KUTA, Kanalbali – Mata Endang Isnanik (48) tampak berkaca-kaca saat proses tabur bunga di Monumen Ground Zero Bali (Tugu Peringatan Bom Bali), Sabtu malam (12/10).

“Ini sudah 17 tahun, tapi luka yang para teroris buat masih terus membekas sampai sekarang. Ini sangat sulit dilupakan, tapi sebagai manusia, saya hanya bisa berusaha,” ungkap perempuan asal Banyuwangi itu.

Isnanik bercerita, kala kejadian kelam itu terjadi, suaminya berprofesi sebagai supir. Saat itu, sang suami yang bernama Aris Munandar sedang menunggu penumpang yang sedang berkunjung ke dalam Sari Club. Malang tak bisa dicegah, ledakan bom yang terjadi hanya beberapa meter dari sang suami, membuat suaminya meninggal dunia dengan luka bakar yang parah.

“Jenazahnya masih utuh, karena suami saya berada di dalam mobil. Tapi walaupun utuh, luka bakar yang ia derita sangat parah. Kalau tidak ada di dalam mobil, mungkin akan lebih dari itu,” jelasnya seraya menahan tangis.

“Untuk itu saya berharap kepada siapapun agar tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang banyak, termasuk melakukan aksi teror,” jelasnya.

Itu pula yang dirasakan Tatako Suzuki, warga Jepang yang kehilangan anaknya pada peristiwa 12 Oktober 2002 itu. Air matanya tak terbendung saat karangan bunga disematkan di depan Tugu Peringatan Bom Bali, Sabtu (12/10).

“Saya hampir setiap tahun datang ke tempat ini, dengan datang ke sini saya bisa lebih kuat untuk menjalani hidup. Karena di sini saya bisa lebih merasa bertemu dengan anak saya ,” ungkapnya.

Tatako bahkan mengakui, hingga saat ini dirinya belum bisa menerima kepergian sang anak. Namun ia sadar, sang anak akan lebih tenang di alam sana saat melihatnya ikhlas melepas kepergiannya. Menurut pengakuan Tatako, anaknya berlibur ke Bali bersama istrinya. Nasib buruk itu datang pada malam pertama sang anak di Bali. (kanalbali/KR13)