Kewenangan dan Ke-(se)-wenang-an

I Gusti Ngurah Karyadi, Aktivis di Bali - IST
I Gusti Ngurah Karyadi, Aktivis di Bali - IST

“Ketika hukum dibuat untuk melindungi penguasa, bukan rakyat, maka hukum telah menjadi alat penindasan” (Michael Faucault)

Tulisan oleh I Gusti Ngurah Karyadi

Kutipan Faucault saya tempatkan mencermati dinamika penguasa, dan/atau aparat negara akhir-akhir ini. Mulai dari kasus Rempang (Jambi), Tumpang Pitu (Jatim), Raja Ampat (Papua),  sampai kasus Pantai Bingin (Badung-Bali). Semua atas nama hukum dan kewenangan tetapi juga bisa jatuh kepada Ke-(se)-wenang-an.

Gubernur Bali Wayan Koster bersama Pemkab Badung membongkar 48 unit tempat usaha diduga ‘ilegal’ yang berdiri di sepanjang pesisir dan tepi jurang Pantai Bingin, Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.

Koster menyebut tempat usaha tersebut ilegal adalah lahan tersebut merupakan aset Pemerintah Kabupaten Badung, pesisir dan tebing di Pantai Bingin termasuk kawasan hijau sehingga dilarang mendirikan bangunan dan pembangunan tempat usaha tanpa izin.

Terlebih mengingat sejumlah aturan yang dijadikan alasan, seperti  PP Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara juncto PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Selanjutnya, UU Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang dan PP Nomor 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Termasuk, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pada tahun 2021, warga atas nama Desa Adat, mengajukan hak pengelolaan Pantai Bingin ke Pemkab Badung setelah adanya aturan tentang penyelenggaraan tata ruang dan kawasan lindung. Namun ditolak, dan kemudian menjadi dasar Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar (Kumparan, Senin, 21/7/2025).

Bukankah UU dan Peraturan, yang terkait Hak Menguasai Negara/Pemerintahan atas “bumi, air dan kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, seperti diatur dalam Pasal 33 UUD 1945?

Sehingga, ada tindakan  Ke-(se)-wenang-an, sewenang-wenang, atau biasa disebut: Perbuatan Melawan Konstitusi, atau pun Hukum oleh Penguasa/PMHP (Onrechtmatige Overheidsdaad), sebagai mana diatur dalam Peraturan MA (Perma) No. 2/2019, yang menyebutkan PMHP yakni perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka 4 Perma 2/2019 diterangkan bahwa, “sengketa perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) adalah sebuah sengketa yang terjadi dari perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, dimana di dalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah dan/atau batal tindakan pejabat pemerintahan, dan/atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Lebih jauh, mengikuti Ridwan, dalam buku Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah (hal. 171), yang menerangkan bahwa tindakan pemerintah yang dapat menyebabkan PMHP (Onrechtmatige Overheidsdaad) dapat berupa ‘tindakan hukum’ (Rechtshandeling) dan tindakan nyata (feitelijke handeling). Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ditujukan untuk suatu akibat hukum, tetapi dapat menimbulkan akibat hukum.

Berdasarkan Pasal 175 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 8 UU Administrasi Pemerintahan, dimana tindakan administrasi pemerintahan didefinisikan sebagai perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan demikian, tindakan pemerintah dalam rangka menyelenggarakan pemerintah serta pelayanan publik, baik tindakan tersebut merupakan perbuatan hukum maupun perbuatan nyata, jika menyebabkan kerugian baik secara ‘sengaja’ (Penyalahgunaan wewenang), maupun ‘tidak dengan niat’ seperti kelalaian (Negligence) tetap dapat dikategorikan sebagai PMHP (Onrechtmatige Overheidsdaad) dan dilekati dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.

Menuntut Ganti Rugi

Sebagai contoh ilustrasi, peristiwa seperti kecelakaan lalu lintas yang disebabkan jalan umum yang rusak namun tidak dilakukan perbaikan, menurut hemat kami menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah dan sudah memenuhi unsur kelalaian pemerintah, sehingga dapat dikategorikan kepada perbuatan melawan hukum.

Sepanjang penelusuran kami dalam peraturan perundang-undangan terdapat dua cara yang dapat ditempuh untuk menuntut ganti kerugian atas perbuatan melawan atau melanggar hukum pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad), yaitu melalui Ombudsman dan gugatan ke PTUN. Berikut ini akan kami jelaskan satu persatu.

Ajudikasi Khusus Melalui Ombudsman

Pada dasarnya, kerugian yang disebabkan oleh pemerintah karena penyalahgunaan wewenang dapat dimaknai menjadi dua hal, yaitu:

Pertama, penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara;

Kedua, penyalahgunaan wewenang yang tidak menimbulkan kerugian negara, namun menimbulkan kerugian untuk masyarakat.

Penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah yang menimbulkan kerugian negara lebih lanjut diatur dalam UU Tipikor dan perubahannya.

Sementara itu, penyalahgunaan wewenang yang tidak menimbulkan kerugian negara namun menimbulkan kerugian bagi masyarakat disebut sebagai maladministrasi atau perbuatan pemerintah yang tidak memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dalam Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman diterangkan bahwa setidaknya ada beberapa unsur maladministrasi, yaitu:

– perilaku atau perbuatan melawan hukum,

– melampaui wewenang,

– menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut;

– termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum;

– dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

– dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan;

– dan menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Berdasarkan UU Pelayanan Publik jo. UU Ombudsman, karena perbuatan melawan hukum oleh pemerintah dikaitkan dengan perbuatan maladministrasi, maka dalam hal ini Ombudsman berwenang untuk melakukan ajudikasi khusus atas laporan dari masyarakat untuk memutuskan ganti kerugian yang dapat diberikan kepada pihak pelapor, sesuai Peraturan Ombudsman 31/2018.

Pasal 50 ayat (5) UU Pelayanan Publik menerangkan bahwa ajudikasi khusus dilakukan untuk penyelesaian ganti rugi, di samping mediasi dan konsiliasi.

Lebih lanjut, Pasal 1 angka 6 Peraturan Ombudsman 31/2018 menerangkan bahwa ajudikasi khusus adalah ajudikasi yang hanya terkait dengan penyelesaian ganti rugi. Penyelesaian ganti rugi dalam ketentuan ini dimaksudkan jika tidak dapat diselesaikan dengan mediasi dan konsiliasi.

Ajudikasi khusus ini merupakan persidangan yang dilakukan oleh Ombudsman atas laporan dari masyarakat untuk memutus ganti kerugian yang dapat diberikan kepada pihak pelapor, dalam bentuk rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan sesuai dengan Pasal 8 angka 1 huruf f UU Ombudsman.

Adapun, putusan ajudikasi khusus berdasarkan Pasal 25 Peraturan Ombudsman 31/2018 bersifat final, mengikat dan wajib dilaksanakan oleh terlapor paling lama 60 hari sejak putusan diterima. Putusan ajudikasi khusus akan disampaikan kepada terlapor, atasan terlapor, DPR, dan presiden. Kemudian, Ombudsman akan melaksanakan monitoring untuk memastikan pelaksanaan putusan ajudikasi khusus tersebut.

Mengajukan Gugatan

Berdasarkan UU Pelayanan Publik, gugatan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah (Onrechtmatige overheidsdaad) dapat diajukan ke PTUN. Berdasarkan Pasal 51 UU Pelayanan Publik, masyarakat dapat menggugat penyelenggara atau pelaksana melalui peradilan tata usaha negara apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan kerugian di bidang tata usaha negara.

Lebih lanjut, Pasal 52 ayat (1) dan (2) UU Pelayanan Publik menerangkan bahwa dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik, masyarakat dapat mengajukan gugatan terhadap penyelenggara ke pengadilan. Pengajuan gugatan terhadap penyelenggara ke pengadilan tidak menghapus kewajiban penyelenggara untuk melaksanakan keputusan Ombudsman dan/atau penyelenggara.

Batasan Ganti Rugi

Merujuk PP 43/1991 ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang, kepada orang atau badan hukum perdata atas beban badan tata usaha negara berdasarkan putusan PTUN karena adanya kerugian materiil yang diderita penggugat.

Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab badan tata usaha negara pusat, dibebankan pada APBN. Sementara ganti rugi yang menjadi tanggung jawab badan tata usaha negara daerah dibebankan pada APDB. Sedangkan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab badan usaha tata negara selain pusat dan daerah menjadi beban keuangan yang dikelola oleh badan itu sendiri.

Adapun, batasan besaran ganti rugi menurut PP PP 43/1991 adalah paling sedikit Rp250 ribu, dan paling banyak Rp5 juta dengan memperhatikan keadaan yang nyata, yang dapat dibebankan dalam APBN, APBD, atau keuangan dari badan tata usaha negara yang terkait.

Berdasarkan paparan tersebut, maka Gubernur Bali dan aparat bawahan untuk menahan diri.  Sekaligus menghindari ke-(se)-wenang-an, atau Perbuatan Melawan Hukum Penguasa, dan/ atau Penindasan. Meletakkan masalah pada tepatnya (Sapa), hukum dan keadilan rakyat (Rta), dalam mencapai kesejahtraan bersama (Kertha). (kanalbali/IST )

Apa Komentar Anda?