Sugesti di Balik Botol Merah Penangkal Anjing

Ilustrasi - Anjing. Foto: Pixabay
Ilustrasi - Anjing. Foto: Pixabay

Penulis: Angga Wijaya

BALI tak pernah kehabisan cerita unik. Salah satunya: botol plastik bekas berisi air merah yang kini menghiasi pagar rumah, halaman toko, hingga gang sempit di Denpasar, Badung, dan Gianyar.

Botol-botol itu bukan instalasi seni atau tanda larangan parkir, melainkan penangkal anjing menurut keyakinan warga.

Seperti doa kecil yang digantungkan pada sepotong plastik, mereka berharap anjing tak lagi buang air sembarangan. Namun, sains punya cerita lain tentang warna merah dan perilaku anjing.

Fenomena botol merah ini merebak cepat di Bali. Warga menganggapnya solusi murah dan sederhana dibanding harus memasang pagar atau repelan mahal.

Cairan merah biasanya campuran air dan pewarna makanan.

“Sejak saya taruh botol ini, jarang ada anjing buang kotoran di sini,” kata seorang warga sebuah banjar Denpasar, ketika ditemui. Ia mengaku tahu cara ini dari unggahan Facebook yang viral beberapa bulan lalu. “Katanya di Jepang juga dipakai,” imbuh dia.

Praktik menaruh botol berisi air untuk menghalau hewan memang bukan hal baru. Di Jepang, misalnya, sejak awal 1990-an tren “water bottle pet repellent” dipakai untuk mencegah kucing kencing di taman atau halaman rumah.

Di Amerika Latin pun sempat populer. Meski akhirnya dianggap “urban myth”, ia telanjur menyebar ke berbagai negara. Di Bali, warna merah memberi dimensi baru. Bagi sebagian orang, merah dianggap “berani” atau “angker” sehingga lebih “ditakuti” anjing.

Secara ilmiah, anjing tidak melihat warna merah sejelas manusia. Penelitian menunjukkan anjing memiliki penglihatan dikromatik; mereka lebih peka pada biru dan kuning, sedangkan merah dan hijau tampak sebagai gradasi keabu-abuan.

Indera utama anjing adalah penciuman dan pendengaran, bukan penglihatan warna. Jika ada botol berisi air merah, anjing mungkin sekadar mengendus sebentar lalu pergi, atau justru tidak peduli sama sekali.

Uji coba di Jepang pada awal 2000-an menunjukkan bahwa kucing tetap kencing di area yang dipasangi botol air. Artinya, tidak ada bukti ilmiah kuat bahwa botol air — apalagi berwarna merah — efektif mencegah anjing buang air sembarangan.

“Kalau setelah taruh botol lalu anjingnya jarang datang, orang merasa itu berhasil. Padahal bisa jadi kebetulan saja,” kata seorang dokter hewan di Denpasar.

Mengapa Tetap Dipakai?

Jawabannya sederhana, yakni, murah, mudah, dan “mujarab” menurut pengalaman pribadi. Faktor psikologis seperti bias konfirmasi ikut berperan.

Ketika seseorang percaya sesuatu akan berhasil, ia lebih mudah mengingat kejadian yang mendukung keyakinannya dan melupakan yang bertentangan. Selain itu, botol merah memberi kesan ada “penghalang” sehingga orang (dan mungkin pemilik anjing) enggan mendekat.

Ada pula faktor budaya. Warna merah di Bali identik dengan keberanian dan energi. Dalam konteks religius, merah kerap digunakan dalam upacara tertentu. Warna ini mungkin memberi aura “larangan” meskipun ditujukan untuk hewan.

Fenomena botol merah menciptakan wajah baru pada ruang publik Denpasar,  Badung, dan Gianyar. Di satu sisi, warga merasa lebih berdaya menjaga kebersihan lingkungan.

Di sisi lain, deretan botol bekas memberi kesan semrawut pada trotoar dan halaman. Jika tidak dikelola, botol-botol ini sendiri bisa menjadi sampah plastik tambahan ketika sudah usang.

Pemerintah kota dan kabupaten sebenarnya memiliki program pengelolaan anjing liar dan kampanye “Bali Clean and Green”. Namun, implementasi di lapangan kerap tidak sejalan dengan kebutuhan warga sehari-hari.

Fenomena botol merah menunjukkan bagaimana masyarakat mencari solusi sendiri di luar kebijakan formal.

Solusi Alternatif yang Lebih Efektif

Jika tujuan utamanya adalah mencegah anjing buang air sembarangan, pakar menyarankan pendekatan yang lebih berbasis perilaku dan bau, bukan warna.

  • Dialog dengan pemilik anjing: pasang papan pengingat atau ajak bicara tetangga agar membawa anjingnya dengan tali dan membersihkan kotorannya.
  • Penghalang fisik: pasang pagar rendah, pagar tanaman, atau pot bunga berderet di titik yang sering jadi “toilet” anjing.
  • Repelan berbasis bau: gunakan cuka encer, kulit jeruk, atau repelan komersial yang aman untuk hewan.
  • Sprinkler sensor gerak: pemasangan sprinkler otomatis yang aktif saat ada gerakan bisa mengusir anjing dengan cara ramah — hanya percikan air tanpa menyakiti.
  • Manajemen lingkungan: pastikan tidak ada sisa makanan atau sampah di area yang menarik anjing.
  • Program komunitas: dorong kelurahan atau banjar bekerja sama dengan dinas terkait untuk sterilisasi, vaksinasi, dan pengelolaan anjing liar

Fenomena botol merah bisa menjadi pintu masuk untuk edukasi publik tentang pengelolaan hewan peliharaan dan lingkungan.

Media lokal, organisasi pecinta hewan, dan pemerintah daerah dapat memanfaatkan isu ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa kebersihan bukan hanya soal “mengusir” hewan, tetapi juga soal tanggung jawab pemilik.

Seorang aktivis pecinta hewan di Bali menyebut, “Anjing buang air sembarangan bukan salah anjingnya, tetapi lebih pada minimnya pengawasan dan pengelolaan.

Kalau pemilik disiplin dan anjing liar dikelola, masalah ini selesai tanpa perlu botol merah.”

Antara Kreativitas dan Realitas

Botol air merah penangkal anjing di Denpasar, Badung, dan Gianyar adalah contoh menarik bagaimana masyarakat menciptakan solusi sendiri berdasarkan kepercayaan, pengalaman pribadi, atau mitos yang menyebar lewat media sosial.

Meski belum terbukti secara ilmiah, praktik ini menunjukkan kegelisahan warga terhadap masalah kebersihan dan minimnya pengelolaan anjing liar.

Warna merah mungkin tidak “ditakuti” anjing, tetapi fenomena ini menyoroti satu hal penting: warga Bali peduli pada kebersihan lingkungannya dan bersedia mencoba cara-cara baru, meskipun sederhana.

Agar upaya ini lebih efektif, dibutuhkan pendekatan yang menggabungkan edukasi pemilik hewan, penghalang fisik, repelan berbasis bau, dan program pengelolaan anjing liar yang lebih serius dari pemerintah.

Dengan begitu, Denpasar, Badung, dan Gianyar tidak hanya akan dikenal karena kreativitas warganya, tetapi juga karena kebersihan dan pengelolaan lingkungan yang manusiawi terhadap hewan. Botol merah bisa jadi simbol awal — bukan akhir — dari perubahan menuju kota yang lebih bersih dan ramah. (Kanalbali/IST)

Apa Komentar Anda?