Obama, ARMA dan Ubud yang Tersisa

Tulisan Menjelang 28 Tahun Museum ARMA oleh I Gede Joni Suhartawan

“Proud of you. I love it.”

Begitu ucapan ringkas Barack Obama kepada Agung Rai setelah mengunjungi ARMA, tujuh tahun silam, 24 Juni 2017. Ucapan presiden Amerika Serikat ke-44 itu sangat tertanam di benak pendiri ARMA ini dan yang juga ia sampaikan kepada teman-teman media kala itu saat ditanya apa kesan Obama setelah dua jam lebih menjelajahi area ARMA.

ARMA kala itu lumayan kelabakan dengan kedatangan Obama yang mendadak dan nyaris tanpa pemberitahuan kepastian datang.

Didahului kehadiran sejumlah bule berseragam jas hitam, yang ternyata petugas sekuriti, tiba-tiba saja sudah menyebar di area ARMA, Obama datang beserta keluarganya, tanpa upacara protokoler.

Obama datang bersama Michelle, istrinya, dan sang adik, Maya Sutoro, berikut kerabatnya yang lain, nyeleseh begitu saja masuk, diterima oleh pasangan suami istri owner ARMA, Gung Aji (Anak Agung Gde Rai) dan Gung Biyang (Anak Agung Rai Suartini), yang tergopoh-gopoh menyambut.

Tentu itu bukan sekadar basa-basi seorang tamu tokoh dunia terhadap tuan rumahnya.

Obama menghabiskan waktu dua jam lebih untuk menikmati ARMA. Dalam rentang waktu tersebut, bukan dihabiskannya buat duduk manis mencecap sajian sambil mendengarkan pemaparan tuan rumah, tetapi dihabiskannya untuk berkeliling ke setiap area dan sudut-sudut ARMA.

Dia justru berhenti dan duduk agak lama ketika berada di halaman dalam Pura Dalem yang bersebelahan persis dengan komplek ARMA, bahkan turut ngaturang bhakti, berdoa
mengheningkan cipta bersama.

Sepertinya sebuah perjalanan “healing” dalam arti sesungguhnya dari seorang pelancong yang memandang Bali, khususnya Ubud, sebagai “jantung hatinya Bali”

Bersyukur ARMA masih menyimpan Ubud yang seperti itu. Di dalam komplek ARMA seluas hektaran itu, Obama dan rombongan bisa menyaksikan langsung persawahan, sungai dan vegetasi tropis yang beragam.

Areal sawah yang membentang sangat ramah mata untuk melayangkan pandang sejauh horison walau di beberapa titik mulai dirambati bangunan-bangunan aneka bentuk. Sungai kecil yang airnya mengalir lincah bersama gemericik suara yang ditimbulkannya.

Aneka vegetasi tropis mulai dari pohon-pohon besar, berbagai jenis perdu hingga rerambatan tertata natural namun rapi. ARMA menanam dan memelihara dengan telaten tanaman-tanaman obat dan tanaman langka lainnya, menjadi bagian dari lanskapnya yang berkonsep taman.

Tak heran di taman seperti ini burung-burung, capung dan kupu-kupu acap kali bersliweran dengan merdeka. Dalam taman seperti itulah, bisa dijumpai pula kegiatan berkesenian orang Ubud pada umumnya. Megambel, menari, melukis, memahat dan bersesaji.

ARMA masih “menyimpan” semua hal yang disebutkan tadi, dengan penuh dedikasi, sebagai museum seni ala Agung Rai! Keberadaan ARMA di tengah Ubud kekinian seolah menjadi semacam oase penawar dahaga, obat rindu dendam terhadap “si jantung hati Bali” ini.

Betapa tidak, kini Ubud mudah banjir, sesak bangunan, padat kendaraan mesin berbahan bakar gasoline, macet dan seterusnya. Hal ini telah “mengagetkan” semua pihak termasuk orang Ubud sendiri.

Mudah banjir padahal secara geografis tergolong dataran tinggi. Apa yang terjadi jika dataran tinggi mudah banjir? Apa yang terjadi antara kebijakan dengan kebutuhan di Ubud?

Bagaimana Ubud lega dari sesak bangunan dan kemacetan lalu lintas, yang hampir setiap hari terjadi, yang bahkan justru mengganggu denyut kehidupannya sendiri? Ada apa dengan si jantung hati Bali ini?

Maka dapat dimengerti sekarang, kenapa Obama, ketika akan berpamitan pulang dari ARMA mengucapkan dengan sungguh-sungguh kepada ARMA, “Proud of you. I love it!”
Kini 2024, ARMA mencapai umur 28 tahun di bulan Juni. Tetapkah ARMA menyimpan Ubud si jantung hatinya Bali itu? (SELESAI)

 

Apa Komentar Anda?

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.