Lontar Soal Ayam ; Untuk Aduan Hingga Persembahan

Bali merupakan pulau ritual. Setiap hari, dari pagi hingga malam kita pasti mendapati segala bentuk ritual. Setiap ritual tentu memiliki tujuan dan aspek filosofisnya tersendiri. Dalam segenap perjalanannya, ritual menggunakan berbagai sarana.

Salah-satu sarana ritual yang biasa digunakan oleh umat Hindu di Bali adalah hewan ayam. Ya, Kita selalu akrab dengan hewan satu ini. Hewan yang biasa kita manfaakan sebagai bahan pangan berprotein tinggi, binatang peliharaan, hingga petarung dalam ajang perjudian. Ayam begitu melekat dengan kehidupan manusia.

Pada diskusi bertajuk “Suka Duka di Tanah Bali” oleh Balebengong  Minggu, (20/10). Ayam menjadi topik bahasan menghadirkan Apung, seorang pecinta ayam asal desa Angantiga, Karangasem. Sejak kecil dia sudah memiliki kecintaan terhadap hewan khususnya ayam.

Dalam ranah religius ia menyatakan ayam adalah binatang yang istimewa.“Bagi masyarakat Hindu, ayam adalah representasi dari tiga tingkatan eksistensi manusia: etis, estetis dan religius. Karenanya ayam lazim digunakan dalam upacara keagaman sebagai bentuk dari harmonisasi hubungan vertikal manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Beda upacara, beda pula ayam yang harus dihadirkan. Begitu pula beda daerah, beda pula dengan tradisinya walaupun sama-sama di tanah Bali” paparnya.

Ayam adalah simbol energi, simbol  etos kerja yang baik yang harus ditiru oleh manusia. “Setiap upacara Yadnya, baik Dewa Yadnya hingga Manusia Yadnya, ayam menjadi sarana utama dalam persembahan Caru. Hal ini sudah tertulis dalam sastra Hindu. Caru adalah ritual penyucian alam yang mana darah ayam dan organ lain adalah elemen utama” kata Apung.

Lebih lanjut Apung berkata ” Hindu Bali memang agama ritual, bahkan dulu darah manusia adalah yang utama dalam upacara, namun semenjak ada undang-undang mengenai hak asasi, darah manusia digantikan dengan darah dari hewan termasuk ayam” kata dia.

Dalam sastra Hindu, ayam juga mendapatkan tempat yang khusus.”Ada Lontar Pengayam-ayam, lontar ini seperti  jurnal bagi para petarung ayam, didalamnya banyak membicarakan sabung ayam atau biasa disebut Tajen” ungkapnya.

Dalam Lontar Pengayam-ayam, banyak menyinggung tentang ayam yang dijamin tidak kalah saat diadu. Selain ciri bawaan ayam yang mendatangkan keberuntungan, hari pertandingan pun berpengaruh. Siapa sangka, setiap jenis ayam memiliki hari baik tersendiri.

Namun sekarang lontar ini sudah tidak begitu relevan. Hal ini dikarenakan sudah ada ayam import dari negara lain dan tidak masuk klasifikasi seperti yang termuat dalam lontar pengayam-ayam. Dibandingkan Tajen, Apung lebih menaruh perhatian kepada ayam yang diperuntukan untuk upacara.

“Menjadi sarana upacara adalah keberuntungan tersendiri bagi si ayam. Ayam yang dikorbankan  mendapatkan doa dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik” kata dia.

Varietas ayam Bali yang sesuai dengan apa yang digambarkan dalam sastra mulai berkurang. Hal ini disebabkan oleh adanya kawin silang serta menjadikan ayam sebagai konsumsi sehari-hari.

“Orang Bali zaman dulu makan ayam setelah selesai upacara. Ayam adalah persembahan bagi para dewa, setelah dilungsur baru dimakan, bahkan ada aturan dalam memasaknya. Lebih sering dibakar,” imbuhnya.

Dikarenakan ayam yang digambarkan dalam sastra kini mulai berkurang dan tak jarang orang mengalami kesulitan ketika berusaha mendapatkanya untuk upacara. Mulai tahun 1993, Apung bereksperimen dengan pembiakan, menghadirkan isi naskah lontar menjadi bentuk ayam yang layak menjadi persembahan di berbagai upacara adat. (kanalbali/NAN)