DENPASAR, kanalbali.id – Konsekuensi kemacetan di Bali semakin nyata: waktu tempuh yang kian panjang, meningkatnya polusi udara dan emisi, hingga menurunnya kenyamanan dan inklusivitas pengguna jalan.
Dampak ini dirasakan baik oleh warga maupun wisatawan, dan akan menggerus kualitas hidup serta daya tarik Bali sebagai destinasi wisata dan tempat tinggal jika terus dibiarkan.
Sebagai isu yang dihadapi bersama, kemacetan juga perlu ditangani secara kolektif. WRI Indonesia menyelenggarakan diskusi publik “Bali Bicara: Bali Bebas Macet, Bisa?” pada 12 Desember 2025 di Dharma Negara Alaya, Denpasar dengan menghadirkan perwakilan pemerintah, Desa Adat, komunitas, organisasi non-pemerintah, serta masyarakat umum.
Forum ini menjadi ruang refleksi catatan akhir atas berbagai upaya yang dilakukan sepanjang tahun 2025 untuk mendorong transportasi berkelanjutan. Masing-masing perwakilan berbagi soal tantangan dan peluang yang muncul selama satu tahun terakhir, sekaligus pelajaran yang perlu diprioritaskan untuk memperkuat gerakan bersama di tahun mendatang.
“Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kemacetan di Bali, seperti pertumbuhan jumlah kendaraan hingga keterbatasan infrastruktur transportasi. Dibutuhkan kombinasi push and pull policy yang efektif, terutama peningkatan layanan transportasi publik serta infrastruktur tidak bermotor (jalan kaki dan sepeda).
Ketika masyarakat memiliki alternatif mobilitas yang aman, nyaman, dan bisa diandalkan, kemacetan dapat dikurangi secara signifikan,” ujar Arya Putra, Sustainable Transport Specialist WRI Indonesia.
Di sisi komunitas, refleksi penting muncul dari penghentian sementara Trans Metro Dewata di awal tahun 2025.
“Kami terus mengadvokasikan kebijakan kepada pemerintah dan mengedukasi masyarakat bahwa transportasi publik adalah kunci untuk mengurangi kemacetan. Kejadian TMD menjadi pengingat bahwa mekanisme yang berkelanjutan dan komitmen yang kuat dari pemerintah diperlukan supaya layanan transportasi publik tetap tersedia sepanjang tahun.” ujar Bram Adimas Wasito dari Forum Diskusi Transportasi Bali (FDTBali).
Selain transportasi publik, tata ruang jalan merupakan aspek krusial dalam menciptakan mobilitas berkelanjutan. Menghadirkan Kopeka (Komunitas Pejalan Kaki Bali) dan Denpasar Bersepeda, diskusi ini turut membahas pentingnya infrastruktur yang berorientasi pada pengguna jalan non-kendaraan bermotor, seperti LEZ yang diharapkan dapat mengurangi kemacetan sekaligus meningkatkan kenyamanan dan inklusivitas ruang kota.
Langkah inovatif untuk mendorong mobilitas berkelanjutan juga muncul di tingkat Desa Adat.
“Pengoperasian shuttle listrik Intaran di wilayah Danau Tamblingan menjadi contoh bahwa Desa Adat bisa menjadi penggerak tersedianya layanan transportasi publik. Upaya shuttle listrik Intaran dan penertiban parkir, serta dukungan pelebaran pedestrian oleh Pemerintah Kota Denpasar diharapkan dapat mengurangi kepadatan kendaraan, sekaligus mendorong pariwisata Sanur yang lebih berkelanjutan” ujar Anak Agung Gede Aryateja, selaku ketua BUPDA Intaran, Sanur. Selain Desa Adat Intaran,
“Bapak Gubernur menyadari penuh urgensi isu kemacetan, dan sudah tercermin dalam alokasi anggaran provinsi di tahun 2026 untuk memperkuat layanan transportasi publik. Mandat yang diberikan dalam mengatasi kemacetan meliputi pengembangan transportasi publik yang terintegrasi, penertiban kendaraan pariwisata, serta pengelolaan angkutan online.” ujar I Made Purwadana, Kepala Seksi Operasional UPTD Trans Bali/Trans Sarbagita, Dinas Perhubungan Provinsi Bali.
Melengkapi perspektif diskusi untuk mengkaji isu secara menyeluruh, forum ini turut dihadiri oleh jaringan komunitas seperti Erma Watson, Perwakilan Ubud Story Walks, dan juga perwakilan pemerintah, I Ketut Sriawan, Kepala Dinas Perhubungan Kota Denpasar dan Made Adi Kusuma, Bendahara Desa Adat Padangtegal.
Meski telah memiliki banyak kemajuan, perjalanan menuju Bali tanpa macet masih panjang. Diperlukan jangkauan yang lebih luas, komitmen yang lebih kuat, serta gerakan kolektif yang mampu saling menguatkan, memantau, dan mendorong implementasi program pemerintah maupun inisiatif masyarakat.
Bali bebas macet bukanlah sebuah proses yang instan. Akan tetapi, upaya dan komitmen yang sudah ada seperti pemanfaatan program subsidi transportasi publik dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota membawa harapan ini menjadi semakin nyata.
Forum ini diselenggarakan bersama Koalisi Bali Emisi Nol Bersih, platform kolaborasi untuk menyuarakan isu iklim secara sektoral, termasuk transportasi, demi terwujudnya komitmen Bali Emisi Nol Bersih di tahun 2045. Koalisi Bali Emisi Nol Bersih beranggotakan mitra pembangunan yaitu Azura Indonesia, CAST Foundation, Institute for Essential Services Reform (IESR), New Energy Nexus, dan WRI Indonesia, dan didukung oleh ViriyaENB. ( kanalbali/RLS)


