Mengasihi Tetangga Itu Sulit

Ilustrasi- Mengasihi tetangga - IST
Ilustrasi- Mengasihi tetangga - IST

Penulis: Angga Wijaya

HIDUP bertetangga tidak pernah sesederhana nasihat dalam pelajaran agama atau buku-buku budi pekerti. Dari kecil kita diajari bahwa “tetangga adalah saudaramu yang paling dekat.” Dalam arti geografis, iya.

Tapi dalam praktik kehidupan modern, kedekatan fisik tidak selalu berarti kedekatan batin. Justru, kadang jarak beberapa meter di antara rumah bisa menjadi tembok setebal curiga, prasangka, dan rasa tersinggung yang sulit dijelaskan.

Dulu, ketika kehidupan masih diwarnai semangat gotong royong, masyarakat Indonesia memegang teguh nilai-nilai seperti tenggang rasa, tepo seliro, guyub-rukun, dan dalam konteks Bali, menyama-braya—rasa persaudaraan antarsesama warga desa tanpa sekat kasta, suku, atau status ekonomi.

Nilai-nilai itu bukan sekadar slogan, melainkan napas kehidupan sehari-hari. Seseorang menanak nasi, tetangga ikut mencicipi. Ada hajatan, kampung datang membantu. Ada yang sakit, orang-orang menjenguk tanpa perlu diundang.

Kini, semangat itu perlahan memudar. Masyarakat kian heterogen, urbanisasi mempertemukan orang dari latar sosial, budaya, dan karakter berbeda dalam satu gang sempit. Rumah-rumah berdempetan, tapi hati orang-orang yang menempatinya justru menjauh.

Interaksi sosial bergeser; sapaan berganti pesan WhatsApp, tegur sapa di teras digantikan unggahan status media sosial. Dan dari ruang virtual itulah, kadang api kecil salah paham menjalar menjadi kebakaran besar.

Kasus di Malang

Kejadian di Malang, Jawa Timur beberapa waktu lalu menjadi contoh nyata betapa rapuhnya hubungan bertetangga di era sekarang. Perseteruan antara Imam Muslimin, seorang dosen yang akrab disapa Yai Mim, dan Nurul Sahara, tetangganya, bermula dari hal sepele, yakni masalah parkir mobil.

Sahara diketahui memiliki usaha rental mobil. Beberapa kendaraannya kerap diparkir di depan rumah Imam Muslimin, tepat di jalan kecil yang disebut sebagai tanah wakaf milik keluarga Yai Mim.

Karena sering menghalangi akses keluar-masuk kendaraan, istri Imam Muslimin, Rosida, meminta agar mobil-mobil itu dipindahkan. Upaya komunikasi sempat dilakukan, bahkan sempat muncul kesepakatan agar area tersebut digunakan bersama dengan aturan tertentu.

Namun, masalah tak kunjung selesai. Parkir kendaraan tetap berulang, hingga akhirnya Imam Muslimin membersihkan tanah di depan rumahnya agar tak lagi dipakai sebagai tempat parkir. Perselisihan itu memuncak saat terjadi adu mulut yang direkam warga dan videonya viral di media sosial, memperlihatkan Yai Mim terlibat cekcok hingga berguling di tanah.

Kasus ini pun melebar. Keduanya saling melapor ke polisi, dan nama Imam Muslimin ikut terseret ke ranah publik. Universitas tempat Yai Min mengajar kemudian mencopotnya dari jabatan dosen.

Dari urusan parkir, persoalan bertetangga ini berubah menjadi drama sosial yang ramai diperbincangkan warganet; tentang ego, batas rumah, dan harga diri di tengah padatnya permukiman kota.

Awalnya, banyak orang di dunia maya bersimpati pada salah satu pihak. Namun tak lama, muncul versi lain dari warga sekitar yang menuding bahwa keduanya sama-sama sulit berkomunikasi.

Akhirnya, kasus itu menjelma drama publik. Semua orang menilai, mengomentari, bahkan memihak tanpa tahu duduk perkara sebenarnya. Persoalan pribadi berubah menjadi tontonan kolektif, semacam sinetron moral yang disiarkan tanpa sensor dan tanpa ruang privasi.

Yang menarik, kasus itu bukan hanya soal konflik dua orang, tetapi juga cermin bagaimana masyarakat kini mudah kehilangan empati. Alih-alih menengahi, banyak orang justru menambah bara lewat komentar dan hujatan daring.

Ketika masalah pribadi dipamerkan di ruang publik, solidaritas berganti sensasi, belas kasih berganti ejekan.

Tinjauan Psikologis

Secara psikologis, kehidupan bertetangga menuntut kemampuan untuk mengelola perbedaan, menjaga batas pribadi, dan tetap terbuka terhadap orang lain.

Menurut psikiater Bali, dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ, salah satu penyebab mudahnya konflik sosial di lingkungan tempat tinggal adalah rendahnya literasi emosional—kemampuan mengenali, memahami, dan mengatur emosi diri serta orang lain.

Orang yang tidak mampu mengenali perasaannya sendiri akan mudah tersinggung, mudah marah, dan sulit menempatkan diri. Apalagi ketika setiap kejadian kecil dianggap serangan pribadi. Bunyi motor terlalu keras bisa dianggap penghinaan.

Tidak menyapa pagi hari bisa dikira menyepelekan. Kadang masalahnya bukan pada tetangga, tapi pada diri yang kelelahan, penuh tekanan, dan butuh ruang untuk tenang.

Dari kacamata antropologi, fenomena ini juga bisa dibaca sebagai gejala perubahan nilai sosial. Clifford Geertz pernah menulis bahwa masyarakat Jawa—dan dalam banyak hal, masyarakat Indonesia—hidup dalam tatanan sosial yang menjunjung harmoni.

Tapi harmoni itu bukan berarti tanpa konflik, melainkan kesepakatan tak tertulis untuk “menyembunyikan” konflik demi menjaga wajah sosial. Ketika tatanan itu berubah karena tekanan ekonomi, urbanisasi, dan media sosial, benteng harmoni itu runtuh. Konflik yang dulu diselesaikan secara halus kini meledak di ruang publik.

Bagaimana di Bali?

Dalam konteks Bali, nilai menyama-braya menghadapi ujian serupa. Dulu, konsep ini berarti hidup saling bantu, saling hormat, dan merasa senasib. Kini, dengan masyarakat yang semakin terbuka dan banyak pendatang, nilai itu sering terguncang.

Pendatang mungkin tak memahami kode sosial lokal, sementara warga lama merasa identitasnya terancam. Akibatnya, jarak emosional terbentuk. Satu pihak merasa tersisih, pihak lain merasa terganggu. Padahal, keduanya hanya gagal berkomunikasi dengan bahasa empati.

Mengasihi tetangga memang sulit. Kalau terlalu baik, dikira punya maksud tersembunyi. Kalau terlalu diam, dianggap sombong. Kalau menegur, bisa dituduh ikut campur.

Kalau tidak menegur, dikira tak peduli. Hidup berdampingan dengan orang lain adalah seni menyeimbangkan jarak: tidak terlalu dekat hingga menyesakkan, tapi juga tidak terlalu jauh hingga menimbulkan sikap dingin.

Dalam ajaran berbagai agama, tetangga menempati posisi istimewa. Dalam Islam, Rasulullah bersabda bahwa “tidak beriman seseorang bila ia tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan.”

Dalam Hindu pun ada ajaran Tat Twam Asi—aku adalah engkau, engkau adalah aku—yang mengandaikan hubungan kasih antarmanusia tanpa sekat rumah, pura, atau masjid. Tapi ajaran moral setinggi itu kadang kandas di beranda rumah. Kita lupa, kasih bukan teori, melainkan praktik yang menuntut kesabaran.

Saya teringat masa kecil di kampung. Setiap Minggu pagi, ibu angkat saya mengajak naik dokar bersama Pak Karim, kusir dari Loloan—kampung Bugis-Melayu di Negara, Jembrana.

Dalam perjalanan, kami sering mampir di rumah orang-orang yang bahkan bukan keluarga. Mereka menawarkan teh, kue, dan obrolan sederhana. Tak ada rasa sungkan. Semua berjalan alami, seolah seluruh kampung adalah satu keluarga besar.

Coba bayangkan hal itu terjadi di perumahan kota sekarang. Seorang tetangga yang jarang dikenal tiba-tiba datang menawarkan makanan—besar kemungkinan malah dicurigai.

Dunia berubah sedemikian rupa hingga kebaikan pun menimbulkan kecurigaan. Mungkin karena kita terlalu sering dikhianati, atau terlalu sering melihat kepura-puraan di media sosial.

Konflik Imam dan Sahara mengajarkan bahwa rasa percaya adalah barang langka di zaman ini. Setiap orang merasa benar, setiap pihak merasa korban. Padahal, yang dibutuhkan bukan pembenaran, melainkan pengakuan: bahwa kita pernah salah, pernah tersinggung, pernah menyakiti.

Tapi siapa yang mau mengakui kesalahan di hadapan publik yang kejam? Lebih mudah menyalahkan tetangga daripada menelanjangi ego sendiri.

Sosiolog Prancis, Émile Durkheim, menyebut kondisi masyarakat modern sebagai anomie—keadaan tanpa norma yang jelas. Orang hidup berdekatan, tapi tak tahu apa yang mengikat mereka.

Rumah berdempetan, tapi kehilangan makna komunal. Ketika konflik muncul, tak ada lagi lembaga sosial yang bisa menengahi. Dulu ada tokoh adat, kepala dusun, atau tetua kampung yang dihormati. Sekarang, semua orang ingin jadi hakim sendiri di Facebook.

Mungkin inilah bentuk baru dari kesepian kolektif. Kita hidup di tengah keramaian, tapi saling asing. Di tengah ratusan teman daring, tak ada satu pun tetangga yang benar-benar mengenal kita. Maka, ketika masalah datang, dunia maya menjadi pelampiasan: tempat mencari simpati, tapi juga tempat kehilangan martabat.

Bagaimana Jalan keluarnya?

Jadi, bagaimana mengasihi tetangga di zaman yang serba curiga ini? Jawaban paling sederhana, yaitu, dengan sadar bahwa setiap orang membawa beban yang tak terlihat. Tetangga yang sinis mungkin sedang berjuang dengan luka batin. Tetangga yang jutek mungkin baru kehilangan pekerjaan. Tetangga yang suka mengomel mungkin hanya kesepian.

Empati adalah langkah pertama untuk memahami bahwa manusia selalu kompleks. Dan cinta kasih bukan sekadar tentang senyum atau kata manis, tapi tentang kesediaan menunda penghakiman. Dalam bahasa psikologi, ini disebut compassionate mind—kemampuan untuk merespons penderitaan orang lain tanpa langsung menilai.

Kita juga perlu membangun ruang dialog kecil di lingkungan sendiri. Tak perlu muluk-muluk: arisan warga, gotong royong, atau sekadar duduk di beranda sambil menyapa. Benedict Anderson pernah menulis bahwa bangsa dibangun dari imagined community—komunitas yang terbayang.

Maka, tetangga pun bisa dibangun dari imagined kindness—kebaikan yang dibayangkan bersama lalu diwujudkan lewat tindakan kecil.

Konflik di Malang mungkin akan reda, tapi luka sosialnya tetap jadi cermin. Ia mengingatkan kita bahwa rumah tanpa kasih hanyalah bangunan beton, dan lingkungan tanpa empati hanyalah kumpulan pagar tinggi.

Mungkin benar, mengasihi tetangga itu sulit. Tapi kesulitan itulah yang menjadikan kita manusia—makhluk yang belajar mencintai, meski sering gagal, dan terus mencoba lagi.

Hidup bertetangga bukan soal siapa yang lebih benar, tapi siapa yang lebih sabar. Dan barangkali, di dunia yang makin gaduh ini, kesabaran adalah bentuk tertinggi dari kasih. (*)


Angga Wijaya adalah wartawan, penyair, dan esais yang tinggal di Denpasar-Bali.

 

Apa Komentar Anda?