Minim Sosialisasi, Mitos dan Stigma Hambat Pencegahan HIV di Kalangan Anak Muda

Dokter Oka Negara (kiri) dalam acara Sosialisasi Pencagahan HIV dengan penggunaan kondom di Denpasar - IST
Dokter Oka Negara (kiri) dalam acara Sosialisasi Pencagahan HIV dengan penggunaan kondom di Denpasar - IST

DENPASAR, kanalbali.id – Temuan kasus HIV di Bali menunjukkan bahwa anak muda merupakan korban terbanyak.

Dari akumulasi kasus ejak tahun 1987 sebanyak 31.880 kasus, angka temuan pada kelompok anak muda usia 15 hingga 29 tahun mendominasi hingga 36,3 %.

.”Sosialisasi di kalangan anak mauda masih minim. Walaupun Bali memiliki program seperti KSPAN (Kader Siswa Peduli AIDS dan Narkoba) dan Desa Peduli AIDS, namun penyebaran informasi belum merata,” kata Ketua Forum Peduli AIDS (FPA) Bali  Made Oka Negara, Minggu (13/7/2025).

Akibatnya, mitos mengenai penularan HIV dan sejumlah stigma menghambat upacaya pencegahan.

Sosialisasi, kata dia, masih kurang menggunakan media digital yang digemari anak muda, bahasa dan gaya komunikasi yang menarik dan relevan bagi remaja, Konten berbasis cerita nyata dan interaktif, seperti podcast atau video pendek.

Hal ini juga disoroti dalam dokumen Malam renungan AIDS Nusantara 2025, di mana kurangnya literasi digital, serta maraknya hoaks dan stigma menjadi hambatan besar dalam penyebaran informasi yang tepat.

Oka Negara menambahkan catatan penting terkait sosialisasi di kalangan anak muda. Pertama, terbatasnya Edukasi Seksual di Sekolah dimana pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi belum diintegrasikan secara menyeluruh dalam kurikulum sekolah, terutama dalam pendekatan yang kontekstual, inklusif, dan tidak menghakimi.

Kedua, topik HIV/AIDS sering kali disampaikan secara singkat, normatif, dan hanya menekankan pada “bahaya”, bukan pemahaman mendalam mengenai risiko, pencegahan, maupun hak-hak kesehatan remaja.

Ketiga, KSPAN belum merata dan belum Inovatif. Meskipun ada program Kader Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) yang berjalan di beberapa sekolah, pelaksanaannya masih bervariasi antar sekolah dan daerah.

Banyak kegiatan KSPAN yang belum menyentuh isu-isu aktual remaja seperti relasi sehat, konsentualitas, identitas seksual, dan penggunaan media sosial secara aman.

Kegiatan KSPAN cenderung berbentuk seremonial atau formal, dan belum menggunakan pendekatan edukasi berbasis minat dan gaya hidup anak muda (seperti konten digital, video pendek, podcast, dll).

Keempat, minimnya akses Informasi berkualitas dimana remaja dan mahasiswa di Bali banyak mengandalkan informasi dari media sosial. Sayangnya, platform ini juga merupakan ladang subur penyebaran hoaks, mitos, dan disinformasi tentang HIV/AIDS.

Kelima, stigma dan budaya malu yang masih menjadi penghalang utama. Anak muda enggan membicarakan topik seksualitas dan HIV karena dianggap tabu, berdosa, atau memalukan. Akibatnya, meskipun kampanye ada, banyak remaja yang tidak merasa bahwa informasi itu relevan dengan kehidupan mereka sendiri.

Budaya “malu bertanya” membuat remaja mengambil keputusan tanpa pengetahuan yang memadai, seperti berhubungan seksual tanpa kondom atau percaya bahwa pasangannya “pasti aman”.

Keliman, kurangnya kampanye digital yang relevan. Kampanye edukasi HIV masih didominasi oleh poster konvensional, brosur, dan penyuluhan satu arah. Padahal remaja kini lebih aktif di media digital: TikTok, Instagram, YouTube, dan podcast.

Sangat sedikit konten lokal dari Bali yang berbicara tentang HIV/AIDS dalam bahasa yang santai, tidak menghakimi, dan relatable bagi anak muda.

Ketua FPA Bali, dr Made Oka Negara, M.Biomed, FIAS pada pertemuan utnuk pencegahan HIV di Bali - IST
Ketua FPA Bali, dr Made Oka Negara, M.Biomed, FIAS pada pertemuan untuk pencegahan HIV di Bali – IST

Apakah Perilaku Seks Bebas Jadi Pemicu?

Data menunjukkan bahwa perilaku seksual berisiko adalah penyebab utama penularan HIV. 72,7% penularan melalui hubungan heteroseksual, 18,96% dari hubungan homoseksual (sebagian besar pada laki-laki) dan pola hubungan seksual di kalangan remaja dan dewasa muda mencakup pasangan tetap, kasual, dan komersial.

Selain itu, akses terhadap kondom masih rendah, baik karena malu membeli, minim pengetahuan, maupun karena mitos-mitos yang berkembang.

Data di atas menunjukkan bahwa perilaku seksual berisiko adalah penyebab utama penularan HIV di Bali, terutama pada usia remaja dan dewasa muda.

Karakteristik Perilaku Seksual Anak Muda

Penelitian perilaku di Bali menunjukkan bahwa banyak anak muda melakukan hubungan seksual dengan pasangan tetap, kasual, dan juga komersial (dengan imbalan uang atau hadiah).

Banyak remaja dan mahasiswa yang tidak menggunakan kondom secara konsisten karena menganggap hubungan mereka “aman”, atau karena malu/minder membeli kondom.

Usia pasangan yang lebih tua atau memiliki pekerjaan berisiko tinggi (pekerja hiburan, pariwisata, sopir malam, dll) juga meningkatkan risiko penularan.

Normalisasi Seks Bebas Tanpa Proteksi

Dalam budaya populer dan media sosial, ada kecenderungan untuk menormalisasi hubungan seksual tanpa komitmen (seks kasual), namun tidak diiringi dengan edukasi perlindungan diri.

Banyak remaja tahu tentang HIV, tapi tidak merasa dirinya berisiko, sehingga enggan untuk tes atau menggunakan kondom.

Masih banyak yang berpikir bahwa HIV hanya menular pada gay, pengguna narkoba, atau pekerja seks. Akibatnya, mereka meremehkan risiko dalam hubungan heteroseksual biasa, padahal ini adalah jalur penularan terbesar di Bali.

Mitos lainnya adalah keyakinan bahwa melihat fisik sehat berarti pasangan tidak mungkin terinfeksi.

Beberapa kasus menunjukkan hubungan antara perilaku seksual berisiko dengan penggunaan alkohol atau narkoba, yang menurunkan kewaspadaan.

Akses terhadap layanan konseling, tes HIV, dan ARV belum merata, terutama bagi anak muda di daerah rural. Perilaku seks bebas tanpa perlindungan jelas menjadi kontributor utama dalam epidemi HIV di Bali. Maka upaya perubahan perilaku harus menjadi fokus utama, dimulai dari pendidikan seksual berbasis fakta dan penguatan peran keluarga, sekolah, komunitas, hingga media.

 ( kanalbali/AGW/RFH)***

Apa Komentar Anda?