
BADUNG, kanalbali.id – Langkah Pemkab Badung melakukan pembongkaran sejumlah bangunan di Pantai Bingin, Senin (21/7) membuat shock para pemiliknya.
Upaya mereka agar dilakukan penundaan tak digubris. Bahkan puluhan pemilik warung dan vila yang telah bertahun-tahun menggantungkan hidup di kawasan ini menggelar aksi damai.
“Kami sedih dan berduka, kok jadi seperti ini,” kata Nyoman Musadi, Koordinator Persatuan Pedagang Pantai Bingin.
Sebuah gugatan telah diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar, dan sidang perdana dijadwalkan dalam waktu dekat.
“Kami mohon diberi waktu lima sampai sepuluh tahun. Banyak dari kami sudah di sini puluhan tahun, menggantungkan hidup di tanah ini,”
Begini Cara Manfaatkan Teknologi Digital Untuk Pasarkan Produk Lokal Agar Go Internasional
Sebanyak 48 bangunan—termasuk warung dan vila menjadi target penggusuran. Pemerintah Kabupaten Badung beralasan bahwa bangunan tersebut berdiri secara ilegal di atas tanah negara dan masuk kawasan perlindungan tebing curam.
Warga mengklaim telah mengupayakan legalisasi dan pengelolaan kawasan secara administratif sejak 2022. Upaya itu, menurut mereka, direspons dingin oleh pemerintah.
“Sampai sekarang belum ada kepastian. Bahkan setelah mediasi dengan Bupati, kami tetap diminta membongkar sendiri bangunan kami,” keluh Musadi.
Made Sarja, salah satu pemilik warung yang ikut menggugat, menyebut dampak penggusuran ini sangat luas. Tak kurang dari 250 orang kehilangan pekerjaan langsung, dan jika ditambah keluarga mereka, total warga terdampak bisa mencapai 2.000 orang.
“Ini bukan hanya tentang bangunan. Ini tentang perut, pendidikan anak, masa depan. Kami bukan pengusaha besar, kami orang lokal yang hanya ingin bertahan,” ucap Sarja.
Ia juga mengungkapkan, beberapa vila telah menghentikan operasional karena ketidakpastian hukum. Hal ini dikhawatirkan bisa memukul sektor pariwisata yang mulai pulih pascapandemi.
Kuasa hukum warga, Alexius Barung, SH, menyayangkan sikap pemerintah yang tetap melanjutkan pembongkaran meski perkara tengah berjalan di pengadilan.
“Warga sudah menempati dan mengelola kawasan ini sebelum ada Perda Tata Ruang tahun 1989, bahkan sebelum UU Tata Ruang 1992. Pemerintah seharusnya menunggu putusan pengadilan. Negara harus taat hukum,” tegas Alexius.
Ia menyoroti pentingnya keadilan sosial sebagaimana dijamin dalam konstitusi. “Kita tidak menolak penataan, tapi penataan harus manusiawi, harus memberi solusi,” katanya.
Kuasa hukum salah satu entitas usaha, Morabito, menyatakan kliennya telah membayar pajak sejak 2004 dan mendaftarkan pengelolaan kawasan melalui jalur resmi pada 2023.
“Kami punya NPWP, bukti pembayaran, dan dokumen administrasi. Ini bukan tanah yang kami serobot. Kami di sini sejak lama,” ujar Usiana Dethan.
Ia menegaskan, tudingan bahwa semua usaha di Bingin adalah ilegal tidak mencerminkan realitas di lapangan.
“Kami siap duduk bersama. Yang kami minta hanya kejelasan dan pengakuan,” tambahnya.
Dari lokasi pembongkaran, Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan bahwa bangunan-bangunan yang dibongkar berdiri tanpa izin resmi dan berada di atas tanah milik Pemda Badung.
“Ini ilegal. Tanahnya milik Pemda, bukan perorangan,” tegasnya.
Bupati Badung Adi Arnawa juga menambahkan bahwa setelah proses pembongkaran selesai, baru akan dilakukan dialog dengan masyarakat. Pembongkaran yang dimulai 21 Juli ditargetkan selesai dalam satu bulan.
Di tengah keterpurukan dan ketidakpastian, harapan masih tumbuh. Warga menyatakan siap menerima pembatasan dan pengaturan resmi, selama diberi ruang untuk tetap hidup dari tanah yang telah mereka jaga. ( kanalbali/RLS )