 
Tajen atau sabung Ayam bisa disebut sebagai bentuk Hipnosis Primitif yang terkait dengan Kecanduan Emosi. Yakni, ketika hormon menyalakan nafsu kekuasaan – Lan Ananda (Master Hipnoterapi)
Sebagai seorang hipnoterapis, saya terbiasa menyelami bawah sadar manusia—ruang gelap tempat naluri, ketakutan, dan hasrat bercampur jadi satu.
Namun, saya harus mengakui satu hal: Tak perlu sesi hipnosis yang rumit untuk membuat seseorang kehilangan kontrol atas dirinya.
Cukup letakkan dia di pinggir arena sabung ayam. Di sana, anda akan melihat manusia “terhipnotis” bukan oleh suara saya, tetapi oleh panggung pertarungan berdarah yang menyalakan semua sisi paling purba dalam dirinya.
Kenapa hal itu bisa terjadi
Tajen sebagai Panggung Ledakan Hormon
Apa yang sebenarnya terjadi saat seseorang menonton teajen atau sabung ayam? Bukan sekadar hiburan. Tapi ledakan neurokimia dalam tubuh.
Adrenalin melonjak saat ayam mulai saling menyerang. Jantung berdegup, tangan mengepal, mata membelalak. Tubuh siap bertarung, walau yang bertarung hanya ayam.
Dopamin atau hormon kebahagiaan muncul saat ayamnya menang atau saat pertarungan berjalan intens. Ini hormon yang membuat kita merasa “ketagihan”. Sama seperti saat menang judi atau saat tim bola kita mencetak gol di menit akhir.
Testosteron meningkat saat taruhan dipasang dan harga diri dipertaruhkan. Bukan hanya soal ayam—tapi soal ego, martabat, dan perasaan “lebih unggul” dari yang lain.
Kortisol, hormon stres, justru menjadi bahan bakar untuk mempertahankan intensitas emosi. Semakin tegang, semakin terikat.
Hipnosis Tanpa Hipnotis: Tajen dan Trance Emosional
Dalam ilmu hipnosis, ada istilah: “trance alami” — kondisi di mana seseorang larut begitu dalam pada satu emosi atau peristiwa, hingga logika dan kontrol dirinya menurun drastis.
Tajen atau sabung ayam menciptakan trance itu dimana penonton melupakan waktu. Mereka tidak sadar suara mereka berubah jadi teriakan. Tangan yang biasanya memegang anak, kini bisa melempar botol jika kalah taruhan.
Mata yang biasanya memandang penuh kasih, kini bisa menatap dengan kebencian.
Inilah hipnosis tanpa hipnotis. Yang mengendalikan mereka bukan suara seorang ahli, tapi panggung pertarungan yang memantik sisi primitif mereka.
Dorongan Primal dan Katarsis Kekuasaan
Seperti pertarungan gladiator di zaman Romawi, sabung ayam adalah simbol kekuasaan. Ayam yang menang adalah lambang “aku lebih hebat”, Ayam yang kalah berarti “aku dipermalukan”.
Dan bagi banyak orang, yang sedang mereka lawan bukan lawan taruhannya, tapi rasa tak berdaya yang selama ini mereka simpan.
Di rumah, ia tak bisa bicara lantang. Di pekerjaan, ia ditekan atasan. Di masyarakat, ia tak dihargai. Tapi di arena sabung ayam, ia merasa menjadi tuan.
Ia bisa memilih siapa bertarung, bertaruh, menang, atau menendang kursi jika perlu. Inilah katarsis—pelepasan emosi yang terpendam dalam bentuk agresi simbolik. Sabung ayam bukan tentang ayam. Tapi tentang manusia yang ingin menang, ingin berkuasa, dan ingin melampiaskan.

Apa Bedanya Tajen dengan Pertandingan Bola?
Sebenarnya, tidak banyak. Fenomena perkelahian antar supporter bola adalah bentuk lain dari sabung ayam—bedanya ayamnya adalah pemain bola, dan gelanggangnya lebih besar.
Sama-sama meledakkan hormon. Sama-sama memicu trance massal. • Sama-sama menumbuhkan identitas kelompok yang fanatik. • Sama-sama bisa berujung kekerasan, bahkan kematian. Dan yang paling berbahaya adalah: sama-sama membuat orang ketagihan.
Budaya Kekerasan: Saat Hormon Menjadi Tradisi
Saat sabung ayam dan perkelahian supporter terjadi terus-menerus, ia tak lagi dilihat sebagai masalah. Ia menjadi budaya. “Sudah biasa kalau ribut habis sabung.”
“Kalau bola nggak ada tawuran, kayaknya belum seru.” “Kalau ayam kalah, wajar ngamuk.”
Dan ini yang paling mengkhawatirkan: Ketika banjir hormon menjadi candu, kekerasan menjadi normal, dan luka batin manusia diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Refleksi Seorang Hipnoterapis
Bagi saya, sabung ayam adalah panggung hipnosis massal. Ia memperlihatkan bagaimana manusia bisa kehilangan kesadaran atas dirinya sendiri hanya karena dorongan hormonal dan luka batin yang tak pernah sembuh.
Ayam yang mati adalah simbol. Yang sekarat bukan cuma tubuh binatang itu, tapi jiwa manusia yang telah terlalu lama hidup dalam frustrasi, tapi tak tahu bagaimana cara menyembuhkannya. (kanalbali/IST)



 
		 
		