
Kelahiran manusia dan keberlangsungan hidup menjadi tema sentral dalam karya kriya berjudul Metu-Manu-Urip karya I Wayan Suardana, seniman asal Petulu, Gianyar, yang juga dosen Kriya di Institut Seni Indonesia (ISI) Bali.
Penulis: Angga Wijaya
Karya ini tampil dalam pameran seni rupa kontemporer Bali Megarupa 2025, bagian dari Festival Bali Jani yang digagas oleh seniman dan penggiat budaya, Putri Suastini Koster.
Dengan bahan kayu jati tua, tempurung, tulang, bulu burung Papua, hingga lesung dan alu tradisional, Suardana membangun instalasi kriya penuh simbol kesuburan dan spiritualitas. Metu berarti lahir, Manu berarti manusia, dan Urip berarti hidup—tiga kata sederhana namun mendalam, yang menjadi titik tolak karya ini.
“Konsepnya saya ambil dari filosofi Lingga-Yoni, simbol Purusa dan Predana dalam ajaran Hindu. Dari kesuburan dan cinta antara keduanya, kehidupan lahir,” jelas Suardana dalam wawancara usai pembukaan pameran.
Karya ini memvisualisasikan lesung sebagai yoni dan alu sebagai lingga, dua elemen pertanian tradisional yang kini mulai tergantikan oleh teknologi modern. Di dalam lesung, Suardana menanam bentuk gada, senjata Dewa Brahma sang pencipta. “Saya tidak langsung memberi judul ‘Lingga-Yoni’ karena terlalu vulgar. Saya memilih Metu-Manu-Urip agar orang merenung lebih dalam,” katanya.
Gada Bukan Hanya Senjata
Dalam tradisi Hindu, gada bukan hanya senjata, tapi lambang kekuatan penciptaan. Dengan memilihnya sebagai pusat visual, Suardana menegaskan fungsi purba dari karya kriya sebagai jembatan antara bentuk dan makna. “Gada itu bukan senjata untuk menghancurkan. Ia adalah simbol pencipta. Berbeda dengan trisula, senjata Dewa Siwa yang melambangkan kekuatan untuk melebur dan mengakhiri,” jelasnya.
Uniknya, hampir seluruh material dalam karya ini berasal dari benda-benda yang dianggap tak lagi berguna. Lesung kayu yang digunakan didapatkan dari Jawa, karena di Bali lebih banyak ditemukan lesung batu. “Saya ingin mengangkat kembali benda-benda yang dulu sangat penting dalam kehidupan, tapi kini terlupakan. Lesung dan alu itu simbol orang tua, simbol rumah, simbol kehidupan,” ujar Suardana.

Pameran Bali Megarupa yang diikutinya merupakan platform penting bagi seniman kontemporer Bali, baik senior maupun muda. Dalam penyelenggaraan tahun ini, para seniman muda diseleksi melalui mekanisme open call, sementara seniman senior diundang secara langsung. “Karya seniman muda sekarang luar biasa. Sangat bagus. Dan Bali Megarupa adalah ruang penting bagi mereka,” ujarnya mengapresiasi.
Festival Bali Jani yang menaungi pameran ini memang dirancang sebagai ajang ekspresi seni modern dan kontemporer Bali, menjadi pelengkap dari wajah tradisional yang diusung oleh Pesta Kesenian Bali. Peran Ibu Putri Suastini Koster sebagai penggagasnya memberikan warna tersendiri, karena beliau juga seorang seniman yang memahami pentingnya membuka ruang kreatif lintas generasi.
Seniman Kriya
Suardana dikenal luas sebagai seniman kriya yang kerap mengangkat tema spiritual, sakral, dan simbolik. Ia mengaku terinspirasi oleh bentuk-bentuk rajah kuno Bali yang menurutnya menyimpan karakter surealis jauh sebelum dunia seni Barat mengenalnya. “Rajah itu menyeramkan tapi kuat. Kepala langsung kaki, tangan tanpa badan. Itu ekspresif dan unik. Kita punya itu semua, hanya saja kita telat mewacanakan,” tuturnya.
Sebagai akademisi, Suardana merasa bertanggung jawab untuk menyuarakan kembali nilai-nilai lokal yang telah diwariskan sejak lama. “Kita tidak kalah dari dunia luar. Fondasi budaya kita sangat kuat. Tugas kita sebagai seniman dan pendidik adalah mengangkatnya kembali,” tegasnya.
Jejak karyanya tak hanya menghiasi pameran-pameran di Bali, tapi juga di panggung nasional dan internasional. Namun Metu-Manu-Urip menjadi salah satu karya yang mencerminkan kedalaman konseptual, kekuatan simbolik, dan ketekunan dalam mengolah material tradisional ke dalam wacana seni rupa kontemporer.
“Saya ingin karya saya tidak sekadar indah, tapi menyentuh makna hidup. Karena bagi saya, seni adalah cara kita kembali ke asal. Pulang ke akar,” pungkas Suardana.
( kanalbali/AWJ )