KE-KOTOR-AN Pemilu

I GustiNgurah Karyadi - IST
I GustiNgurah Karyadi - IST

Penulis:  Ngurah Karyadi*)

“Pemilu Kotor!”. Penuh Ke-kotor-an, tepatnya. Kenapa demikian? Jika pernyataan itu keluar dari mulut rakyat kecil di warung kopi barangkali sudah biasa.

Namun bagaimana jika pernyataan itu terlontar dari mulut para Ahli, Pengamat dan Pemantau Pemilu?

Kekotoran pemilu mencakup praktik politik uang, ketidaknetralan penyelenggara dan aparat negara, kecurangan dalam proses, serta penyebaran ujaran kebencian dan hoaks. Praktik-praktik ini merusak hakikat demokrasi, meresahkan masyarakat, dan berpotensi menimbulkan polarisasi serta kekerasan, seperti yang terlihat dalam beberapa pemilu terakhir.

Sehingga, harus dinyatakan: “Anda jangan mimpi bahwa pemilu itu akan bersih 100 persen, kapan pun dan di mana pun. Pasti ada satu, dua, tiga dan seterusnya, yang di undang-undang itu disebut, pelanggaran, yang signifikan terhadap proses dan hasil Pemilu”.

Kecurangan pemilu sendiri sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Masyarakat sendiri menyaksikan dan merasakan kecurangan-kecurangan itu secara nyata. Para peserta pemilu yang kebetulan kalah pun juga kadang melaporkan adanya kecurangan dalam pemilu.

Meski peserta yang kalah juga melakukan kecurangan. Singkatnya, kecurangan dalam pemilu sudah menjadi rahasia umum.

Sehingga, pernyataan diatas dapatlah mempertegas bahwa pemilu lima tahunan selama ini jauh dari langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) dan jujur, adil (Jurdil). Hanya sebuah mimpi, jika mengharap pemilu 100 persen Luber dan Jurdil. Sebabnya, kecurangan pemilu kini dilakukan secara: Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM).

Kecurangan pemilu TSM, yang umum terjadi dilakukan dengan memanipulasi peserta, calon, daftar pemilih tetap, serangan fajar, hingga saat penghitungan suara. Kecurangan-kecurangan ini kerap terjadi baik pada pemilu legislatif, DPD dan eksekutif tingkat nasional, maupun Pemilukada, sampai Pilkades.

Apalagi kasus pemalsuan keputusan Paman Usman di MK, Plesiran private Jett anggota KPU, dan/atau Laporan KPK atas Ketua Bawaslu terkait Proyek Gedung Comand Centre, yang terkuak belakangan ini kian menambah keraguan terhadap kualitas pemilu yang selama ini berlangsung.

Demokrasi KKN

Dalam perpolitikan modern, kecurangan demi kecurangan yang ada dapat dikatakan hal yang wajar dan dimaklumi. Sebabnya sedikit sekali mengedepankan etika politik.

Seperti Doktrin Machiaveli, agar meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, masih menjadi acuan di alam perpolitikan hari ini, tanpa terkecuali untuk memenangkan pemilu.

Apalagi dalam sistem demokrasi, biaya (modal) besar harus dikeluarkan oleh peserta pemilu jika ingin menang. Dari sinilah kemudian tunas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) mulai tumbuh. Biaya yang besar itu sendiri bisa diperoleh dari kaum pemodal (Oligarkhi) fengan deal-deal tertentu kalau berhasil menang.

Bahkan dari negara atau lembaga asing sekalipun, seperti desas-desus belakangan terkait Whoosh, IKN, Reklamasi dan Pagar Laut (PIK I, II dst), atau pun konsesi ekploitasi SDA dari Sabang sampai Merauke.

Selanjutnya kalau berhasil menang, deal-deal atau proyek hitam pun disikat. Tak mengapa tidak amanah, toh itu akad dengan pemodal. KKN? Tak apa-apa haram, asalkan modal kampanye kembali. Gimana lagi, kalau gaji selama lima tahun belum cukup kembalikan modal. Nah Lhoo?

Perginya Luber dan Jurdil selama pemilu pun berimbas ketika para pemenang pemilu menempati kursi pemerintahan. Kasus-kasus KKN yang melibatkan para anggota legislatif dan kepala pemerintahan daerah menjadi buktinya.

Dengan kata lain, kasus-kasus KKN yang melibatkan politisi dalam suatu pembangunan proyek ini sudah dirancang atau ‘by design’ oleh partai politik, dan kaum pemodal/oligarkhi -Biasa disebut: para naga dan samurai.

Bagaimana output pemilu yang ada? Kontribusi ‘orang-orang terpilih’ yang disaring melalui pemilu bagi rakyat? Ternyata tidak juga menggembirakan.

Dari gedung wakil rakyat misalnya, sejak era Orba, reformasi hingga sekarang telah lahir sejumlah undang-undang yang berlaku sekarang ternyata dibuat oleh konsultan asing seperti USAID, AUSAID, DFID, PKC dan seterusnya.

Dengan kata lain, para anggota legislatif hanya tinggal setujui saja. Tidak sedikit dari peraturan dan UU yang dibuat kontrapoduktif dengan cita-cita negara. Bahkan hingga hari ini ada sejumlah kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus KKN.

Padahal dana pemilu menyita biaya yang begitu besar agar memiliki penyelenggara negara yang handal. Padahal rakyat pun sudah capek bergumul dengan problematika seperti kemiskinan, pengangguran, putus sekolah dsb.

Tetapi ternyata? Pemilu dalam sistem demokrasi yang menagih biaya besarlah penyebabnya. Demokrasi seperti kata Samuel Huntington (1998), ‘tidaklah selalu menjadi pilihan terbaik, karena ia dapat menimbulkan inefisiensi dan ketidakpastian.’

Persoalannya adalah apakah kecurangan pemilu yang terjadi dimaklumi begitu saja? Sehingga jika ke depan kerap kali terulang, pemilu yang curang tetap (harus) dimaklumi (lagi).

Kalau begitu bagaimana kita bisa memiliki penyelenggara negara yang amanah, bila dalam pemilunya saja sudah dipenuhi kecurangan. Padahal selama ini kita begitu mendambakan aparat-aparat pemerintahan yang kapabel, dan amanah.

Pemilu memang tidak masalah, tetapi orientasi ‘haus kekuasaan’ itulah yang menjadi penyebabnya. Sekali lagi, kita tidak menyalahkan pemilu sebagai sebuah cara rekrutmen penyelenggara negara. Sebab mekanisme lain pemilihan/rekrutmen penyelenggara negara dengan pemilu lokal juga ada, namun belum teruji dalam skala Nasional.

Hal yang kita sayangkan adalah ketika kekuasaan dijadikan tujuan. Sehingga ketika duduk empuk di kursi kekuasaan, tugas mengurus rakyat pun terabaikan.

Bahkan kekuasaan dapat membuat lupa diri, lupa rakyat, bahkan lupa iman. Sampai-sampai penjajahan gaya baru pun diperkenankan masuk dan mengobrak-abrik kedaulatan negara dari sebagaimana mestinya.

Para pembaca tentu pernah mendengar jingle iklan sebuah deterjen yang berbunyi “Kotor itu baik”. Tentu kedengaran konyolnya ketika menilai pemilu yang tidak bersih dengan mengatakan “Pemilu tidak bersih itu baik”. Sangat miris sekali.

Bagaimana juga, (kecurangan) pemilu tidak lepas dari sistem demokrasi yang berlaku sekarang. Menarik melihat pertanyaan skeptis mengenai demokrasi.

Meragukan validitas teori bahwa demokrasi adalah penyelamat segala bentuk kebobrokan saat ini pun patut diperhatikan oleh semua pihak. Bahkan ungkapan, demokrasi malah memunculkan masalah baru yang sebelumnya tidak pernah ada seandainya demokrasi tidak diterapkan.

Apalah ternyata, demokrasi yang digadang-gadang mampu menjadi solusi ternyata tidak manjur. Bahkan jauh panggang dari api. Demokrasi tidak mampu menjembatani negeri ini ke cita-citanya: mensejahterakan rakyat dan melindungi negara dari penjajahan.

Namun, kembali dalam bahasa perjuangan dulu: ‘NICA Gandek, Komprador, Antek Oligarkhi (Asing, Aseng, Asong) dan sejenisnya’.

*) Penulis adalah Petani, Aktivis dan Penulis lepas

Apa Komentar Anda?