KPSI Simpul Bali Dorong Penguatan Dukungan Sebaya untuk Penyintas Skizofrenia

Pertemuan penyintas skizofrenia di Kantor KPSI Bali - IST
Pertemuan penyintas skizofrenia di Kantor KPSI Bali - IST

Penulis: Angga Wijaya

DENPASAR, kanalbali.id  – Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Bali mulai memperkenalkan pendekatan baru yang dinilai lebih efektif dalam membantu penyintas skizofrenia pulih lebih cepat, yaitu Peer Support atau dukungan sebaya.

Program ini kembali digelar pada Minggu (30/11/2025) di sekretariat KPSI Simpul Bali, Jalan Pertulaka Timur No. 15, Peguyangan Kangin, Denpasar, setelah cukup lama kegiatan komunitas tidak berjalan aktif.

Ketua KPSI Simpul Bali, Yohannes Herdiyanto, menjelaskan bahwa Peer Support dirancang sebagai ruang aman bagi penyintas untuk berkumpul, saling mengenal, dan berbagi pengalaman nyata tentang proses pemulihan.

“Hari ini kami melakukan Peer Support. Tujuannya adalah assessment awal kebutuhan mereka dan mulai membahas tema-tema yang menjadi pilihan penyintas,” ujar dosen Psikologi Universitas Udayana ini.

Pertemuan diawali dengan assessment sederhana yang mengidentifikasi masalah-masalah yang paling sering dihadapi penyintas dalam keseharian. Hasilnya, sejumlah tema penting mengemuka.

Yang pertama adalah kurangnya dukungan keluarga dalam proses pemulihan. Banyak penyintas berharap keluarga tidak sekadar mengawasi, tetapi memahami kondisi mereka secara lebih mendalam.

Isu kedua yang banyak muncul adalah tantangan soal pengobatan. Penyintas mengaku sering merasa malas atau lupa minum obat sehingga menyebabkan gejala mudah kambuh. Selain itu, sebagian penyintas juga belum memahami dengan baik gangguan yang mereka alami, sehingga tidak memiliki motivasi kuat untuk menjalani pengobatan secara konsisten.

Ada juga kebutuhan untuk kembali bekerja dan aktif di masyarakat. Tidak sedikit penyintas yang masih ragu melangkah karena takut stigma. Mereka berharap mendapat strategi dan dukungan untuk kembali produktif.

“Tema-tema itu nanti akan kami bahas minimal sebulan sekali. Harapannya, penyintas merasa didukung, punya teman, dan tidak merasa sendirian,” kata Yohannes.

KPSI Simpul Bali bukan hanya komunitas penyintas. Di dalamnya terlibat keluarga penyintas, psikolog, psikiater, tenaga kesehatan, hingga masyarakat umum yang peduli pada isu kesehatan jiwa. KPSI merupakan gerakan nasional yang fokus pada edukasi dan pendampingan pemulihan orang dengan gangguan jiwa berat, terutama skizofrenia.

“Ini tempat berkumpul untuk penyintas, keluarga, dan profesional kesehatan. Semua yang tergerak mendukung pemulihan bisa ikut,” jelas Yohannes.

Model pendampingan ini dinilai sangat penting karena penyintas membutuhkan lebih dari sekadar obat. Obat memang komponen utama pemulihan, tetapi pada praktiknya banyak penyintas yang tidak rutin minum obat atau berhenti berobat karena merasa bosan, takut efek samping, atau minim pengawasan.

Menurut Yohannes, inilah titik di mana Peer Support mengambil peran. Penyintas yang menghadapi persoalan serupa dapat saling menguatkan dan mengingatkan. Mereka lebih mudah memahami satu sama lain karena memiliki pengalaman yang sama.

“Obat itu penting, tapi tidak semata-mata cukup. Masalah seperti malas minum obat selalu ada. Dengan Peer Support, penyintas bisa saling tahu bahwa kalau tidak rutin, kondisinya bisa kambuh. Mereka bisa saling mendukung agar tetap menjalani pengobatan,” ujarnya.

Karena efektivitasnya, program Peer Support akan dibuat rutin. Satu kali per bulan untuk penyintas, dan satu kali per bulan untuk keluarga. Dua kelompok ini dipisahkan karena kebutuhan dan perannya berbeda dalam proses pemulihan. “Keluarga juga perlu ruang untuk belajar dan memahami. Keduanya penting dan saling memengaruhi,” tambah Yohannes.

Di Bali, khususnya Denpasar, jumlah penyintas skizofrenia cukup tinggi. Data layanan kesehatan jiwa mencatat sekitar 8.000 orang mengakses layanan pengobatan rutin. Pada puskesmas tempat kegiatan berlangsung, terdapat sekitar 120 penyintas, menjadikannya salah satu lokasi dengan kasus tertinggi.

Kondisi tersebut menjadi alasan KPSI Bali memilih tempat ini sebagai base camp kegiatan. Selain dekat dengan layanan kesehatan, keberadaan Peer Support di tengah komunitas diharapkan mampu membuat penyintas merasa lebih diperhatikan.

“Obat saja kadang-kadang tidak bisa membantu orang cepat pulih. Butuh upaya saling mengenal dan saling mendukung,” kata Yohannes.

Dengan pendekatan ini, KPSI Simpul Bali ingin menciptakan ekosistem pemulihan jangka panjang yang melibatkan penyintas, keluarga, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Yohannes berharap semakin banyak orang terlibat, baik sebagai peserta maupun pendukung.

“Harapannya akan semakin banyak yang ikut. Ini membantu penyintas pulih dan membuat keluarga semakin aware untuk mendukung pemulihan di rumah,” ujarnya.

KPSI Simpul Bali optimis bahwa Peer Support dapat menjadi model pendampingan kesehatan jiwa yang relevan bagi Bali, terutama di tengah tingginya jumlah penyintas skizofrenia.

“Dengan dukungan yang berkelanjutan dan berbasis komunitas, penyintas diyakini dapat lebih cepat pulih, kembali beraktivitas, dan berkontribusi bagi lingkungan sekitarnya,” kata Yohannes. (*)

Apa Komentar Anda?