Akses Jiwa di Tengah Krisis, Renungan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025 

Kegiatan di rumah berdaya Denpasar - IST
Kegiatan di rumah berdaya Denpasar - IST

Penulis: Angga Wijaya

SETIAP  tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia. Tahun ini, tema yang diusung WHO berbunyi “Access to Services — Mental Health in Catastrophes and Emergencies”, atau “Akses ke Layanan — Kesehatan Mental dalam Situasi Bencana dan Keadaan Darurat.”

Sebuah tema yang, bagi saya, bukan hanya relevan secara global, tetapi juga sangat personal.

Saya pernah mengalami keadaan darurat—bukan bencana alam, melainkan bencana dalam pikiran saya sendiri. Pada 2009, saya didiagnosis mengidap skizofrenia paranoid.

Dunia saya mendadak terbelah. Suara-suara asing muncul di kepala, rasa curiga tumbuh tanpa kendali, dan realitas berubah menjadi cermin retak yang sulit saya pahami. Saat itu, saya tidak tahu ke mana harus meminta pertolongan. Di mata banyak orang, gangguan jiwa masih dianggap aib, kutukan, atau dosa masa lalu.

Bertahun-tahun kemudian, setelah melewati proses panjang, saya belajar bahwa pemulihan bukan sekadar soal obat, tetapi soal akses, yakni akses terhadap pelayanan, pemahaman, dan penerimaan.

Sayangnya, hingga hari ini, akses semacam itu masih menjadi barang langka di banyak tempat,

Tentang Kesehatan Mental

Kita sering lupa bahwa bencana tidak selalu berupa gempa atau banjir. Di Bali, pandemi COVID-19 yang melumpuhkan pariwisata menjadi bencana ekonomi sekaligus psikologis. Banyak orang kehilangan pekerjaan, arah, dan rasa percaya diri.

Ada yang bangkit dengan berjualan daring, tapi banyak pula yang tenggelam dalam depresi sunyi. Dalam situasi seperti itu, layanan kesehatan mental mestinya hadir seperti tenda darurat—mudah dijangkau, murah, dan manusiawi.

Namun kenyataannya, bahkan di masa normal, layanan semacam itu masih sulit ditemukan, apalagi ketika hidup sedang porak-poranda.

Saya pernah mewawancarai dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, psikiater di Bali Mental Health Clinic. Ia berkata, “Krisis apa pun bisa memicu gangguan jiwa, tapi justru di saat krisis itulah layanan kesehatan mental paling minim.”

Pernyataan itu menohok. Di negeri ini, anggaran kesehatan mental tak sampai satu persen dari total anggaran kesehatan nasional. Di banyak rumah sakit, psikiater bekerja nyaris sendirian menghadapi gelombang pasien yang terus meningkat.

Padahal, data Riskesdas menunjukkan, Bali termasuk provinsi dengan prevalensi pengidap skizofrenia tertinggi di Indonesia. Namun layanan psikososial berbasis komunitas—yang seharusnya menjangkau warga sampai ke desa—masih terbatas jumlahnya.

Di tengah situasi bencana atau keadaan darurat, akses seperti itu sering kali terputus sama sekali. Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menjadi kelompok paling rentan untuk “tertinggal”.

Renungan sebagai Penyintas

Sebagai penyintas, saya memahami bahwa pemulihan adalah proses sosial. Ia bukan hanya urusan dokter dan pasien, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan kebijakan publik. Saya beruntung memiliki keluarga dan teman yang mau memahami, bukan sekadar mengasihani.

Tapi tidak semua orang seberuntung itu. Banyak ODGJ di Indonesia masih dipasung, ditelantarkan, atau dijauhi karena stigma. Bagi mereka, bencana terbesar bukanlah penyakitnya, melainkan sikap dunia di sekelilingnya.

Saya sering ditanya: apakah saya sudah sembuh? Saya biasanya menjawab, “Saya pulih.” Karena kata pulih lebih manusiawi ketimbang sembuh. Ia mengakui bahwa luka bisa tetap ada, tapi seseorang tetap bisa berfungsi, berkarya, dan mencintai hidupnya.

Saya menulis, bekerja sebagai wartawan, dan setiap kali menulis tentang isu kesehatan mental, saya merasa sedang membuka jendela kecil di tembok besar stigma.

Hari ini, saya ingin memperluas jendela itu. Sebab tema tahun ini bukan hanya tentang pasien, tapi tentang akses. Dan akses selalu soal keadilan.

Kita tak bisa bicara keadilan tanpa mengakui ketimpangan. Di banyak wilayah Indonesia, akses terhadap layanan kesehatan mental masih bergantung pada faktor ekonomi dan geografis.

Orang kota lebih mudah menemui psikiater; orang desa harus menempuh perjalanan jauh atau menanggung stigma sosial. Padahal gangguan jiwa bisa menyerang siapa pun—dari kusir delman di Jembrana hingga pejabat di Denpasar. Gangguan jiwa tidak mengenal kasta, profesi, atau keyakinan.

Sudah saatnya kita memperlakukan kesehatan mental sebagaimana kita memperlakukan bencana alam, dengan sistem siaga. Setiap daerah perlu memiliki tim tanggap darurat kesehatan mental—gabungan psikiater, psikolog, pekerja sosial, dan relawan komunitas.

Ketika banjir melanda, kita kirim tenda dan makanan. Ketika trauma melanda, seharusnya kita kirim pendampingan dan empati.

Peran Media

Di sinilah media juga punya peran penting. Liputan tentang pemulihan—bukan hanya tentang kegilaan—bisa mengubah cara pandang masyarakat. Sebuah cerita tentang orang yang pulih bisa menyalakan harapan lebih besar daripada seribu seminar tentang stigma.

Bagi saya, Hari Kesehatan Mental Sedunia bukan sekadar tanggal di kalender, tapi pengingat bahwa setiap manusia berhak hidup dengan martabat.

Bahwa di balik setiap diagnosis ada seseorang yang ingin dipahami, bukan dihakimi. Bahwa akses terhadap layanan kesehatan mental bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar—terutama di tengah krisis, ketika banyak jiwa sedang mencari pegangan.

Saya menulis esai ini bukan untuk merayakan diri, melainkan untuk mengingatkan: kita semua rentan, dan karena itulah kita semua perlu peduli. Sebab, sebagaimana kata pepatah lama, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental.

Dan mungkin, di tengah bencana dan keadaan darurat apa pun—baik di luar maupun di dalam diri—hal paling mendesak untuk kita jaga adalah kemampuan untuk tetap berempati. Karena di sanalah, sesungguhnya, jiwa manusia bertahan. (KANALBALI/awj)

 

Apa Komentar Anda?