Bonk Ava Jadikan Seni Sebagai Ekspresi, Hidup dari Ojek Online

Seniman Bali ini memilih hidup di jalanan - IST
Seniman Bali ini memilih hidup di jalanan - IST

Di antara deru kendaraan dan panas aspal kota, sebuah sepeda motor melaju perlahan. Di balik helm dan jaket pengemudi ojek online, tak banyak yang tahu, bahwa lelaki itu menyimpan dunia kecil penuh warna di benaknya—kanvas, puisi, dan kisah-kisah yang ia bawa sejak lama. I memilih hidup di jalanan.

Penulis: Angga Wijaya

Namanya I Putu Sumadana. Tapi dalam dunia seni, ia lebih dikenal sebagai Bonk Ava.

“Seni bagiku adalah ekspresi diri,” ucapnya dengan suara pelan namun pasti, saat kami bertemu di sebuah kedai di Denpasar Utara, Rabu (9/7/2025).

Kalimat sederhana itu seolah membuka pintu menuju hidupnya yang panjang, berliku, dan penuh pergulatan. Bukan hanya pelukis, bukan hanya penyair. Ia juga seorang penyintas—dari luka batin, dari riuh zaman, dan dari tekanan hidup yang tak selalu ramah.

Bonk mengenal seni bukan dari ruang-ruang nyaman dan hening. Ia mengenalnya sebagai pelampiasan—tempat menumpahkan marah, sedih, kecewa, dan rindu yang mengendap lama di dada.

“Apa yang kita rasakan, marah atau ide-ide dalam kepala, bisa kita tuangkan ke dalam karya,” katanya. Bagi Bonk, seni adalah semacam jembatan menuju kelegaan. Tanpa itu, hidup terasa sumpek.

Ia percaya, menumpuk emosi dalam hati justru bisa menyakiti diri sendiri. Maka ia memilih untuk menyalurkan semuanya—melalui goresan, warna, dan kata. “Kalau kita pendam dalam hati itu, lama-lama bisa ganggu mental kita,” ujar pria kelahiran Denpasar tahun 1987 itu.

Lukisan karya Bonk Ava - IST
Lukisan karya Bonk Ava – IST

Karya dari Kehidupan Sehari-hari

Setiap karya yang ia hasilkan, baik puisi maupun lukisan, lahir dari kehidupan sehari-hari. Bukan dari ruang steril, bukan pula dari ketenangan penuh ilusi. “Ide banyak datang dari pengalaman pribadi, dari sekitar, dari bacaan, bahkan dari obrolan santai,” tuturnya.

Tak jarang, perdebatan kecil dengan teman menjadi pemicu sebuah puisi. Film seperti The Hobbit pun bisa ia respons lewat karya seni, ketika ada tokoh yang menurutnya tidak semestinya bersikap begitu.

Namun, meski berada di tengah dunia seni, Bonk justru memilih menjauh dari hiruk-pikuk diskusi tentang perkembangan seni di Bali. Ia mengaku lebih senang mengamati dalam diam. “Sudah berpuluh tahun aku pergi pameran, baca karya teman, karya nasional. Tapi aku bukan kritikus. Aku lebih suka berkarya daripada ngomongin karya orang,” katanya dengan tenang.

Pada 2023, ia menerbitkan buku puisi berjudul Roda Musim. Sebelumnya, puisi-puisinya telah dimuat di berbagai media massa dan terangkum dalam sejumlah antologi bersama seperti “Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta”, “Mengunyah Geram”, “Saron”, dan “Semesta Jiwa”.

Selain menulis, ia juga aktif melukis. Bonk Ava pernah mengikuti sejumlah pameran bersama, antara lain Pameran Virtual Komunitas Perupa Tasikmalaya “Melawan Corona” (2020), Pameran “Silang Sengkarut” (2022), dan pameran bersama “EgalitArt” (2023) dari Yayasan Banjar Global Nusantara. Ia juga beberapa kali diundang dalam acara melukis bersama seperti “Serupa” (2021) yang digelar oleh Jatijagat Kehidupan Puisi.

Buku puisi karya Bonk Ava - IST
Buku puisi karya Bonk Ava – IST

Seniman Bukan Hidup Mudah

Bonk Ava menuturkan, menjadi seniman di Bali tidak selalu berarti hidup yang mudah. Sejak awal 2025, Bonk memilih bekerja sambilan sebagai pengemudi ojek online.

“Agak sulit mengandalkan hidup dari kesenian, apalagi dari puisi dan lukisan,” katanya, tak ingin memoles realitas.

Ia paham, zaman telah berubah. Teknologi berkembang cepat, dan kehadiran Artificial Intelligence (AI) menjadi tantangan baru bagi pekerja seni. “AI bisa bikin karya seni yang cantik, tapi AI nggak punya rasa seperti seniman,” ucapnya.

Meski begitu, ia tak menolak kehadiran teknologi. Alih-alih merasa terancam, ia justru menjadikan AI sebagai teman ngobrol. “Kalau lagi stuck, aku pakai AI buat nanya. Tapi hasilnya nggak aku pakai mentah-mentah, cuma sebagai pemicu aja,” ujarnya. Baginya, AI hanya alat bantu. Bahan mentah. Jiwa dan rasa tetap milik manusia.

Tak hanya itu, Bonk juga mengkritisi maraknya tren puisi bertema dalam antologi bersama. “Kenapa harus selalu tema?” tanyanya. Ia merasa banyak penyair kini menulis mengikuti selera redaktur atau pasar.

Padahal, menurutnya, puisi yang kuat justru lahir dari pengalaman pribadi, dari kejadian kecil sehari-hari—seperti kecelakaan di jalan atau pertemuan singkat dengan orang asing.

“AI bisa bikin puisi bertema serius. Tapi nggak bisa menggantikan puisi yang lahir dari luka atau cinta yang kita rasakan sendiri,” katanya. Baginya, puisi tak perlu rumit. Yang penting jujur dan tulus.

Komunitas Rumah Berdaya

Dalam perjalanannya, Bonk banyak berkarya bersama komunitas Rumah Berdaya Denpasar, tempat berkumpulnya para penyintas gangguan jiwa. Di sana, ia menemukan energi lain: ketulusan. Teman-temannya melukis tanpa pretensi, tanpa takut salah.

Kalau mereka mau lukis kopi, ya mereka lukis kopi. Nggak peduli bagus atau nggak. Mereka tulus melukis dari bawah sadar,” katanya. Sikap ini sangat memengaruhinya.

Bagi Bonk, melukis juga menjadi bentuk pelarian dari kenyataan. “Melukis itu untuk menenangkan diri dari pekerjaan, masalah sama orang tua, teman, dan sebagainya,” ucapnya. Di sana, dalam ruang yang sunyi, ia menemukan cara untuk menyembuhkan luka batin yang tak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Bonk Ava bukan seniman yang mengejar sorotan. Ia tidak menjadikan seni sebagai panggung glamor. Baginya, seni adalah ruang bicara, cermin diri, sekaligus jalan pulang. Jalan yang ia tempuh dengan perlahan, dengan tekun, dan dengan penuh kesadaran.

“Aku nggak bisa ninggalin kesenian yang sudah aku tekuni,” katanya pelan. Mungkin, dalam hidup yang kadang terlalu cepat ini, Bonk hanya ingin terus berjalan dengan ritmenya sendiri. Dari mural ke puisi, dari kanvas ke jalanan. Ia terus menulis dan melukis hidupnya—satu demi satu, seperti doa yang tak pernah usai. (kanalbali)***

Apa Komentar Anda?