Dilema Orang Kritis di Bali

Aksi unjuk rasa WALHI dan aktivis lingkungan atas dimasukkannya zona penambangan pasir dalam rencana tata ruang laut Bali - ACH
Aksi unjuk rasa WALHI dan aktivis lingkungan atas dimasukkannya zona penambangan pasir dalam rencana tata ruang laut Bali - ACH

Di Bali, sikap kritis jarang dibalas dengan argumen. Lebih sering dibalas dengan tawa, sindiran, atau lelucon yang membuat Anda merasa konyol karena sudah berusaha serius.

Esai oleh Angga Wijaya*

Orang Bali punya stok humor untuk semua jenis orang kritis, dan dua di antaranya sangat populer yaitu Bebotoh Kalah dan Sing Maan Duman.

Bebotoh Kalah berarti penghobi sabung ayam (tajen) yang ayam jagoannya kalah. Orang ini biasanya keluar arena dengan muka masam, tapi lidahnya tak berhenti mengeluh.

Sama seperti orang yang setelah rapat desa atau sidang paripurna adat, langsung ramai di warung kopi mengkritik ini–itu, padahal yang membuatnya marah bukan isi rapatnya, tapi karena “ayamnya” kalah—kepentingannya tak tercapai.

Sing Maan Duman, “Tak Dapat Bagian”, lebih licin maknanya. Ini sindiran bagi mereka yang tampak vokal dan pintar bicara, tapi kalau dikupas, motivasinya sederhana; dia tidak kebagian kursi, proyek, atau posisi.

Kadang yang dimaksud bagian bukan uang, tapi kehormatan—duduk di panggung, difoto bersama pejabat, atau sekadar namanya disebut di spanduk acara.

Ungkapan-ungkapan ini adalah tamparan halus yang mengatakan, “Kami tahu kenapa kamu marah.”

Zaman dulu, orang kritis di Bali adalah mereka yang perkataannya sejalan dengan perbuatannya. Mereka bicara di bale banjar dengan risiko dikucilkan dari upacara, atau menegur perbekel meski tahu besok akan dilupakan dari daftar undangan rapat.

Tidak ada “tombol hapus komentar” di dunia nyata. kalau sudah bicara, siap tanggung akibatnya.

Sekarang, medan perang berpindah. Dari bale banjar ke layar ponsel. Dari tatap muka ke tatap layar. Dari bicara langsung ke unggahan status. Orang bisa berteriak lantang tanpa takut tatapan mata.

Tapi di balik banyaknya akun kritis itu, kadang tercium bau kepentingan. Afiliasi politik, urusan tender proyek, atau ambisi pribadi yang lebih tua usianya daripada akun media sosialnya.

Membongkarnya mudah, cukup scrolling. Satu tahun lalu memuji, tiga tahun lalu berfoto bersama, lima tahun lalu jadi tim sukses. Kritik yang hari ini terdengar heroik, ternyata dulu adalah tepuk tangan.

 

Menjadi kritis tentu bukan dosa. Justru dalam demokrasi, kritik adalah vitamin. Tapi seperti vitamin, dosisnya harus tepat. Terlalu sedikit membuat tubuh lemah, terlalu banyak bikin keracunan.

Di era media sosial, vitamin itu sering diberikan dalam bentuk yang salah, yakni status marah, video mengumpat, meme yang lebih banyak memancing tawa daripada pikiran.

Negara pun sampai harus membuat undang-undang ujaran kebencian, meski kadang terasa seperti dokter yang memberi resep tanpa pernah memeriksa pasien.

Ironisnya, ada orang-orang yang dulu kita kenal sebagai penulis esai tenang dan jernih, kini lebih sering muncul sebagai “intelektual marah” di Facebook.

Bukan lagi membahas filsafat atau budaya, tapi menyerang personal orang lain, sambil disoraki oleh barisan komentar.

Padahal Bali punya stok orang cerdas yang tidak sedikit. Masalahnya, banyak dari mereka memilih diam.

Ada yang diam karena ingin menjaga keharmonisan keluarga, ada yang diam karena takut dilabeli “tidak Bali” jika terlalu blak-blakan, ada juga yang diam karena sudah muak dengan debat kusir yang hanya memanaskan kepala.

Di media sosial, kritik kadang seperti layang-layang: tinggi sebentar, lalu jatuh karena benangnya putus. Hari ini ramai soal hotel yang merusak pantai, besok lenyap digantikan gosip selebritas

. Lusa, semua sibuk membahas politik nasional. Algoritma mengatur siapa yang terlihat kritis dan siapa yang menghilang.

Kalau semua diukur dari like dan share, kritik akan berubah menjadi hiburan. Orang bicara keras bukan untuk mengubah sesuatu, tapi untuk jadi bahan pembicaraan.

Pada titik ini, orang Bali yang memilih koh ngomong—malas bicara—justru lebih sehat pikirannya.

Diam bukan berarti apatis. Kadang diam adalah bentuk protes paling efektif. Tapi tentu saja, terlalu banyak diam bisa membuat ruang publik dikuasai oleh mereka yang bersuara paling nyaring tapi kosong isi.

Intelektual sejati mestinya tahu menempatkan diri.

Mereka bisa menyuarakan pikiran dengan elegan—menulis esai, artikel, atau membuat podcast—bukan ikut arus besar kegaduhan di grup WhatsApp atau yang isinya hanya berita setengah benar dan rumor setengah matang.

Bali tidak kekurangan bahan untuk bicara: krisis air, perubahan iklim, urbanisasi liar, sampai budaya yang terancam jadi dekorasi untuk turis.

Tapi untuk membicarakannya butuh lebih dari sekadar status marah. Butuh napas panjang, riset, dan kesabaran.

Karena kalau kritik hanya jadi bahan bercandaan, dilabeli Bebotoh Kalah atau Sing Maan Duman, maka yang tersisa hanya suara bising, bukan perubahan.

Bali selalu punya cara untuk menertawakan dirinya sendiri. Dan itu sehat. Tapi di tengah tawa itu, jangan sampai kita kehilangan mereka yang berani bicara jujur, bukan demi “bagian”, tapi demi kebenaran. (*)

*) Penyair, esais, dan jurnalis lepas di Denpasar-Bali.

Apa Komentar Anda?