 
DENPASAR, kanalbali.id – Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar, mendorong industri vaksin di Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam mendistribusikan vaksin secara global.
Hal tersebut, dia sampaikan saat konferensi pers dalam acara Developing Countries Vaccine Manufacture Network (DCVMN), yang digelar di Sanur, Kota Denpasar, Bali, pada Kamis (30/10) sore.
“Kita tahu setelah pengalaman Covid-19, ketersediaan vaksin itu sangat penting. Karena, kedepan akan ada penyakit-penyakit baru, tapi penyakit-penyakit lama juga ada. Misalnya TBC, hepatitis dan berbagai penyakit-penyakit lainnya, termasuk dengue, dan seterusnya,” kata Taruna.
Ia menilai, bahwa acara hari ini adalah sangat penting untuk membangun empat hal. Pertama, kesiapan Negara Indonesia dalam membangun jaringan yang kuat untuk ketersediaan vaksin tersebut.
Kedua, sebagai pemerintah, khususnya badan pengawas obat dan makanan yang bertanggung jawab hubungannya dari seluruh kehidupan vaksin tersebut, mulai dari riset and development-nya sampai dengan marketing authorization-nya.
Seperti izin edarnya, distribusinya, sampai dengan pemakaiannya dan law enforcement-nya, tentu hal ini memberikan ruang ekosistem yang bagus supaya pertumbuhan vaksin dan ketersediaannya bisa terpenuhi. Ketiga tentu pemerintah sebagai penjamin keamanannya, edukasinya dan penjamin kualitasnya.
“Yang terakhir yang paling penting, kita harus paham bahwa dalam konsep ketersediaan vaksin ini, penting sekali juga apa yang disebut dengan aspek pendanaan. Contoh paling konkret menurut dari WHO (organisasi kesehatan dunia) ketersediaan vaksin untuk yang berhubungan dengan tuberculosis itu kita butuhkan 50 juta dosis,” ungkapnya.
“Kemampuan kita, perkiraannya cuma sekitar 5 juta dosis untuk awal. Berarti masih ada space 45 juta. Itu kan ketersediaan hubungannya dengan bisnis untuk menyuplai kebutuhan dunia. Artinya aspek bisnis, ekonomi itu, akan terkait dengan ketersediaan vaksin itu sendiri,” lanjutnya.
Ia menilai, dengan empat poin itu pemerintah ingin memfasilitasi ekosistemnya supaya mulai dari hulu hingga hilirnya ketersediaan vaksin itu baik yang dibutuhkan oleh dalam negeri dan untuk mensuplai secara global bisa terpenuhi.
“Kita berharap dari industri-industri vaksin yang ada di negeri kita, saya melihat pemain utamanya memang Bio Farma. Tapi kan kita memiliki ada Etana, ada Biotis, dan JBio. Jadi kita sudah ada empat, harapannya kita bisa menjadi pemain utama di dunia global, intinya itu,” ujarnya.
Sementara, terkait jumlah total vaksin yang dibutuhkan di Indonesia, ia mengatakan tentu ada kebutuhan vaksin-vaksin dasar, misalnya vaksin dasar yang berhubungan BCG, DPT, TDP, dan berbagai lainnya.
“Termasuk polio. Kebutuhan vaksin itu tentu kita lihat angka kelahiran kita, angka morbiditasnya. Itu sebetulnya kita cukup membutuhkan lumayan besar. Jadi produksi dalam negeri saja untuk kepentingan kita sebetulnya itu juga belum kita mampu mencukupinya,” ujarnya.
“Jadi 4,8 juta bayi lahir setiap tahun. Dan itu kan minimal ingin divaksinasi polio tergantung dosis lagi dan seterusnya. Jadi kalau ditanya jumlah vaksin yang kebutuhannya tergantung morbiditas kita,” jelasnya.
Selain itu, juga soal vaksin yang berhubungan dengan vaksin serviks untuk anti kanker itu juga sangat dibutuhkan.
“Kesimpulannya kebutuhan vaksin kita masih sangat besar dibanding ketersediaan yang kita miliki yang diproduksi oleh dalam negeri kita. Yang 50 juta dosis itu untuk tahap pertama untuk ketersediaan yang berhubungan dengan vaksin tuberculosis, estimasi awal,” ujarnya.
“Sementara kita melakukan uji klinis di sini oleh Bio Farma. Ternyatakita untuk tahap awal sudah mampu memproduksi tahap awal 5 juta, berarti kan masih ada space peluang. Peluang kita bisa mensubsidi global 45 juta dosis. Tetapi kalau kita tidak siapkan ini, maka pasar ini akan diambil orang lain. Itu maksud saya,” ujarnya. (kanalbali/KAD)



 
		 
		