Jurnalis Laporkan Intimidasi, Polda Bali Didesak Tindak Lanjuti

Ketua Bidang Advokasi YLBHI-LBH Bali Ignatius Rhadite, kanan menunjukkan bukti pelaporan intimidasi - IST
Ketua Bidang Advokasi YLBHI-LBH Bali Ignatius Rhadite, kanan menunjukkan bukti pelaporan intimidasi - IST

DENPASAR, kanalbali.id – Aksi unjuk rasa mahasiswa dan drivel Ojek Online di Bali masih menyisakan masalah. Pasalnya, ada laporan dari  wartawan Detik Bali, bernama Fabiola  Dianira akan adanya intimidasi dan kekerasan yang diduga dilakukan oknum polisi.

Terkait laporan itu, Koalisi Jurnalis Bali meminta Polda Bali melakukan tindak lanjutnya. “Kami berharap agar polisi walau melakukan pemeriksaan terhadap sesama polisi tetap objektif melihat setiap fakta,” kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI-LBH Bali Ignatius Rhadite, pada Minggu (7/9).

Koalisi ini merupakan gerakan solidaritas mendukung jurnalis yang menjadi korban tindakan intimidasi dan kekerasan. Koalisi ini kumpulan organisasi profesi jurnalis dan organisasi masyarakat sipil yang terdiri YLBHI-LBH Bali, AJI Kota Denpasar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali, Ikatan Wartawan Online (IWO) Bali dan Ukhuwah Jurnalis Bali (UJB) dan Pena NTT.

Selain itu, proses pelaporan kasus intimidasi dan kekerasan ini cukup alot lantaran Koalisi Jurnalis Fabiola Dianira ingin kasus intimidasi dan kekerasan ini menggunakan Undang-undang Pers. Tim kuasa hukum, Fabiola Dianira dan para jurnalis yang mendampingi terpaksa bolak-balik dari SPKT ke Ditreskrimsus mendesak kasus ini bisa dijerat dengan Undang-undang Pers.

Kemudian, laporan akhirnya diterima Polda Bali setelah memakan waktu hampir 12 jam, yakni pada Sabtu (6/8) mulai pukul 15.00 WITA sampai Minggu (7/8) pukul 02.14 WITA dengan nomor Laporan Polisi Nomor LP/B/636/IX/2025/SPKT/POLDA BALI tanggal 6 September 2025 dan Nomor LP/B/637/IX/2025/SPKT/POLDA BALI tanggal 7 September 2025.

Adapun pasal yang dilaporkan adalah Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP dan Pasal 4 ayat (2) dan/atau ayat (3) jo. Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 10 ayat (1) huruf d dan f; Pasal 12 huruf e dan g; dan Pasal 13 huruf m Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.

“Dalam hal ini melaporkan dugaan tindak pidana menghalang-halangi dan melakukan kekerasan terhadap aktivitas jurnalistik, pemaksaan dengan ancaman kekerasan atau kekerasan, serta sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses perangkat milik jurnalis serta pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh tiga orang personel Polri yang belum diketahui identitasnya,” ujar Rhadite.

Kasus ini perlu dilaporkan ke Polda Bali, karena tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran serius baik terhadap demokrasi dan kerja-kerja jurnalistik yang telah dilindungi oleh Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999.

Rhadite melampirkan sejumlah bukti tindakan intimidasi dan kekerasan polisi, yakni kartu pers Fabiola Dianira, surat tugas peliputan dan dua orang saksi. Tim kuasa hukum juga melampirkan petunjuk berupa titik lokasi rekaman CCTV yang dapat menunjukkan peristiwa tindakan intimidasi dan kekerasan polisi.

Sementara itu, Kordinator Divisi (Kordiv) Gender dan Kemitraan  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar, Ni Kadek Novi Febriani mengapresiasi keberanian Fabiola Dianira melaporkan tindakan intimidasi dan kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota Polri. Fabiola Dianira adalah bukti jurnalis perempuan pemberani melawan segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis.

Febri mengatakan, kebebasan pers adalah kunci sebuah negara demokratis yang tidak dapat ditawar. Hal yang dialami Fabiola Dianira menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Padahal, dalam kondisi politik-sosial yang bergejolak justru publik membutuhkan berita yang akurat, independen dan bisa dipercaya.

Dia menilai aparat kepolisian seharusnya bisa menjamin kebebasan pers. Dia menegaskan, kekerasan dan intimidasi tak bisa dibiarkan begitu saja, karena kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Pada Pasal 8 UU Pers disebutkan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Maka adanya tindakan kekerasan dialami oleh jurnalis saat meliput aksi 30 Agustus adalah pelanggaran hukum dan demokrasi,” ujarnya.

Sebelumnya, Fabiola Dianira adalah salah satu jurnalis yang jadi korban kekerasan yang diduga dilakukan oleh pihak kepolisian, saat meliput aksi unjuk rasa di Lapangan Renon, Kota Denpasar, Sabtu (30/8). Salah satu hal yang disoroti massa aksi terkait kenaikan tunjangan DPR dan tewasnya sopir ojol Affan Kurniawan.

Fabiola Dianira diintimidasi karena hendak merekam sejumlah tindakan dugaan kekerasan aparat saat membubarkan massa aksi, yaitu massa ditendang, dipukuli dan diborgol. Walau sudah menyatakan sebagai jurnalis, sekitar 3-4 orang diduga polisi berpakaian serba hitam mengintimidasi dengan melarangnya mengambil foto.

Tak hanya itu, kedua tangan Fabiola Dianira dicengkram oleh dua orang yang diduga anggota polisi. Salah satu diantara mereka selanjutnya merampas dan memaksa membuka ponselnya memastikan tidak ada dokumentasi kebrutalan pembubaran massa. Akibat dari kejadian itu, Fabiola Dianira mengalami depresi hingga terpaksa menjalani pemulihan psikologis. (kanalbali/RLS/RFH)

Apa Komentar Anda?