Kamu Pencari Kerja, Kamu (Pasti) Akan Dihubungi

Ilustrasi - Pencari Kerja IST
Ilustrasi - Pencari Kerja IST

Penulis: Angga Wijaya

PEKAN ini, beberapa orang tiba-tiba memberi peluang dan kesempatan kepada saya. Ada penerbit yang menawari kerja sama menulis buku. Ada teman lama yang dulu pernah satu redaksi, mengajak bergabung dalam proyek konten.

Ada pula narasumber yang beberapa tahun silam saya wawancarai, kini ingin memperkenalkan produk usahanya dan membutuhkan exposure media. Bahkan, ada kenalan baru yang tanpa sengaja menemukan tulisan saya di media sosial, lalu menghubungi untuk kolaborasi.

Saya lalu tersenyum dan merenung. Rupanya, nomor telepon kita—serta reputasi dan prestasi yang pernah kita ukir—tak benar-benar hilang. Ia tersimpan di gawai dan ingatan orang-orang. Mungkin bertahun-tahun tak ada kabar, tapi ketika mereka membutuhkan bantuan atau tenaga yang kita miliki, mereka akan menghubungi kita. Dunia memang luas, tapi jejaring manusia bekerja dengan cara yang misterius; penuh kebetulan, tapi tak sepenuhnya acak.

Dan di situlah letak indahnya hidup di era sekarang.

Mencari Kerja di Era Kiwari

Dulu, mencari pekerjaan adalah perkara yang membuat dada berdebar. Kita harus mengetik lamaran, mencetak CV di kertas HVS, menunggu dengan harap-harap cemas di depan papan pengumuman, atau memeriksa kotak pos saban pagi. Kini, semua itu berubah drastis.

Di era media sosial, pekerjaan bisa datang bahkan saat kita tidak sedang mencarinya. Ada banyak akun lowongan kerja yang setiap hari mengunggah informasi peluang dari berbagai sektor: kreatif, administrasi, pendidikan, media, hingga teknologi. Kita bisa melamar hanya dengan beberapa kali klik, dan sistem digital mencatat semua riwayat itu.

LinkedIn, misalnya, bukan lagi sekadar jejaring profesional; ia telah menjadi ruang pamer kompetensi dan reputasi. Kita bisa tahu siapa saja yang melihat profil kita, dari perusahaan mana, bahkan bidang apa yang mereka minati. Kadang-kadang, tanpa disangka, tawaran datang lewat message request yang sederhana:
“Halo, saya membaca tulisan Anda. Apakah Anda bersedia menulis untuk kami?”

Lihatlah betapa dunia kerja kini begitu cair. Tak perlu menunggu di ruang tunggu, tak mesti bersaing di meja ujian tertulis. Cukup dengan menunjukkan karya, konsistensi, dan kepribadian yang baik di dunia maya, orang akan menilai kita. Dalam pengertian ini, media sosial adalah curriculum vitae yang selalu hidup dan terus diperbarui.

Saya sering memikirkan betapa besar berkah teknologi bagi mereka yang mau menekuni bidangnya dengan sabar. Kita bisa bekerja dari mana saja—di kafe, di rumah, di perpustakaan, bahkan di pinggir sawah. Dunia kerja kini memberi ruang bagi sistem hybrid dan work from anywhere. Beberapa perusahaan menetapkan jadwal masuk kantor hanya dua atau tiga kali seminggu; selebihnya bisa dilakukan secara daring.

Bayangkan, betapa mudahnya menyesuaikan ritme hidup dengan pekerjaan. Tak lagi harus terjebak dalam kemacetan setiap pagi. Tak perlu risau soal pakaian formal setiap hari. Yang paling penting kini bukan lagi kehadiran fisik, tapi kualitas kontribusi dan integritas.

Namun, kemudahan ini tidak serta-merta membuat semuanya berjalan mulus. Justru di tengah kemudahan itu, tantangan baru muncul: kita harus bisa mengatur waktu, menjaga motivasi, dan menumbuhkan rasa syukur. Karena tanpa gratitude, kita mudah hanyut dalam perbandingan—melihat pencapaian orang lain di media sosial, lalu merasa kecil.

Padahal, yang sesungguhnya membuat seseorang “dipanggil” oleh kesempatan bukan hanya karena dia cakap, tapi karena dia siap.

Kamu (pasti) akan dihubungi. Tenang dan santai saja.

Kalimat itu bukan sekadar janji untuk menghibur diri, melainkan sebuah sikap batin yang berakar pada rasa percaya, bahwa apa pun yang telah kita tanam, suatu hari akan tumbuh.

Bahkan ketika hidup terasa mandek—saat kita benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi—selama kita tetap menekuni apa yang kita cintai, tetap jujur bekerja, rezeki dan kesempatan itu akan datang menghampiri.

Saya ingat seorang teman, seorang desainer lepas, yang bertahun-tahun hanya mengerjakan proyek kecil. Ia tetap rajin memperbarui portofolionya di Instagram, meski hanya mendapat beberapa like setiap unggahan.

Hingga suatu hari, sebuah merek besar melihat hasil karyanya dan menawarinya kontrak kerja sama. Ia tak pernah tahu siapa yang sedang memperhatikannya selama ini.

Itulah keajaiban zaman digital; kamu tidak tahu siapa yang sedang menilai, mengagumi, atau diam-diam menyiapkan pintu untukmu.

Namun, tak semua orang bisa sabar menunggu masa itu datang. Di tengah ritme dunia yang serba cepat, kita sering merasa tertinggal. Ada teman yang sudah punya karier mapan, ada yang sudah menikah, ada yang membeli rumah dari hasil jerih payahnya. Sedangkan kita masih berkutat dengan deadline, menulis, mendesain, atau melamar kerja ke sana kemari.

Saya ingin mengatakan, tidak apa-apa.

Hidup bukan lomba serempak. Ada yang dipanggil cepat, ada yang baru dipanggil setelah menunggu lama. Yang penting, kita tidak menyerah di tengah jalan. Setiap proses punya waktunya sendiri, dan setiap orang punya jalan rezeki yang unik.

Lagi pula, dalam setiap penundaan, selalu ada maksud baik semesta: mungkin kita sedang disiapkan untuk sesuatu yang lebih besar, atau diberi kesempatan memperbaiki diri sebelum benar-benar siap menerima tanggung jawab baru.

Rasa syukur (gratitude) adalah modal terpenting dalam masa-masa menunggu.

Syukur membuat hati tetap hangat meski jalan hidup terasa dingin. Ia bukan sekadar ucapan “terima kasih”, tapi cara memandang hidup. Dengan bersyukur, kita belajar melihat hal-hal kecil sebagai anugerah besar, seperti, secangkir kopi yang menemani pagi, pesan singkat dari sahabat lama, atau bahkan pekerjaan kecil yang tetap memberi penghasilan di masa sulit.

Banyak orang kehilangan rasa syukur karena terlalu fokus pada apa yang belum dimiliki. Padahal, kalau kita menengok ke belakang, ada banyak hal yang dulu kita minta dengan sepenuh doa—dan kini telah kita miliki tanpa kita sadari.

Kita pernah berdoa agar punya pekerjaan; sekarang kita punya.
Kita pernah berharap dikenal lewat karya; sekarang orang mengenal kita.
Kita pernah ingin hidup tenang; sekarang, walau sederhana, kita bisa menikmati hari tanpa ancaman.

Lalu, mengapa masih merasa kurang?

Syukur bukan tentang seberapa banyak kita punya, melainkan seberapa dalam kita merasakan cukup.

Tentu, bersyukur bukan berarti berhenti berusaha. Justru sebaliknya, rasa syukur memberi energi untuk terus melangkah. Ia melahirkan ketenangan, dan dari ketenangan itulah muncul ide, semangat, serta kreativitas.

Saya sering mengalami, ide terbaik justru datang ketika hati tenang dan penuh terima kasih. Bukan saat panik mengejar sesuatu, melainkan ketika sadar, bahwa semua sudah cukup, tapi masih ada ruang untuk memberi lebih.

Mungkin inilah yang dimaksud “rezeki itu datang ketika kita siap.” Bukan siap secara teknis saja, tapi juga siap secara batin; siap menerima, siap berbagi, siap bekerja sama. Dan kesiapan itu tumbuh dari kebiasaan bersyukur.

Di dunia kerja modern, reputasi pribadi menjadi kunci. Orang tidak hanya mencari kemampuan, tapi juga karakter. Dunia yang serba terhubung ini menyimpan jejak digital setiap tindakan kita: bagaimana kita berinteraksi, menanggapi kritik, atau berkomunikasi di ruang publik.

Media sosial, dalam pengertian itu, bisa menjadi cermin diri. Ia bisa mengangkat kita, tapi juga menjatuhkan. Karena itu, merawat citra diri bukan sekadar soal branding, melainkan integritas. Tampilkan diri yang apa adanya, tapi tetap sopan, profesional, dan positif.

Saya sering mendapat pesan dari orang yang dulu pernah membaca tulisan saya, lalu berkata:
“Mas, saya suka gaya tulisannya. Bisa bantu kami menulis rilis?”

Itu bukan semata hasil dari karya, tapi juga dari konsistensi dalam menjaga kepercayaan. Orang-orang mengingat bukan hanya apa yang kita lakukan, tapi bagaimana kita melakukannya.

Era media sosial telah menghapus banyak sekat antara pekerjaan, pertemanan, dan peluang.

Kini, seorang penulis bisa mendapat tawaran proyek dari seorang pembaca yang bahkan tak pernah ditemuinya. Seorang desainer bisa direkrut oleh perusahaan luar negeri hanya karena unggahan di Behance. Seorang pengajar bisa membuka kelas daring dari kamar rumahnya sendiri.

Dunia kerja telah menjadi ekosistem terbuka yang menilai berdasarkan kompetensi dan kreativitas.

Namun, di balik semua kemudahan itu, jangan lupa menjaga nilai-nilai lama, yakni kerja keras, kesetiaan pada profesi, dan kejujuran. Karena sehebat apa pun algoritma media sosial, ia tak akan bisa menggantikan reputasi yang tumbuh dari ketulusan.

Saya menulis ini bukan untuk sekadar memberi motivasi, melainkan sebagai catatan rasa syukur. Kadang, kesempatan datang bukan karena kita mencarinya, tapi karena kita telah memantaskan diri untuk menerimanya. Dunia ini, percaya atau tidak, memiliki cara bekerja yang halus. Energi baik akan menemukan jalannya sendiri.

Maka, teruslah berkarya. Teruslah mencintai apa yang kamu kerjakan, bahkan ketika dunia seolah diam. Jangan berhenti menanam hanya karena ladang tampak kering. Air hujan itu akan datang, dan ketika ia datang, kamu akan dihubungi.

Mungkin bukan hari ini, bukan minggu depan, tapi pada saat yang tepat.

Tenang saja. Kamu (pasti) akan dihubungi.

*Angga Wijaya adalah penyair, esais, dan wartawan asal Bali yang telah menulis 15 buku sejak 2018. Ia kini aktif menulis untuk media daring dan penerbitan alternatif.

Apa Komentar Anda?