Konsolidasi Korban Konflik Tanah Tandai Peringatan HAM di Bali

Penyampaian aspirasi petani pada peringatan hari HAM se-dunia di Bali - IST
Penyampaian aspirasi petani pada peringatan hari HAM se-dunia di Bali - IST

DENPASAR, kanalbali.id – Isu konflik pertanahan dan tata ruang di Bali akhir-akhir ini kembali mengemuka. Alasan itu mendorong Forum Peduli Bali (FPB) melakukan konsolidasi aktivis dan petani korban konflik di Bali, Kamis (10/12/2025) di ASA Coffee, Renon serangkaian peringatan hari HAM sed-dunia.

Warga korban konflik seperti di Selasih (Gianyar), Kintamani (Bangli) dan Pejarakan (Buleleng) turut terlibat dalam acara itu.  Dari kalangan aktivis tampak perwakilan LBH Bali, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali dan kalangan mahasiswa.

Ketua FPB Nyoman Mardika menekankan, konsolidasi itu adalah untuk mencari kemungkinan penyelesaian masalah yang selama ini menemui jalan buntu.

“Ini pekerjaan rumah bersama kita sembari melihat masalah-masalah yang akan terjadi di masa depan,” katanya.

Dalam diskusi yang dirangkaikan dengan peringatan hari HAM Internasional itu, pembicara melihat  proyek besar dengan dalih investasi seringkali meminggirkan hak masyarakat Bali atas tanah dan ruang hidupnya.

Perwakilan BEM FH Universitas Udayana, Firmansyah, menyebut masalah alih fungsi lahan di Bali sudah mengkhawatirkan. Minimnya pengawasan membuat lahan pertanian berubah menjadi vila dan properti komersial.

”Tanah Bali sudah banyak beralih ke investor. Jika ini dibiarkan, warga Bali bisa jadi gelandangan di tanahnya sendiri,” tegasnya.

Selain itu, ia menilai mitigasi bencana dan tata ruang diabaikan hingga memicu bencana seperti banjir bandang di beberapa daerah.

Aktivis KPA Bali, Made Indrawati membeberkan bahwa konflik tanah bukan isu baru. “Kasus Selasih sudah 30 tahun tak selesai, Sendang Pasir 35 tahun mandek, termasuk persoalan eks pengungsi Timtim. Hampir 99 persen konflik lahan di Bali terjadi antara rakyat dan investor,” katanya.

Ia mengajak mahasiswa turun membantu petani kembali memperjuangkan hak agraria.

Direktur LBH Bali, Rezky Pratiwi, menilai indeks demokrasi nasional melemah. Aksi protes terhadap proyek investasi sering mendapatkan tindakan represif.
“Bali jadi korban pariwisata berlebihan. Penting ada ruang konsolidasi agar masyarakat tetap bisa menyuarakan haknya,” ujarnya.

Agus Samijaya advokat senior menyoroti adanya sentralisasi kebijakan tanah yang membuat pemerintah daerah tidak berdaya. “Pemda seperti macan ompong hingga akhirnya terjadi kasus di Kelingking karena keputusan pusat,” jelasnya.

Mengenai rencana KEK Pejarakan, ia menyebut kawasan tersebut merupakan wilayah reforma agraria sehingga rawan berpotensi memicu penolakan masyarakat.

Made Sudiantara, perwakilan warga Selasih, menuturkan masyarakat sering dirugikan oleh tumpang tindih regulasi. “Kami dipingpong, dari daerah dilempar ke pusat. Investor tak punya kewajiban ngayah padahal membeli tanah adat,” keluhnya.

Sementara itu, Rasid dari Serikat Petani Suka Makmur menegaskan bahwa KEK Pejarakan dapat memicu keresahan karena menyangkut tanah rakyat.

Tokoh adat Jro Berata dari Kintamani juga menyinggung habisnya tebing dan kawasan TWA akibat eksploitasi investor. ( kanalbali/RFH)

Apa Komentar Anda?