Camino de Santiago, “Tirtayatra” Putu Suasta di Tanah Orang Nasrani (Tulisan 1)

Penulis: I Gede Joni Suhartawan (Bagian 1 dari 2 tulisan)

PUTU SUASTA adalah penganut Hindu dan orang Bali militan.

Militansinya dapat dilihat dari aktivitasnya sejak menjadi mahasiswa UGM tahun 80-an, aktivis reformis 98, politisi tingkat nasional era presiden SBY, hingga kini sebagai pegiat intelektual hampir di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kala itu, sebagai mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM, Putu menunjukkan kepedulian besarnya pada perkembangan agama Hindu di Yogyakarta. Bersama beberapa teman sesama mahasiswa dari Bali, Putu secara sukarela mengabdikan dirinya menjadi guru agama Hindu di sekolah-sekolah SMA di sana, yang pada saat itu sangat kekurangan guru agama Hindu, bahkan nyaris tidak ada.

Kisah mahasiswa Hindu menjadi “guru agama dadakan” di Yogyakarta, menjadi kenangan cukup menggelikan kini: bagaimana Putu dan kawan-kawan mendadak harus belajar kembali, memelototi buku “Upadesa” sebagai acuan praktis dalam menyiapkan bahan pengajaran untuk adik-adik siswa SMA.

Kepedulian yang seolah alamiah mahasiswa Bali perantau seperti itu berlanjut dan berkembang. Suasana Kota Pelajar memang menumbuh-suburkan kesadaran untuk berbuat dan berguna bagi nusa bangsa. Tak hanya menjadi guru agama, Putu dan kawan-kawan seangkatannya turut memantik lahirnya organisasi pemuda Hindu tingkat nasional, Peradah dan KMHD.

Selain itu, Putu juga aktif dalam dinamika gerakan seni budaya Sanggar Dewata —sebuah wadah mahasiswa Bali yang kuliah Seni Rupa di ISI Yogyakarta, yang dimotori oleh pelukis Nyoman Gunarsa (alm).

Dari kisah era mahasiswa ini saja, rasanya sudah cukup untuk menunjukkan bagaimana seorang Putu Suasta memulai pengelanaannya sebagai sebuah pribadi. Bagaimana kemudian langkahnya sebagai aktivis 98 hingga di jantung kekuatan politik terbesar Indonesia 2004-2014 —sebuah fase yang ia kembarai dengan “gelisah” dan kadang “beringas”.

Katedral Santiago de Compostela.- IST

Kini sampailah Putu pada fase asyik masyuk sebagai apa yang ia sebut “seorang pengelana global”. Ia melakukan laku spiritual ke India, Cina, dan Eropa. Apakah laku ini merupakan bentuk lain saja dari “gelisah” dan “beringasnya” seorang Putu seperti di masa lalu, atau ini bentuk “baru” Putu Suasta yang tak lagi gelisah apalagi beringas itu?!

Bulan lalu Putu baru saja pulang dari ziarah kali keduanya di Eropa. Ia mengikuti perjalanan napak tilas yang sangat unik dan fenomenal di dunia: Camino de Santiago. Ini adalah ziarah tahunan yang dilakukan sejak berabad-abad lalu dengan berjalan kaki ratusan kilometer.

Peziarah bisa memilih mau memulainya dari Perancis, Spanyol, atau Portugal, berjalan menuju Katedral Santiago de Compostela di barat laut Spanyol.

Ziarah kuno ini, menurut National Geographic, adalah bentuk peringatan umat Katolik terhadap perjalanan membawa jenazah Santo Yakobus ke makamnya, yang kemudian di makam itu dibangun Katedral Santiago de Compostela.

Santo Yakobus sendiri adalah murid Yesus yang martir demi keyakinannya tentang Injil.

Masih menurut National Geographic, ziarah kuno Katolik ini berkembang universal hingga kini menjadi ziarah lintas ras, golongan, dan agama (bahkan yang tidak beragama). Dengan berbagai latar belakang tersebut, dapat dipastikan para peziarah itu memiliki motivasi yang berbeda-beda dan sangat kuat.

Motivasi itulah yang medorong para peziarah rela berjalan kaki ratusan kilometer, bersusah payah menapaki jalan-jalan pedesaan, lembah, dan pegunungan.

Apa pun latar belakang dan motifnya, National Geographic mendapati bahwa hampir semua peziarah yang datang ke sana, didorong oleh semangat kemanusiaan yang sama, yaitu semangat bahwa hanya ada satu ras di bumi ini: ras manusia! Persaudaraan sesama bangsa manusia, menurut pengakuan Putu bukan menjadi teori lagi di sana, tetapi sudah menjadi pengalaman nyata.

Betapa tidak, aneka ragam bentuk manusia dari berbagai sudut bumi bertemu dan bersama menghadapi kesulitan dan beratnya tantangan di medan perjalanan. Pendeknya, mereka bertemu dan merasakan segala sesuatu bersama-sama.

Antar-peziarah menjadi sangat akrab, saling tolong, saling topang. Bukan antar-peziarah saja, tetapi juga antara peziarah dengan penduduk pedesaan setempat, yang memberi tempat singgah setelah para peziarah itu berjalan kaki berhari-hari lamanya.

Putu sendiri, ketika akhirnya berhasil mencapai Katedral de Compostela mengabarkan secara langsung kepada penulis melalui video call.

Di tengah hujan deras Santiago, berapi-api Putu menuturkan bagaimana ia berhasil melewati berbagai medan dan cuaca untuk sampai di katedral yang orang Katolik sendiri pun belum tentu pernah ke sana. Dari laporan pandangan mata yang berapi-api itulah saya berkeyakinan Putu TIDAK sedang menjadi lain.

Ia tetaplah pribadi gelisah dan beringas. Hanya kini kegelisahan dan keberingasan Putu sudah berada di posisi “tak ragawi” lagi, melainkan ada di posisi “jiwawi”.

Penulis tergetar ketika Putu menjelaskan bahwa bukan medan ziarah dan kondisi fisik yang membuatnya gentar, tetapi jika ia tidak berhasil melepaskan diri dari rasa memiliki; itu yang lebih mencemaskannya! Putu pernah berkabar, di hari ke sekian berjalan kaki itu salah satu kakinya sempat bermasalah dan ia membayangkan akan pulang dengan kondisi pincang permanen.

Eloknya, ia mengabarkan itu dengan tawa terkekeh-kekeh, sementara penulis tercekat cemas mendengarnya.

Apakah Putu sedang masuk dunia sufi, tetapi tetap dengan gaya gelisah dan garangnya itu? Tetap dengan jiwa alamiahnya yang menyala-nyala, yang menyerahkan waktu dan tenaga seperti kala mahasiswa dulu, ketika ia mengajar agama Hindu tanpa sepeser pun imbalan? .

Dan kini dengan menyala-nyala pula ia berkelana ke negeri Nasrani, menggumuli segala bentuk kecemasan dan kekuatiran dunia ini?? (bersambung)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.