
“Jon, wine di sini murah-murah!” seru Putu melalui HP-nya. Saat itu ia sedang berada di setengah perjalanan ziarah kuno camino de Santiago, ziarah kuno umat Nasrani (Katolik) yang menjadi ziarah universal bangsa-bangsa, yang Putu sedang jalani baru-baru ini.
Tentu saya PAham Putu sedang tidak semata bicara soal nominal rupiah atau euro atau dollar. Bagi saya ia sedang mengabarkan betapa, bahkan masih di sesama bumi, sebotol anggur yang sama kualitasnya, bisa berharga tinggi di belahan bumi satunya dan bisa juga nyaris tiada harganya di belahan bumi lainnya.
Saya pun teringat “gubuk derita gua hantu”, tempat tinggal swargi Ida Pedanda Nyoman Temuku, penggagas Wariga Belog. Di griya Brahmana nyentrik ini, terpajang berbagai jenis minuman berkelas (dari segi harga maupun merk), utuh dan ada isinya, digelantungkan begitu saja pada pokok pohon, tak disentuh apalagi diminum!
“Itu dikejar-kejar banyak orang karena mahal dan hebat. Tidak semua orang sanggup beli, tapi di sini, itu hanya pajangan kepuasan mata saja. Cukup segitu gunanya!” ujar Peranda bernada menyindir.
Wine yang “murah tapi berkualitas”, yang dikabarkan itu ternyata hasil home made warga sebuah pedesaan yang para peziarah camino de Santiago singgahi, termasuk Putu.
Sepertinya kabar remeh dari Putu. Tetapi bagi saya ini kabar luar biasa seorang peziarah dari pulau Bali di tanah Nasrani.
Apa sesungguhnya yang disebut “mahal” dan yang disebut “murah” dalam hidup ini? Itu kabar satu.

Yang kedua, masih di tengah perjalanan ziarah bermedan berat, Putu mengabarkan kondisi salah satu kakinya yang terpelecok dan menyebabkan ia berjalan pincang. Walaupun sempat ada nada panik, namun Putu di akhir pengabarannya itu dengan ringan saja berkata, “Aku hanya perlu istirahat, soal sampai tidaknya di tujuan, nanti. Soal aku pulang pincang, nanti. Bahkan soal aku pulang dalam peti, nanti!” .
Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh, menorehkan bayangan yang tidak-tidak di benak saya.
Ketiga, masih di tengah perjalanan Santiago itu, Putu membagi kabar yang baginya sangat mengesankan yang ia peroleh dari perkenalannya dengan seorang peziarah, wanita paruh baya, tentang motivasinya melakukan ziarah.
Menurut Putu namanya Isabel. Isabel memiliki sahabat yang telah lama menderita kerusakan ginjal, memiliki seorang bapak yang menderita kanker dan ibu yang menderita penyakit jantung.
Tak tahan melihat penderitaan orang-orang dekatnya ini, Isabel memilih menolong mereka dengan cara silih. Silih adalah ganti, tukar atau “mengambil alih” persoalan atau derita orang lain melalui cara ber-camino.
Mengambil jalan “menderita dalam perjalanan ke Santiago” dengan pengharapan itu dapat mengganti derita orang-orang yang ia kasihi.
Keempat, adalah perjalanan ekstra Putu setelah menyelesaikan rute camino de Santiago. Ia mampir ke Lourdes dan sempat memasang lilin bagi setiap sahabatnya dan menaikkan doa (tentu dengan cara Putu sendiri) bagi mereka.
Ini kabar mengharukan bagi saya pribadi, didoakan sungguh-sungguh oleh seorang sahabat rasanya “sesuatu” sekali
Terakhir, Putu menginap dan tinggal bersama di biara Sarekat Jesuit terbesar di Eropa selama tiga malam empat hari. Ia berinteraksi dengan para Romo dan calon Romo di sana. Termasuk berkenalan dengan direktur Sekolah Tinggi Theologia Vatican, Romo Kons yang menurut Putu ternyata putra Indonesia dari NTT.
Yang menakjubkan bagi Putu adalah, di pusat pendidikan para ulama tinggi Katolik itu, diskusi-diskusi dan pembelajaran di sana justru lebih banyak mengupas soal-soal kemanusiaan, perdamaian global dan kesejahteraan.
Demikianlah tokoh Hindu ber-DNA Bali bernama Putu Suasta yang saya kenal. Gelisah dan beringasnya rupanya kini berpindah ke level yang bukan lagi jalanan seperti kala ia jadi demonstran era 98, bukan pula pada level siasat dan intrik kaum elite di rimba politik paska reformasi.
Ini kali kegelisahan dan keberingasannya mungkin sedang berada di ruang sunyi namun tetap di dalam hiruk pikuk permasalahan sosial sekelilingnya, Bukan meninggalkannya lalu mengasingkan diri bak pertapa. Ya, Putu sedang “tirtayatra”, kami ke tanah Nasrani, bukan untuk “mengikatkan diri” dalam cangkang melainkan untuk “pembebasan dari cangkang” apapun itu, termasuk cangkang agama, agar bisa lebih peduli sesama,
Perhatikanlah apa yang selalu ia sebarkan ke teman-temannya setiap ada yang harus pulang kembali ke “asal”, yang saya kutip sebagian saja:
Saudaraku,dulurku…tanpa kita sadari .. satu persatu… saudara² dan sahabat² kita… Pamit pulang. ….Ternyata… sehebat-hebatnya manusia… pasti akan dikalahkan… oleh sang WAKTU…. Manusia .. lemah… sakit-sakitan…dan akhirnya menyerah… pada panggilan AJAL.
WAKTU…setiap hari mengambil sebagian dari diri kita….Sedikit demi sedikit…hingga akhirnya TAK TERSISA….Maka yang CERDAS… adalah mereka yang tidak terlena dengan pesona dunia…Dia menyadari bahwa dirinya sewaktu-waktu pasti akan MATI.
Lalu ayo kita gunakan WAKTU SEKARANG .sebaik mungkin..untuk tidak menunda setiap kebaikan, empati … yang terbersit di hati… Karena semenit lagi… atau bahkan sedetik lagi… tidak ada jaminan kita … masih bisa melakukannya.
Kiranya semua pikiran baik datang dari segala penjuru. (selesai)
Be the first to comment