
DENPASAR, kanalbali.id – Prof. Dr. I Putu Sugiartha Sanjaya, S.E., M.Si., Ak.,C.A dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Akademisi kelahiran Ped, Nusa Penida, Klungkung, 24 Oktober 1970 itu menjalani pengukuhan pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Sugiartha mulai menempuh kuliah di Yogyakarta pada 1990 dengan mengambil jurusan Akuntansi di UAJY. Setelah lulus pada 1994, dia menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada hingga lulus Program Doktor.
Ia juga sempat menempuh pendidikan Profesi Akuntansi di Universitas Sanata Dharma Yogkarta pada 2011-2012.
Dalam pidato pengukuhannya yang diberi judul “Urgensi Pengungkapan Kepemilikan Ultimat Sektor Nonperbankan di Indonesia”, Sugiartha menungkap bahwa isu tentang kepemilikan ultimat bukan hal baru dalam akuntansi.
Isu ini menjadi topik penelitian internasional dalam bidang akuntansi dan berkembang ke tanah air sebelum tahun 2005.
Topik tentang riset kepemilikan terus berkembang sampai saat ini tetapi, perkembangannya di Indonesia relatif melambat karena keterbatasan data karena pengungkapan kepemilikan ultimat ini baru terbatas pada sektor perbankan sementara sektor nonperbankan belum banyak dan bisa dikatakan sangat kecil jumlahnya.
Jika ditelusuri, kepemilikan ini akan menemukan pemilik ultimat, dimana pemilik ultimat merupakan pihak yang mempunyai hak kontrol terbesar yang menjadi Pemegang Saham Pengendali. Kepemilikan ultimat ini bisa berdampak baik dan bisa juga buruk.
Ini tergantung pada besaran perbedaan kedua hak ini. Jika perbedaannya besar maka akan menjadi hal buruk (entrenchment) dan jika perbedaannya kecil dan bahkan bernilai nol, maka akan berdampak baik (alignment).
Hasil penelitian bain intenasional dan nasional menunjukkan semakin besar perbedaan antara hak kontrol dan hak aliran kas, semakin besar pula manajemen laba baik dilakukan melalui akrual, core shifting, maupun riel activity manipulation.
Ini berarti semakin besar perbedaan kedua hak tersebut menyebabkan bias informasi dalam laporan keuangan meningkat. Ini menyebabkan kualitas informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan sangat rendah.
Hal yang sama juga terjadi pada reaksi atau penilaian pasar pada perusahaan yang hak kontrol pemegang saham pengendali lebih besar disbanding hak aliran kasnya.
Pasar memberi penilaian negatif. Ini berarti pemegang saham cenderung memutuskan untuk menjual saham perusahaan tersebut dibanding membeli saham tersebut.
Oleh karena itu, ada urgensi bagi OJK untuk menerbitkan peraturan untuk mewajibkan perusahaan mempublikasikan kepemilikan ultimat dalam laporan tahunan bagi sektor nonperbankan seperti yang telah dilakukan oleh sektor perbankan.
Manfaat bagi pengungkapan ini adalah para investor sebagai praktisi di pasar modal dapat meniai dengan tepat nama pemegang saham pengendali (hak kontrol dan hak aliran kas) untuk menghindari risiko ekspropriasi.
“Bagi akademisi, pengungkapan ini akan menambah penelitian tentang kepemilikan ultimat yang akan menambah jumlah referensi di Indonesia,” tegasnya.
“Bagi regulator, pengungkapan ini bekaitan dengan implementasi ESG khususnya pada bagi G terkait perlindungan pemegang saham nonpengendali atau saham minoritas,” pungkasnya. (kanalbali/IST)