
INI adalah patisari pamungkas obrolan intens saya dengan Agung Rai ARMA, yang kembali saya sajikan untuk kita semua.
Sesungguhnya tidak ada strategi umum dalam pembangunan. Masing-masing bangsa harus dapat mengembangkan visinya mengenai masa depan dari kekayaan sejarahnya.
Model model modernisasi Barat telah mendominasi kebanyakan pemikiran pembangunan, tetapi keberadaan model-model non-Barat, seperti model Rusia dan Jepang, merupakan bukti adanya kebebasan dalam proses sejarah yang sampai batas-batas tertentu dimiliki oleh setiap bangsa dalam menentukan masa depannya sendiri.
Walau begitu, sebagai sesuatu yang memiliki klaim atas kebenaran tertinggi, agama-agama memiliki kesulitan juga dalam hubungannya dengan perubahan sosial. Sementara perubahan sosial membawa jejak-jejak agama yang berlaku, keduanya, pada saat yang sama terus menghindar dari norma perintah agama.
Ketegangan antara agama di satu pihak dan masyarakat yang otonom di pihak lain, merupakan ketegangan yang mendasar. Pada umumnya, ketegangan tersebut merupakan ketegangan yang kreatif, yang dari situlah mengalir banyak karya kultural dan artistik. Kendati demikian, perubahan sosial yang pesat kadang-kadang juga ikut memperburuk hubungan antara agama dan masyarakat.
Hubungan antara agama dan proses pembangunan menjadi lebih kompleks pada masyarakat yang plural. Dalam masyarakat yang demikian telah muncul suatu modus vivendi (cara hidup) yang memungkinkan hidup saling berdampingan.
Agama-agama dan para pemeluknya memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk menyerap perubahan sosial dan untuk menyesuaikan diri dengan modernisasi. Setiap agama, menurutnya memiliki dua sisi: sisi agama sebagai petunjuk kepada kebenaran abadi, dan sisi agama dalam aspek historisnya dengan segala keterlibatannya dalam proses sejarah manusia, termasuk segala kekurangan dan kelemahan manusia.
Agama selalu mencoba memberi arah kepada jalannya sejarah, akan tetapi, dalam interaksi terus menerus antara agama dan masyarakat, masyarakat selalu mempertahankan dinamikanya.
Pada saat yang sama, agama merupakan unsur penting dari identitas kultural suatu bangsa. Dalam banyak masyarakat, agama juga merupakan suatu pranata yang amat kuat, yang erat terkait dengan pranata-pranata sosial, ekonomi, dan politik.
BACA JUGA: Iptek dan Agama: Raksasa dan Dewa Pemutar Giri Mandara (2)
Agama dapat merupakan pelopor perubahan dan mobilisasi, atau immobilisasi, dalam masyarakat. Pada matra masyarakat dan orang per orang, agama merupakan sumber nilai-nilai moral dan etis, suatu pedoman untuk berbuat yang benar. Di antara semua dimensi ini, pentinglah untuk menentukan dimensi-dimensi di mana kerja sama antar agama merupakan sesuatu yang diperlukan.
Perubahan pesat yang mungkin merupakan ciri utama Zaman ini, dapat memperbesar ketegangan antara kepedulian agama terhadap hal-hal yang transendental dengan hal-hal yang bersifat perubahan kemasyarakatan.
Bahaya konflik, kekerasan, dan reaksi dapat muncul ketika agama kehilangan kemampuannya untuk secara kreatif menanggapi perubahan dan mengungkapkan kebenaran transendennya yang tidak akan pernah berubah dalam bahasa yang memiliki arti kontemporer.
Agama bisa jadi tidak berhasil memenuhi tanggung jawab kepada para pemeluknya kalau ia berbicara dengan mereka dalam bahasa yang hanya relevan untuk masa silam. Lebih buruk lagi, agama dapat menjerumuskan para pemeluknya ke dalam kebingungan.
Frustrasi dan keputusasaan yang muncul dapat membawa mereka kepada tradisionalisme reaksioner, kekerasan, atau dapat mengasingkan mereka dari agama mereka sendiri.
BACA JUGA:
Adalah tanggung jawab para pemimpin agama untuk secara jelas menanggapi masalah-masalah yang bersifat etis tetapi memiliki muatan politik yang besar.
Kendati demikian, kelirulah kalau lembaga keagamaan menobatkan suatu partai politik, kelompok atau individu tertentu sebagai satu-satunya pembawa jawaban yang tepat terhadap persoalan-persoalan politik.
Peranan yang layak bagi agama harus menjadi perantara bagi tuntutan-tuntutan yang sering saling bertentangan antara tata keteraturan umum dan perubahan, dengan mengaitkannya pada kerangka etis yang melampaui lingkup masalah-masalah dan dorongan-dorongan berjangka pendek.
Dengan demikian, beberapa agama akan terpaksa meninggalkan peranan tradisional mereka sebagai pemberi legitimasi terhadap otoritas yang sudah mapan, dan sebaliknya, berperan menjadi penasihat moral dalam proses perubahan yang sulit dan penuh gejolak.
Di luar komitmennya terhadap perubahan-perubahan tertentu, tidak satu agama pun yang dapat lari dari kewajiban untuk berusaha sebanyak mungkin mengurangi biaya manusiawi (human cost) dari perubahan.
Hal ini berarti penolakan terhadap kekerasan dan penekanan pada toleransi, sikap, dan tata hidup yang beradab, pemrosesan yang sesuai dengan hukum, prosedur-prosedur demokratis, norma hukum (rule of law) dan hak-hak asasi manusia.
Agama harus menyajikan struktur makna yang jangkauannya melampaui politik. Agama harus mengajarkan cara berpikir dan jiwa yang penuh kerendahan hati, yang amat diperlukan di dalam zaman yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang pesat dan tidak terduga. (kanalbali/IST)
***
Be the first to comment