
“Perdamaian bisa saja berhenti hanya sebatas Impian jika tidak dipandang sebagai sebuah tanggung jawab bersama yang semestinya diemban oleh seluruh umat manusia. Artinya perdamaian adalah lebih sebagai kata kerja ketimbang kata benda. Dan itu harus ada yang memulai mengerjakannya.”
Demikian satu petikan dari rekaman obrolan saya beberapa tahun silam dengan founder ARMA, Anak Agung Gde Rai. Akrab disapa Gung Aji. Obrolan tersebut, kalau tidak salah tahun 2017, menjelang ulang tahun ARMA yang saat itu diberi label “Memorabilia Arma”.
Adalah seorang Putu Suasta dan Warih Wisatsana yang menginisiasi label tersebut bersama Gung Aji. Putu Suasta dikenal sebagai budayawan dan pengamat sosial yang memang paling sering menjadi lawan sekaligus kawan diskusi Gung Aji. Sementara Warih Wisatsana, kita tahu selain seorang penyair juga pegiat seni yang tekun.
Syukuran hari jadi ke 21 Arma saat itu ditandai dengan peluncuran buku berjudul “Gung Rai Sang Mumpuni”, berisi rekam jejak kerja budaya Gung Aji bersama Museum Seni ARMA yang ia dirikan. ARMA sendiri kependekan dari Agung Rai Museum of Art.
Rupanya memang Gung Aji dan Arma sudah manunggal, tak bisa dipisahkan antara personality dan hasil kerja kerasnya dari seorang dagang acung hingga menjadi pendiri museum seni yang diperhitungkan dengan koleksi lukisan kelas dunia, tersimpan layak dalam bangunan dan lanskap yang asri.
Saat itu bukan saja rekam jejak dan personality Gung Aji yang diangkat, tetapi juga visi ARMA yang konsen terhadap isu perdamaian. Dalam sebuah kesempatan, Gung Aji dengan
semangat memaparkan bahwa perdamaian itu harus berangkat dari keinginan hidup harmonis dengan sesama, dengan alam dan dengan Tuhan sang pencipta.
Sebagai penganut Hindu Bali, Gung Aji sangat fasih memaparkan soal tiga keseimbangan itu, ( dikenal sebagai Tri Hita Karana), dalam konteks perdamaian dunia.
Tak hanya terbatas pada kata, ARMA lebih jauh menggalang perdamaian secara aktif, lewat kontak-kontak budaya dengan tokoh-tokoh internasional pegiat perdamaian. Tokoh itu antara lain, Desmond Tutu, peraih Nobel Perdamaian 1984, yang secara khusus datang ke
ARMA menjumpai Gung Aji. Persahabatan Gung Aji dengan Uskup kulit hitam pertama Gereja Anglikan ini sungguh bermakna bagi literasi tentang perdamaian secara nyata. Kita tahu Desmond Tutu selain seorang Uskup dan teolog, adalah aktivis penentang apartheid di Afrika.
“Apartheid, jelas tidak menunjukkan keinginan hidup harmonis dengan sesama. Itu menghambat terjadinya perdamaian!” demikian ungkap Gung Aji ketika menerima tamu Istimewa sekaligus karibnya dari benua Afrika itu.
BACA JUGA:
Berkawan dengan Sri Chinmoy.
Selain dengan Desmond Tutu, Gung Aji juga bersahabat dengan tokoh spiritual India yang mendunia, Chinmoy Kumar Ghose yang lebih dikenal dengan nama Sri Chinmoy.
Di tahun 1964, orang ini mengguncang Amerika Serikat dengan gerakan spiritual ala timurnya. Chinmoy memperkenalkan dan mengajarkan meditasi. Yang menarik, kota yang ia pilih sebagai pusat gerakan meditasi, bukan kota tentram damai tapi justru kota New York! Kota megapolitan tersibuk dan ter-crowded di dunia! .
Muridnya dengan cepat bertambah mencapai kurang lebih 7000 siswa, tersebar di 60 negara. Yang menarik lainnya adalah Sri Chinmoy mengajarkan meditasi lewat musik dan pertunjukan konser. Mungkin karena dia juga adalah seorang seniman, penulis dan musisi.
“Sikap yang lentur adalah salah satu cara hidup harmonis dengan keadaan dan situasi sekitar. Ini juga dasar mencapai perdamaian terutama dengan diri sendiri!” begitu kata Gung Aji ketika murid-murid Chinmoy dari Amerika menghadap dan meminta ijin mendirikan patung sosok pecinta kedamaian itu di ARMA.
Dan Sri Chinmoy pun kini “hadir” setiap hari di ARMA “memberi salam damai” bagi siapapun yang berkunjung ke ARMA lewat gestur dan raut wajah patungnya yang teduh, tenang dan memang mendatangkan kedamaian di hati.
Tahun in, 2024, museum yang berlokasi di Pengosekan Ubud itu mencapai usianya yang ke 28. ARMA secara resmi dibuka 9 Juni 1997 oleh Prof.Dr.Ing. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Tetap setia dengan visi perdamaian dunia, ARMA menandainya dengan buku yang akan diluncurkan di puncak acara nanti 10 Juni 2024. Buku ini
ditulis oleh Warih Wisatsana dan Jean Couteau, dikomandani Putu Suasta. Presiden Jokowi memberi kata sambutan pada buku itu, yang diberi judul “Agung Rai Museum of Art” dengan anak judul, “The Slidelined Prince and His Collection.” Tentu akan lebih menarik jika datang langsung tanggal 10 Juni 2024 nanti, ke acara peluncuran buku tersebut di ARMA jika ingin tahu lebih dalam tentang isi buku tersebut. (SELESAI-1)
Be the first to comment