Di balik gelak tawa dan pelukan hangat pada sebuah reuni, sering kali tersembunyi ruang-ruang rapuh yang tak sempat diucapkan.
Esai oleh Angga Wijaya
REUNI, yang semula dianggap sebagai momentum nostalgia, perlahan bergeser menjadi panggung kecil di mana kenyataan dan kenangan saling bertubrukan.
Cleo Gandeng Komunitas dan Influencer Gelar Beach Clean Up di Pantai Matahari Terbit Sanur
Tak jarang, dari pertemuan yang terlihat hangat itu, justru muncul kegamangan, kecanggungan, bahkan pengkhianatan.
Kunjungi Primakara University, Gita Wirjawan Tawarkan Kerjasama dengan Network Internasional
Ada yang datang dengan perut buncit dan mata lelah, membawa kisah hidup yang telah melewati banyak rintangan.
Ada pula yang datang dengan riasan tebal dan pakaian mahal, seolah hendak membuktikan bahwa mereka berhasil—entah kepada siapa.
Reuni bukan lagi sekadar temu kangen. Ia telah menjadi cermin sosial; mempertontonkan siapa yang naik, siapa yang bertahan, dan siapa yang perlahan-lahan ditelan zaman.
Fenomena ini mengungkap satu gejala yang makin nyata dalam masyarakat kita: obsesi terhadap pencapaian dan citra diri.
Dalam pertemuan semacam ini, pertanyaan yang muncul bukan lagi “apa kabar?” melainkan “kerja di mana sekarang?” atau “gaji berapa sekarang?” Nilai seseorang ditakar dari prestasi ekonomi dan visualisasi kebahagiaan semu—bukan dari kedalaman pengalaman atau ketulusan relasi.
Reuni Ajang Pamer
Dalam atmosfer seperti ini, reuni menjadi ajang pamer. Yang tidak kuat, akan merasa kalah sebelum sempat bicara.
Lebih dari itu, reuni juga bisa menjadi titik awal dari kegagalan moral. Banyak kisah beredar tentang perselingkuhan yang bermula dari reuni.
Pertemuan kembali dengan mantan pacar atau teman dekat bisa menyulut kembali api lama yang mestinya sudah padam. Dalam ruang nostalgia, masa lalu terasa lebih menarik dari kenyataan hari ini yang penuh tanggung jawab.
Ketika rumah tangga yang dibangun selama bertahun-tahun terasa hambar, dan pekerjaan membuat seseorang jenuh, godaan masa lalu yang hadir dalam bentuk wajah lama bisa menjadi jebakan yang mematikan.
Yang ironis, pengkhianatan itu kadang tak tampak sebagai dosa. Ia dibungkus dengan alasan-alasan romantis: “cinta lama bersemi kembali,” atau “aku akhirnya menemukan diriku yang hilang.”
Padahal yang terjadi bukan cinta, tapi pelarian. Bukan pertemuan yang menyembuhkan, tetapi pelampiasan atas hidup yang tak sesuai harapan.
Di sisi lain, reuni memperlihatkan betapa kerasnya tekanan sosial telah membentuk individu. Ada teman yang dulu cemerlang secara akademik, kini berjuang dengan penyakit mental. Bukan karena kurang pintar, tetapi karena beban yang ditanamkan oleh keluarga dan masyarakat terlalu berat untuk ditanggung.
Kita hidup dalam masyarakat yang mengukur segalanya: nilai rapor, ranking, IPK, gaji, status pernikahan, bahkan jumlah followers. Tak ada ruang untuk gagal, tak ada ruang untuk berhenti sejenak dan bernapas.
Akibatnya, banyak orang hidup dalam kepura-puraan. Menikah karena takut disebut tidak laku. Bekerja di kantor yang dibenci karena takut dianggap tidak sukses.
Membeli rumah dan mobil dengan cicilan berat karena takut terlihat miskin. Kita menjalani hidup bukan karena itu membuat kita bahagia, tetapi karena takut tidak memenuhi standar orang lain.
Dan ketika reuni datang, semua standar itu dipertontonkan dalam satu ruangan: status sosial, posisi kerja, bentuk tubuh, dan cerita-cerita sukses yang kadang lebih banyak bohongnya daripada benarnya.
Namun di antara semua itu, ada juga yang memilih diam. Mereka yang tidak terlalu ingin dilihat, tidak ingin bercerita panjang.
Reuni dan Masa Lalu
Mereka datang bukan untuk memamerkan, tapi untuk melihat apakah masih ada sisa kehangatan yang bisa dirasakan dari masa lalu. Mereka mungkin tampak biasa saja, tapi justru menyimpan kedewasaan paling utuh.
Mereka sadar bahwa masa lalu telah berlalu, dan yang penting bukanlah siapa yang paling berhasil, tetapi siapa yang paling mampu berdamai dengan hidup.
Reuni, pada akhirnya, tidak pernah sesederhana yang dibayangkan. Ia bukan hanya peristiwa sosial, tetapi juga fenomena budaya yang memperlihatkan wajah masyarakat kita yang sesungguhnya.
Ia memperlihatkan betapa dalamnya ketakutan kita untuk menjadi biasa-biasa saja. Betapa rentannya kita terhadap godaan masa lalu, dan betapa tak siapnya kita menerima kenyataan bahwa semua orang berubah.
Mungkin sudah saatnya kita menata ulang makna reuni. Ia tidak perlu menjadi ajang perbandingan atau pelarian.
Ia cukup menjadi ruang kecil untuk mengingat bahwa kita pernah tumbuh bersama, pernah tertawa bersama, pernah gagal bersama. Ia cukup menjadi pengingat bahwa waktu berjalan tanpa bisa ditawar, dan bahwa tidak semua hal dari masa lalu perlu dihidupkan kembali.
Dalam dunia yang semakin menuntut banyak hal dari diri kita, pertemuan dengan masa lalu seharusnya menjadi momen untuk merenung, bukan untuk pamer. Kita tidak perlu membuktikan apa-apa kepada siapa pun.
Jika kita datang ke reuni hanya untuk merasa kalah, mungkin kita perlu bertanya: siapa sebenarnya yang sedang kita lawan? Orang lain, atau bayangan kita sendiri? ***


