Sustainable Fashion Fest: Dari Tukar Baju hingga Fesyen Tanpa Sampah di Bali

Pembukaan acara Sustainable Fashion Festival di Denpasar - IST

DENPASAR, KanalBali.id – Di salah satu sudut The Ambengan Tenten (TAT), Denpasar, Sabtu (2/7/2025) sekelompok anak muda saling membolak-balik tumpukan pakaian bekas.

Bukan sekadar mencari ukuran atau motif yang pas, mereka tengah menjajaki kemungkinan baru, yaitu memakai pakaian yang pernah hidup di tubuh orang lain, lalu menghidupkannya kembali dengan rasa dan cerita berbeda.

Di sinilah semangat Sustainable Fashion Fest (SFF) 2025 bermula—sebuah perayaan gaya yang tak meninggalkan sampah. Dengan mengusung tema “Gaya Tanpa Sampah” dan kampanye #NoNewClothes, festival yang digelar pada 2–3 Agustus 2025 2025.

Festival ini mengajak masyarakat untuk mengurangi pembelian pakaian baru dan menjalani gaya hidup yang lebih sadar, etis, dan bertanggung jawab.

Baca juga:
Agenda

“Orang sering beli baju hanya karena murah, lima ribu sampai sepuluh ribu rupiah, lalu ditumpuk dan akhirnya tidak dipakai,” tutur Annisa Fauziah, Event Lead SFF sekaligus pendiri gerakan TRI Cycle dan Rekynd, Sabtu (2/8/2025).

“Padahal, bajunya masih bagus. Mungkin hanya karena modelnya kurang disuka, atau warnanya sedikit nggak cocok,” imbuhnya.

Daripada menjadi limbah, baju-baju itu diputar kembali ke pasar yang baru—lewat aktivitas tukar pakaian alias clothes swap. Menurut Annisa, baju yang tak lagi disukai satu orang bisa saja jadi favorit bagi orang lain. “Itu memperlambat siklusnya menjadi sampah,” ujarnya.

Namun SFF bukan hanya soal menukar baju. Di dalamnya juga ada semangat edukasi dan pemberdayaan. Sepanjang dua hari acara, pengunjung bisa mengikuti berbagai workshop seperti menganyam dari kain bekas, melukis di permukaan tekstil, hingga teknik reparasi pakaian dengan jahitan tangan.

Ada juga talkshow, pameran karya kreator lokal, dan bazar UMKM yang bergerak di ranah fesyen berkelanjutan.

Annisa Fauziah, Event Lead SFF sekaligus pendiri gerakan TRI Cycle - AWJ
Annisa Fauziah, Event Lead SFF sekaligus pendiri gerakan TRI Cycle – AWJ

Yang menarik, gerakan ini digerakkan bukan oleh korporasi raksasa atau lembaga internasional yang jauh dari akar rumput. “Kami bukan organisasi profesional. Kami pelajar, guru, ibu rumah tangga, bahkan ASN yang bersatu karena satu visi: dunia yang lebih penuh empati,” kata Annisa.

Meski digerakkan oleh komunitas, SFF 2025 juga menjadi bagian dari ekosistem kolaborasi yang lebih luas. Festival ini didukung oleh ASEAN Foundation dan Maybank Foundation melalui program eMpowering Youths Across ASEAN (eYAA)—sebuah inisiatif lintas negara yang mendorong aksi sosial berbasis anak muda di Asia Tenggara.

“Gerakan seperti Rekynd dan TRI Cycle membuktikan bahwa solusi lokal bisa melahirkan perubahan besar,” ujar Dr. Piti Srisangnam, Direktur Eksekutif ASEAN Foundation. Ia melihat fesyen bukan sekadar urusan gaya, tapi ruang intervensi untuk membentuk generasi baru yang lebih sadar terhadap dampak sosial dan ekologis dari pilihan konsumsinya.

Senada dengan itu, Aiidir Putera Ab. Rahman dari Maybank Foundation menyebut program ini sebagai langkah konkret menuju ekonomi sirkular. “Kolaborasi ini diharapkan memicu lebih banyak aksi nyata di seluruh ASEAN,” katanya.

Dukungan juga datang dari Bali Creative Industry Center (BCIC), yang menegaskan pentingnya peran industri kreatif dalam mendorong gaya hidup berkelanjutan.

“Kreativitas adalah motor perubahan,” ujar Dickie Sulistya, Kepala Balai Pemberdayaan Fesyen dan Kriya BCIC. Ia berharap dukungan kelembagaan terhadap festival seperti ini semakin diperkuat. “Tahun depan kami dorong agar pembukaan bisa dilakukan langsung oleh Menteri Perindustrian RI,” tambahnya.

Di tengah perhelatan yang ramai dan penuh warna, ada satu benang merah yang mengikat semua aktivitas: kesadaran bahwa perubahan besar dimulai dari tindakan kecil sehari-hari. Memakai ulang, memperbaiki, menukar, dan merawat pakaian menjadi bentuk perlawanan terhadap siklus produksi dan konsumsi yang serba cepat—yang kerap tak memberi waktu bagi bumi untuk bernapas.

Melalui Rekynd, anak-anak muda diajak untuk menyortir, memperbaiki, dan mendonasikan pakaian. Sementara melalui TRI Cycle, limbah kain diolah menjadi merchandise bermerek yang hasil keuntungannya disumbangkan untuk pelindungan hutan. Semua berangkat dari satu nilai lokal, yakni Tri Hita Karana—harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas.

“Gaya tanpa sampah bukan utopia. Ia bisa dimulai dari lemari kita sendiri,” tutur Annisa, dengan senyum yang tak lelah menjelaskan satu demi satu karya di meja komunitasnya. Dan benar saja, di balik sepotong baju yang bertukar tangan, ada cara pandang yang ikut berubah: bahwa pakaian bukan sekadar penutup tubuh, melainkan cerita tentang siapa kita dan dunia yang ingin kita bangun bersama. ( kanalbali/AWJ)

 

 

Apa Komentar Anda?