 
“Poets treat their experiences shamelessly: they exploit them” – Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil
JIKA hidup terasa sulit, soal ekonomi, apapun profesi kita—apalagi penulis–itu justru menjadi pengalaman yang juga bisa melecut semangat kita untuk terus menulis.
Menulis kemiskinan? Tentu bisa. Tapi bukan dengan keluhan, meromantisasi, atau bahkan mendramatisasi kemiskinan.
Wiji Thukul, meski menjadi ‘pengamen puisi’ dan buruh kecil, sajak-sajaknya bagus sekali—ia memotret kemiskinan dengan jujur–apa adanya, tanpa pretensi untuk dikasihani. Ia percaya diri, terus bekerja sekaligus berkesenian. Dua hal yang sejalan, tidak bertabrakan, atau menjadikannya kendala. Amat alami. Sebuah keniscayaan.
Generasi lainnya, Aveus Har, pedagang mie di Jawa, menghasilkan cerpen-cerpen hingga meraih penghargaan cerpen terbaik KOMPAS beberapa waktu lalu.
Menulis pun menjadi rutinitas yang biasa-biasa saja, tanpa perlu ‘dibesar-besarkan’, dianggap luar biasa, identik dengan kesunyian; kata yang kerap disematkan pada sosok penulis (apalagi penyair). ‘Sunyi, sepi’, dll. Itu dulu.
Terbaru, ada genre ‘puisi indie’ dari anak-anak muda yang mencoba melawan dunia sastra yang mapan di Indonesia.
Menulis puisi dengan bahasa yang mudah dipahami generasi kekinian. “S” besar pada “Sastra” dianggap hanya membentuk jurang atau gap antara penulis muda dan penulis generasi lama. Juga, arogansi “sastrawan”.
Pengalaman, oleh banyak penyair (baca: penulis), menjadi sesuatu yang ‘dimanfaatkan’ (istilah dari Friedrich Nietzsche: dieksploitasi).
Pengalaman susah-senang, miskin (bahkan juga) kaya, menjadi kondisi yang semuanya bisa dijadikan ‘bahan bakar’ dalam menulis karya sastra, apapun bentuknya (sekarang orang malas membaca dan sebagian tak bisa menulis tulisan panjang, mungkin nanti ada genre penulis caption media sosial).
Rasa lapar –pada pujangga zaman dahulu–rasanya menjadi hal yang dijaga betul. Sebelum menulis melakukan puasa, tirakat, sehingga apa yang akan ditulis benar-benar datang dari hati yang bersih dan tulus.
Ini bukan mistik. Ini sains yang kini baru dipahami kemudian. Silakan cari.
Jadi, tetaplah bahagia, terus berkarya–walaupun kita hidup pada masa dimana ukuran menjadi manusia seakan ditentukan oleh media sosial. Jika begitu, kurangi hidup di dunia maya; perbanyak keluar rumah; mengobrol dengan teman, mengamati kehidupan kota/desa, semuanya bisa memberi inspirasi dalam berkarya.
Saya menyampaikan ini bukan berarti saya ‘sudah hidup enak’. Sahabat dan kerabat yang kenal dekat dengan saya tentu tahu kondisi saya. Juga dari tulisan-tulisan (✓bahkan dari status media sosial saya). Saya terbuka.
KEMISKINAN ADALAH KEBERKAHAN, BUKAN HANYA SAAT KITA BERPUNYA. Selamat berkarya, tidak hanya bekerja! (kanalbali/AGW)***
* Penulis : Angga Wijaya, Kolomnis dan penyair di Denpasar



 
		 
		