UBUD – Gelaran Ubud Village Jazz Festival (UVJF) sudah kembali dilangsungkan pada 12-13 Agustus 2022 di Museum ARMA Ubud, Bali. Festival ini membuat kerumunan sekitar seribuan orang setiap malamnya. Sebagian besar adalan Warga Negara Asing (WNA), baik yang sedang berlibur ke Bali atau mereka yang sudah menjadi ekspatriat di Bali.
Yuri Mahatma, founder festival ini, saat jumpa pers sebelum acara menyebut, dari tahun ke tahun pola penonton memang belum berubah. 60 persen adalah WNA, selebihnya adalah warga lokal, dalam pengertian turis domestik yang kelihatannya juga lebih banyak dibanding penikmat jazz dari Bali.
BACA JUGA: Kenang Didon Kajeng, Pameran Lukisan ‘Mewarna Gelap’ Digelar di Denpasar
Dari soal inilah percakapan mengenai hal-hal yang belum selesai bermula. Pertanyaan besar dan hampir menjadi klasik karena selalu terulang setiap tahun adalah, apakah memang jazz belum bisa diterima sebagai genre musik yang populer di Bali atau malahan di Indonesia..
Benarkah jazz adalah musik yang elitis dan hanya bisa didengar dan dinikmati oleh kalangan tertentu saja.
Buat kaum rebahan yang malas berpikir, jawabannya mungkin bisa dilihat dari harga tiket (UVJF) yang lumayan mahal. Rp 400 ribu untuk satu malam, atau Rp 600 ribu untuk tiket terusan dua malam sekaligus.
Namun bila ditanyakan lebih jauh, apakah bila ditampilkan dengan harga tiket yang lebih murah atau malah gratisan, penampilan para musisi itu mampu mengundang penonton lokal yang lebih banyak.
Sepertinya tidak. Dari berbagai acara maupun festival yang ada di Bali, musik pop dan rock atau bahkan musik tradisional masih lebih memiliki daya untuk mengundang warga lokal berkumpul dan menikmati.
Apalagi dalam kasus UVJF, Yuri sebagai Music Director selalu menegaskan, event ini adalah proyek idealis dimana hanya jazz saja yang boleh ditampilkan dan bukan yang lain. UVJF tak mau berkompromi bahkan dengan genre musik pop yang musisinya seringkali disebut sebagai musisi jazz.
Disini masalahnya menjadi lebih serius karena menyangkut pengertian tentang musik jazz. Keunikan genre ini adalah tekanannya pada kata improvisasi. Jazz bisa disebut sebagai suatu petualangan dan penjelajahan nada-nada yang unik.
Jazz memberi peluang bagi suatu dialog dan percakapan yang terbuka. Orang bisa berguman, bercanda, berimajinasi hinggga berdebat dengan keras dalam alur-alur nada musik ini.
Tentu saja itu hanya bisa dilakukan dan dinikmati oleh mereka yang memang memiliki referensi untuk mengenalinya. Bila dalam seni rupa dikenal adanya istilah kosa rupa , yakni sebuah wujud visual yang membentuk unsur-unsur dasar seni rupa maka agaknya dalam jazz pun diperlukan semacam kepemilikan akan ‘kosa nada’ yang lebih kaya untuk memastikan pengenalan maupun kemampuan merasakan suasana dalam nada-nada itu.
Dalam soal ini harus diakui bahwa jazz belumlah menjadi sesuatu yang berada dalam keseharian kita. Musik dangdut misalnya, jauh lebih punya akar dalam warna budaya yang dominan di negeri ini. Pun demikian dengan gamelan tradisional yang begitu lekat dengan keseharian warga di Bali.
Bila ingin ditarik ke ruang lebih rumit dan bikin puyeng, jazz yang begitu demokratis karena menempatkan pelakunya dalam situasi egaliterian dan dialogis, sudah pasti sulit diterima dalam suasana sosial budaya yang cenderung feodal dan otoritarian.
Itu pula sebabnya warna musik yang lebih populis atau mengarahkan dan ‘mengintimidasi’ orang dalam obsesi akan keseragaman dengan suara yang lebih keras menjadi lebih mudah diterima.
Merespons soal ini, menjadi penting untuk melakukan literasi akan nada-nada jazz. Tumbuhnya ruang-ruang baru dengan kehadiran internet beserta seluruh media digital dan sosialnya memberi peluang bagai kemunculan jazz sebagai genre alternatif.
Menarik pula adanya upaya sepeti yang dilakukan Balawan dimana jazz dikawinkan dengan instrumen atau nada-nada gamelan Bali.
Namun demikian tetap saja diperlukan ‘keriuhan’ yang membuat kaum populis mau menoleh dan melampaui kenyamanan palsu dalam ruang hegemoni yang terlanjur dinikmati.
Terakhir, sebenarnya bisa saja sih kita berpikir lebih mudah. Ya sudahlah, biarkan jazz menjadi elitis dan tak terlalu banyak orang kita yang menikmati. Yang penting, musik ini bisa dijual mahal sebagai daya tarik wisata. Setuju?
(kanalbali)
Be the first to comment