 
Penulis: Inovator bioteknologi GN Mahardika*
INDONESIA bukan tanah subur untuk inovasi. Ia memiliki segalanya—populasi besar, kekayaan alam, dan keberagaman ide—namun tanah itu tandus bagi benih gagasan baru.
Setiap ide yang tumbuh sering mati muda, bukan karena tak kuat, tetapi karena lingkungan yang menolak sesuatu yang berbeda.
Di negeri ini, yang dianggap aman adalah meniru, bukan mencipta; mengikuti, bukan menggagas. Inovasi tidak tumbuh di ruang yang takut salah, dan di sinilah akar persoalannya: Indonesia terlalu takut gagal.
Kita memiliki banyak lembaga riset, universitas, dan kementerian yang sibuk mencanangkan “kemandirian inovasi.” Namun hampir semua sibuk dengan ritual administratif: laporan, tanda tangan, dan pameran. Inovasi diukur dari jumlah proposal, bukan dari produk yang benar-benar dipakai masyarakat.
Hibah penelitian diperlakukan seperti proyek anggaran, bukan investasi jangka panjang. Ketika hasil penelitian selesai, tidak ada sistem yang menyambutnya—tidak ada industri yang siap menyerap, tidak ada kebijakan yang melindungi, dan tidak ada dana lanjutan untuk uji pasar.
Semua berakhir di tumpukan laporan dan spanduk seminar.
Soal Insentif dan Kepercayaan
Masalah terbesar bukan kurangnya kecerdasan, tetapi keringnya insentif dan kepercayaan. Di negara lain, pemerintah menjadi pembeli pertama bagi produk inovatif, menanggung risiko awal agar ide bisa hidup.
Di Indonesia, regulasi justru mengunci kemungkinan itu. Pengadaan publik hanya mengenal spesifikasi pasti, bukan tujuan terbuka.
Akibatnya, produk inovatif tak bisa masuk karena tidak sesuai dengan dokumen tender yang disusun untuk barang lama. Padahal inovasi justru tumbuh di wilayah yang belum memiliki spesifikasi—wilayah ketidakpastian yang menantang.
Kita juga kehilangan empati terhadap kegagalan. Peneliti yang gagal dianggap buang-buang dana, bukan pionir yang sedang belajar.
Startup yang tumbang dicemooh, bukan dijadikan bahan studi.
Akademisi yang menyeberang ke industri dicurigai, bukan diapresiasi. Maka ekosistem inovasi menjadi rapuh, penuh rasa takut dan kompromi.
Di laboratorium yang aman secara administratif tetapi steril secara imajinatif, tidak akan lahir terobosan apa pun.
Birokrasi menjadi pagar beton yang memisahkan sains dari realitas. Semua harus selamat secara dokumen. Eksperimen adalah musuh ketertiban. Peneliti lebih pandai menulis laporan daripada menulis sejarah baru.
Ketika akhirnya lahir karya orisinal, sistem hukum kita gagal memberi perlindungan. Paten mudah ditiru, gugatan mahal, dan proses panjang membuat banyak penemu menyerah. Tak heran, banyak inovator memilih menjual ide ke luar negeri agar hasil risetnya benar-benar bisa hidup.
Padahal inovasi membutuhkan tanah yang berani gagal, air insentif yang jernih, dan sinar kepercayaan yang hangat. Indonesia belum memiliki itu. Yang kita miliki adalah birokrasi kaku, pasar yang takut mencoba, dan sistem penghargaan yang terbalik.
Kita mengagungkan kesuksesan yang instan, bukan proses yang jujur. Selama pola pikir ini bertahan, kita hanya akan menjadi konsumen gagasan—bukan penggagasnya.
Membuka Harapan
Namun tanah tandus bukan berarti selamanya mati. Ia bisa disuburkan, asal kita berani mengganti pupuknya. Pemerintah harus menjadi pembeli pertama bagi karya anak bangsa.
Universitas harus diberi ruang untuk bereksperimen lintas disiplin tanpa ketakutan administratif. Kegagalan harus dilihat sebagai bagian dari evolusi pengetahuan, bukan aib yang harus disembunyikan.
Jika itu dilakukan, benih-benih kecil dalam kepala anak muda Indonesia akan tumbuh, menembus tanah keras sistem yang selama ini membungkamnya. Inovasi tidak akan lagi berhenti di presentasi PowerPoint atau pameran produk setengah jadi. Ia akan hidup di pasar, di petani, di rumah sakit, di pabrik—di kehidupan nyata.
Selama itu belum terjadi, Indonesia akan tetap tampak hidup tetapi sesungguhnya kering di dalam. Kita akan terus berbicara tentang inovasi tanpa benar-benar menumbuhkannya. Dan tanah yang tidak memberi ruang bagi benih untuk tumbuh, tidak pantas disebut tanah subur.
*I Gusti Ngurah Kade Mahardika adalah profesor virologi di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali. Ia meraih gelar dokter hewan dari Universitas Udayana (1987) dan doktor dari Universitas Giessen, Jerman (1995). Penelitiannya berfokus pada virus, bakteri, dan penemuan senyawa bioaktif dari keanekaragaman hayati laut Indonesia.
Sejak 2020, ia mengembangkan teknologi DNA rekombinan untuk produksi vaksin dan terapi gen, serta aktif mengajar dan mengedukasi publik tentang penyakit infeksi pada hewan dan manusia.



 
		 
		