Penulis: Angga Wijaya
GEDUNG Ksirarnawa, Art Center Denpasar, Sabtu malam, 13 Desember 2025, tidak sekadar menjadi ruang pertunjukan. Tempat ini menjelma jadi medan tafsir, tempat tubuh, kuasa, dan kegelisahan batin tentang negeri saling berkelindan.
Pementasan ini berlangsung dalam rangka Orok Festival Sastra Nasional (OFSN) Teater Orok Universitas Udayana Denpasar, agenda pentas yang digagas Teater Orok Universitas Udayana sebagai ruang temu dan apresiasi seni pertunjukan.
Di ruang itulah Tarian Raja, karya Ni Putu Sri Sukmawati, yang akrab disapa Sukma Uma, dipentaskan oleh siswa-siswi SMAN 1 Kuta Selatan yang tergabung dalam Teater Bisma.
Pementasan ini tidak lahir dari kehendak untuk menjelaskan keadaan secara gamblang. Ia tumbuh dari kegelisahan batin seorang pekerja seni yang hidup dan tumbuh bersama realitas sosial di sekitarnya.
Sukma Uma tidak memosisikan diri sebagai politisi atau pengamat kekuasaan. Ia berbicara dari posisi yang lebih sunyi: sebagai warga, sebagai rakyat kecil, yang membaca, melihat, merasakan, lalu bertanya.
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadi denyut utama Tarian Raja. Sukma Uma menyampaikannya dengan jujur dalam pernyataan langsung: “Saya ini bukan siapa-siapa. Saya bukan politisi, bukan pengamat kekuasaan. Saya hanya rakyat biasa yang melihat, membaca, dan merasakan apa yang terjadi di negeri ini. Dari kegelisahan itulah Tarian Raja lahir,” jelasnya.
Sukma menambahkan Tarian Raja adalah tentang kepemimpinan, tentang rakyat, tentang kebutuhan dasar yang sering terpinggirkan, serta tentang prioritas yang kerap kabur di tengah hiruk-pikuk kuasa. Namun pertanyaan-pertanyaan itu tidak disuarakan lewat pidato atau dialog panjang. Ia dihadirkan lewat tubuh. 
Sejak awal, pertunjukan ini menegaskan pilihannya: minim kata, kaya gestur. Tubuh-tubuh para pemain bergerak dalam ritme yang berulang, kadang ritualistik, kadang kaku dan tegang, seolah sedang memikul beban tak kasat mata. Di situlah kuasa bekerja—bukan sebagai teriakan, melainkan sebagai tekanan yang sunyi dan terus-menerus.
Raja dalam pementasan ini bukan sekadar figur bermahkota. Ia adalah simbol yang cair. Ia bisa dibaca sebagai pemimpin, sebagai pusat kuasa, atau bahkan sebagai sistem yang tak terlihat tetapi mengatur gerak tubuh-tubuh lain di sekitarnya.
Kuasa, sebagaimana terasa di panggung Ksirarnawa malam itu, tidak selalu hadir lewat perintah langsung. Ia bekerja melalui kebiasaan, ketundukan, dan pengulangan.
Pilihan artistik ini sejalan dengan kegelisahan personal Sukma Uma. Ia menegaskan bahwa seni adalah jalan yang ia pilih untuk bersuara. “Rakyat tidak selalu punya ruang untuk menuntut banyak hal.
Tapi lewat seni, kegelisahan itu bisa disampaikan dengan cara yang lebih elegan, lebih bermartabat. Tidak harus dengan merusak, tidak harus dengan kekerasan,” ujarnya. Ia menyadari bahwa rakyat tidak selalu berada pada posisi untuk banyak menuntut.
Ketidakpuasan sering kali berujung pada ledakan—demonstrasi, kemarahan, bahkan tindakan destruktif yang merusak ruang bersama. Tarian Raja menawarkan jalan lain: seni sebagai medium ungkap yang elegan, reflektif, dan bermartabat.
Dalam penggarapannya, Tarian Raja tetap berpijak pada dramaturgi teater, namun secara sadar merangkul tradisi. Unsur-unsur tari Bali hadir bukan sebagai hiasan, melainkan sebagai bahasa tubuh yang menyatu dengan lakon. Tembang-tembang disisipkan untuk memperkaya suasana, memberi ruang resonansi rasa bagi penonton.
Tradisi di sini tidak dibekukan, tetapi diolah menjadi bagian dari pernyataan artistik yang hidup.

Kesederhanaan menjadi kekuatan lain pementasan ini. Bagi Sukma Uma, pendekatan tersebut juga merupakan bagian dari pendidikan seni. “Anak-anak ini saya ajak memahami bahwa teater tidak selalu soal properti besar atau teknis rumit.
Tubuh, rasa, dan kehadiran di panggung itu sudah cukup kuat kalau digarap dengan sungguh-sungguh,” ujarnya. Durasi sekitar 30 menit, properti yang minim, dan hampir seluruh pemain berada di atas panggung dari awal hingga akhir.
Tidak ada keluar-masuk yang berlebihan. Fokus sepenuhnya diletakkan pada akting, gestur, dan relasi antar-tubuh. Ruang yang lapang justru membuka kemungkinan tafsir yang luas.
Menariknya, Tarian Raja dengan sadar menolak akhir yang pasti. Sukma Uma memang tidak ingin memberi jawaban tunggal. “Saya sengaja tidak memberi ending. Biarlah penonton yang berpikir sendiri: apa arti pemimpin, apa arti rakyat, dan bagaimana seharusnya sebuah kekuasaan dijalankan,” katanya.
Tidak ada jawaban final. Tidak ada kesimpulan yang digariskan. Penonton dibiarkan membawa pulang pertanyaan: apa yang seharusnya dilakukan seorang pemimpin? Bagaimana seharusnya rakyat diperlakukan? Apa arti melindungi, melayani, dan bertanggung jawab?
Pilihan untuk tidak menggurui ini terasa jujur. Sukma Uma tidak mengklaim kebenaran. Ia hanya mengajak berpikir bersama. Bahwa negeri ini membutuhkan kedamaian, kemakmuran, ketenteraman, rasa aman, dan toleransi—dan semua itu hanya mungkin terwujud jika dibangun bersama, dengan kepemimpinan yang jujur dan loyal pada rakyat.
Sebagai karya yang digarap oleh siswa-siswi SMAN 1 Kuta Selatan yang tergabung dalam Teater Bisma, pementasan ini menunjukkan keberanian untuk tidak tunduk pada bentuk-bentuk yang aman.
Sukma Uma sendiri menempatkan Teater Bisma sebagai ruang belajar, bukan ruang tuntutan.
“Saya membina Teater Bisma bukan untuk mencetak aktor hebat atau seniman besar. Yang saya inginkan sederhana: mereka belajar berproses dengan benar, jujur di panggung, dan gembira menjalani teater. Kalau prosesnya sehat, apa pun bisa tumbuh dari sana,” tuturnya.
Minim dialog, sarat simbol, dan menuntut konsentrasi penonton, Tarian Raja bukan teater yang ingin cepat dipahami. Ia ingin dirasakan lebih dulu, lalu dipikirkan kemudian.
Ksirarnawa sendiri memberi konteks simbolik yang kuat. Gedung yang selama puluhan tahun menjadi ruang legitimasi seni dan budaya Bali itu seakan menjadi latar yang pas bagi pertunjukan tentang raja dan kuasa.
Tubuh-tubuh di atas panggung tampak kecil di hadapan ruang yang besar, namun justru di sanalah intensitas dibangun—seolah para pemain sedang bernegosiasi dengan kekuasaan yang lebih luas dari diri mereka sendiri.
Pada akhirnya, Tarian Raja menegaskan kembali fungsi teater: bukan sebagai pemberi jawaban, melainkan sebagai penggugah kesadaran. Ia membawa manusia masuk ke dalam dirinya sendiri, sembari membuka ruang dialog tentang dunia di luar dirinya. Di titik itulah teater menemukan relevansinya—sebagai laku berpikir, bukan sekadar tontonan.
Malam itu, di Ksirarnawa, Tarian Raja meninggalkan gema yang tidak segera hilang: tentang tubuh, kuasa, dan pergulatan batin seorang warga yang memilih seni sebagai cara paling jujur untuk bersuara. (kanalbali/AWJ)


