Dewi Saraswati, Buku dan ARMA

Tulisan menjelang 28 Tahun ARMA Oleh : I Gede Joni Suhartawan

Ki-ka: AGung Rai, Ema Sukarelawanto, Putu Suasta dan Jean Couteau - IST

“Ilmu Pengetahuan itu indah. Keindahan itulah yang menjadi titik tolak kita menjelajahinya, sekaligus keindahan pula yang menjadi tujuan kita berilmu pengetahuan! Maka orang Bali menggambarkan ilmu pengetahuan Bagai Dewi. Dewi Saraswati!”

Itu kata-kata Agung Rai, founder ARMA yang saya catat sewaktu ngobrol sambil ngopi di sebuah saung atau bale di area coffee shop ARMA. Setiap peringatan Hari Saraswati dan buku, saya selalu ingat ARMA dengan Gung Ajinya.

Pertama teringat pada penuturannya tentang makna Saraswati bagi dirinya dan bagi ARMA sebagai living museum. Apa itu? Yaitu bahwa ARMA adalah salah satu ikon kepustakaan dalam kesenirupaan khususnya Bali. Koleksi lukisan yang dikurasi dan dimiliki ARMA memang menunjukkan disitu ada ilmu sejarah, ada ilmu antropologi budaya dan studi dinamika sosial.

Koleksi ARMA dibuat sistematis yang menunjukkan perkembangan Seni Rupa Bali mulai dari era sebelum kedatangan Walter Spies dan perupa Barat lainnya, hingga perkembangannya kini yang menjadikan Ubud sebagai melting pot Seni Rupa Timur degan Barat.

BACA JUGA: Lentera Perdamaian dari Sebuah Museum Seni di Ubud

Koleksi tertata harmonis dengan bangunan, lanskap dan giat seni budaya sehari-hari, menjadi ciri khas ARMA. Bukankah ini menunjukkan indahnya pengetahuan?

Rupanya ARMA tidak berhenti hanya pada tataran filosofis dalam memaknai kehadirannya bagi Bali. ARMA juga berprilaku nyata mengejawantahkan keindahan Saraswati, dalam bentuk buku. Buku sudah menjadi genetik ARMA. Buku menjadi gaya hidup museum yang hidup ini! Entah itu peluncuran buku dari ARMA sendiri, entah itu dari luar.

Tradisi buku telah menjadikan ARMA bukan museum biasa-biasa saja. Penulis belum menelusuri apakah tradisi buku ini sudah semenjak awal berdirinya di tahun 1996 atau berbarengan era reformasi. Yang jelas, di tahun 2014 saja ada dua buku

meluncur dari ARMA. Di Bulan April ada buku “Kisah Sebuah Museum” setebal 352 halaman. Lalu dua bulan kemudian, Juni, meluncur buku “Saraswati in Bali, a Temple, a Museum and Mask”. Buku ini disusun bersama oleh Prof Ron Jenkins (Harvard) dan Prof Dr. I Made Bandem (ISI Denpasar).

Buku tentang Saraswati ini mengulik pemaknaan lahirnya ilmu pengetahuan dan terapannya dalam keindahan ragawi. Diluncurkan dua kali, pertama dalam rangka HUT ke-18 di ARMA sendiri dan kedua di KJRI New York 1 Desember 2015. Agung Rai sendiri menjadi nara sumber utama saat itu dan dikemas sebagai rangkaian perhelatan Festival Saraswati di Amerika Serikat.

Peluncuran buku berikutnya, adalah buku “Gung Rai Sang Mumpuni”, berisi rekam jejak Agung Rai dari seorang yang hanya tamatan SMP hingga mampu mendirikan sebuah museum ikonik di Ubud. Semata berawal dari kecintaannya kepada seni Lukis.

BACA JUGA: Obama, ARMA dan Ubud yang Tersisa

Selain dari ARMA sendiri, juga tercatat beberapa kali ARMA menjadi tuan rumah timbang buku yang umumnya terkait dengan olah informasi, olah jiwa dan olah budi. Buku-buku yang pernah dibedah di sana antara lain, “Jejak Hitler di Indonesia” yang ditulis oleh Horst

Henry Geerken dan pembicara dr. I Nyoman Sutarsa MPH. Sekaligus ini bentuk kolaborasi indah antara ARMA, Penerbit Buku Kompas, pegiat pergerakan I Gusti Agung Ngurah Harta dan

Bentara Budaya Bali. Buku ini sendiri diterbitkan dalam tiga bahasa : Inggris (“Hitler’s Asian Adventure”), Jerman (“Hitlers Griff nach Asien”) dan Indonesia.
Selanjutnya ARMA menjadi tuan rumah peluncuran buku seri anak-anak tentang lingkungan, “Clean Bali Series” (Serial Bali Bersih), hasil kolaborasi sejumlah seniman dan pegiat lingkungan.

Mereka menggubah dan menterjemahkan dari penulis Australia yang lama bermukim di Bali, Maggie Dunkle. Ketiga buku dalam seri ini adalah “Penyu dan Lumba-Lumba” (“Turtle and Dolphin”), “Burung Camar dan Kokokan” (“Seagull and Heron”) dan “Rajawali dan Anak-anak”.

Uniknya, terjemahan buku-buku ini juga ke dalam Bahasa Bali. ARMA sendiri adalah pendukung aktif gerakan BASAbali Wiki hingga kini.

BACA JUGA:

Agama yang Membangun dan Membangun Agama

BUKU Sri Chinmoy

Kemudian ARMA menjadi tuan rumah juga untuk peluncuran buku berbahasa Indonesia karya tokoh perdamaian dunia, Sri Chinmoy, “Permata Kebahagiaan : Inspirasi dan Kebijaksanaan Panduan Perjalanan Kehidupan”. Sekitar 170 orang dari Sri Chinmoy Centre International, dari berbagai negara, berbondong-bondong datang dan mendapuk ARMA menjadi rumah peluncuran dan timbang buku tersebut.

Lalu dari Mowilex Indonesia, perusahan cat yang peduli seniman, mempersembahkan buku “Balinese Woodcarving – A Heritage to Treasure”. Buku sebagai bentuk apresiasi kepada para seniman ini diluncurkan di ARMA sekaligus menandai kolaborasi saling menaruh hormat antara pelaku usaha dengan seniman – budayawan.

Agustus 2023, ARMA menjadi tuan rumah atas buku dan pemutaran film karya terbaik Desak Putu Yogi Antari Tirta Yasa, dosen Film dan Televisi ISI Denpasar, bertajuk “Kembali ke Asal”. Buku biografi visual dan film ini berkenaan dengan maestro seni rupa, almarhum I Dewa Nyoman Batuan.

Bersamaan dengan peluncuran tersebut, juga digelar pameran lukisan karya- karya I Dewa Nyoman Batuan yang legendaris itu.

Tahun ini, 2024, bulan Juni tanggal 10 nanti, kembali ARMA akan meluncurkan buku untuk menandai ulang tahunnya ke-28. Disusun oleh Warih Wisatsana dan Jean Couteau atas arahan Putu Suasta, buku tersebut berjudul “Agung Rai Museum of Art – The Sidelined Prince and His Collection”.

Seperti apa, tentu nanti kita akan tahu. Demikianlah ilmu pengetahuan (Dewi Saraswati) berupa buku-buku yang pernah dan akan selalu menjadi DNA dan tradisi ARMA. Sebuah museum yang hidup dari dan untuk keindahan ilmu pengetahuan. (SELESAI)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.