Teman Datang, Teman Pergi

Ilustrasi- Mengasihi tetangga - IST
Ilustrasi- Mengasihi tetangga - IST

“Kemarin dan esok
adalah hari ini/Bencana dan keberuntungan
sama saja/Langit di luar/
Langit di badan/Bersatu dalam jiwa.”

Petikan sajak WS Rendra ini mengajak kita melihat hidup secara lebih utuh dan tenang. Ia mengingatkan bahwa dalam hidup tak perlu ada yang berlebihan—baik saat kita dilahirkan, ketika sedang hidup, maupun ketika akhirnya berpulang.

Seseorang teman yang datang dan masih kita jumpai kemarin, bisa jadi hari ini sudah tiada. Itulah hidup. Dan itulah kuasa Tuhan.

Kami biasa menyapanya dengan nama Pak Yong. Seorang lelaki asal Jawa berusia 62 tahun. Ia pekerja konstruksi. Sejak pandemi, ia dan rekan-rekannya bolak-balik Jawa-Bali untuk mengerjakan proyek-proyek bangunan di Tibubeneng, Badung, yang lebih dikenal publik sebagai kawasan Canggu.

Pak Yong dikenal baik dan ringan tangan. Salah satu kebiasaannya yang paling melekat dalam ingatan kami adalah saat ia membelikan segelas kopi hangat dalam gelas plastik kepada teman-temannya di toko bangunan tempatnya bekerja, setiap sore menjelang matahari tenggelam.

Kebetulan tunangan saya bekerja di toko bangunan itu. Maka setiap kali saya menjemputnya pulang kerja, saya juga kerap bertemu Pak Yong. Dari situlah saya mengenalnya.

Obrolan kami awalnya ringan, tapi berangsur hangat. Saya sempat memberikan beberapa buku, termasuk karya saya sendiri. Dan saya baru tahu, ternyata ia menyukai membaca.

Namun tak ada yang bisa menunda takdir. Sekitar sebulan lalu, Pak Yong meninggal dunia. Kejadiannya begitu tiba-tiba. Seusai makan siang, dalam posisi duduk, ia terlihat sesak napas. Teman-temannya segera membawanya ke rumah sakit, tetapi belum sampai di tujuan, ia telah mengembuskan napas terakhir.

Pemilik toko tempatnya bekerja langsung bergerak cepat. Ia mengurus pemulasaran, menghubungi keluarga Pak Yong di Jawa, hingga memastikan jenazah dipulangkan dengan baik. Kami semua berduka. Tak menyangka akan kehilangan seseorang yang selama ini hadir sederhana, tapi menghangatkan.

Kami kini hanya bisa mengenang kebersamaan kami. Menyimpan kenangan akan tawa-tawanya. Dan tentu, memanjatkan doa-doa diam untuknya. Semoga ia tenang dan diterima dengan damai di sisi Tuhan.

Teman Datang

Kadang, alam semesta mempertemukan manusia bukan secara kebetulan, tetapi untuk menyampaikan pesan. Kehadiran Pak Yong mengajarkan bahwa keramahan, bahkan kepada orang baru, adalah bentuk cinta yang paling dasar.

Ia tak menunggu kaya untuk bisa memberi. Satu gelas kopi hangat cukup untuk menunjukkan bahwa kita bisa saling peduli. Dalam kesederhanaan itulah, hubungan antar manusia bisa terjalin. Tanpa perlu embel-embel status, latar belakang, agama, ataupun suku.

Namun, pada zaman sekarang—ketika banyak hal dihitung dengan kalkulasi untung rugi—kebaikan sering kali justru dicurigai. Kita bertanya dalam hati: “Apa maunya dia?” “Punya agenda tersembunyi?” Bahkan ada saja yang mengaitkan kebaikan dengan motif agama atau ideologi.

Seperti petikan lagu yang pernah populer: “Bahkan mencintai pun kini dicurigai.”
Kita terbiasa hidup dalam tembok curiga, membatasi rasa percaya. Individualisme perlahan menggantikan semangat kasih sayang, gotong royong, dan tepa selira yang dahulu menjadi napas hidup bersama.

Lebih menyedihkan lagi, kadang kita menjalin hubungan hanya karena perhitungan pribadi. Apa manfaat berteman dengannya? Bisa bantu apa? Kalau tidak bisa memberi keuntungan, buat apa dipertahankan? Pertemanan pun menjadi transaksi. Bukan lagi soal rasa.

Teman Pergi

Ketika hal itu terjadi, bukan mustahil seorang teman akan pergi. Ia merasa hanya dijadikan alat. Dibutuhkan saat kita perlu, dilupakan ketika ia yang membutuhkan kita.

Saya pun pernah mengalami retaknya hubungan pertemanan. Salah satu sebab paling umum: uang. Ini topik yang sering sensitif. Kita kadang terpaksa meminjam uang karena keadaan. Tapi saat tidak bisa mengembalikannya sesuai janji, itulah awal mula keretakan itu.

Sering kita bilang “meminjam”, tapi dalam hati berharap si pemberi lupa. Atau memang kita yang sengaja melupakan. Ini bukan soal nominal, tapi soal komitmen.

Ketika janji tak ditepati, kepercayaan pun runtuh. Lalu perlahan, teman kita menjauh. Tidak lagi membalas pesan. Tidak mengangkat telepon. Kita pun mulai sadar betapa berharganya kehadirannya saat ia sudah tiada.

Penyesalan itu datang terlambat. Tapi begitulah hidup. Hukum sebab-akibat bekerja dengan rapi. Kita menuai apa yang pernah kita tabur.

Dalam tradisi agama sebuah agama, salah satu hal penting yang diumumkan saat seseorang meninggal dunia adalah: apakah almarhum atau almarhumah masih memiliki utang. Hal ini biasanya disampaikan sebelum upacara pemakaman. Tujuannya jelas—agar tidak ada yang memberatkan perjalanan ruh menuju keabadian.

Jika ada utang, keluarga mendiang bisa mengusahakan untuk membayar. Sebab, menyelesaikan urusan dunia membantu ruh yang berpulang kembali kepada Sang Pencipta dengan damai.

Demikianlah.

Teman datang membawa cahaya, pergi meninggalkan bayangan panjang kenangan. Dan kita yang ditinggalkan hanya bisa belajar dari pertemuan dan kepergian itu. Semoga kita bisa menjadi teman yang lebih hangat, yang tidak hanya baik saat butuh, tapi juga hadir ketika dibutuhkan. ***

 

Apa Komentar Anda?