
DENPASAR, kanalbali.id – Pihak kepolisian Polda Bali, membongkar kasus prostitusi yang berkedok Spa di Bali dan diketahui dikelola oleh pasangan suami-isteri (Pasutri) Warga Negara Asing (WNA) asal Australia.
Spa berkedok prostitusi ini bernama Pink Palace Bali SPA yang berlokasi di Jalan Mertasan, Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, dan digerebek oleh Polda Bali pada Rabu (11/9) lalu sekitar pukul 21.10 WITA.
“Pink Palace itu (tarifnya) antara Rp 1 juta sampai dengan Rp 2,5. Tergantung dari treatment yang ditawarkan. Kemudian, diperlihatkan terlebih dahulu terapis yang akan melakukan pekerjaannya dengan tentunya menggunakan pakaian-pakaian yang sangat minim,” kata Wadirkrimum Polda Bali, AKBP I Ketut Suarnaya saat konferensi pers di Mapolda Bali, Jumat (11/10) sore.
Kemudian, dari penggerebekan itu pihak kepolisian menetapkan enam tersangka Warga Negara Indonesia (WNI) dan juga WNA, yaitu WS (37) sebagai direktur, NMWS, (34) general manager, WW (29) dan IGNJ sebagai resepsionis, MJLG (50) asal Australia sebagai owner atau pemilik PT. Hai Mate Bali atau Pink Palace Spa Bali, dan istrinya berinisial LJLG (44) yang juga dari Australia yang berstatus sebagai owner juga.
“Warga negara asing ini suami-isteri ini dari Australia. Dia owner diduga pemilik sementara, hasil pengumpulan bahan keterangan dari semua yang kita periksa,” imbuhnya.
Terungkapnya, prostitusi berkedok Spa atau pijat tradisional tersebut berawal dari informasi masyarakat terkait maraknya prostitusi yang berkedok spa yang ada di wilayah hukum Polda Bali.
Kemudian, pada Rabu (11/9) sekitar pukul 21.10 WITA dilakukan pemeriksaan di Pink Palace Bali SPA dan ditemukan tindak pidana eksploitasi terhadap anak dibawah umur, karena salah satu karyawan terapis berinisial NSP umurnya masih 17 tahun 7 bulan yang dipekerjakan di tempat tersebut.
Selain itu, di Spa tersebut ada sekitar 20 hingga 30 terapis yang dipekerjakan dan salah satunya adalah anak dibawah umur. Kemudian, untuk modusnya pemilik dan pengelola serta pegawai menyediakan para terapis massage tradisional sensasi dengan cara resepsionis menunjukan daftar menu treatment pijat di Pink Palace.
Kemudian, dijelaskan kepada pengunjung terkait daftar menu tersebut selanjutnya setelah pengunjung memilih salah satu daftar menu pijat kemudian resepsionis memanggil para terapis untuk dipertontonkan dan dipilih oleh pengunjung terlebih dahulu di showing room Pink Palace.
Lalu, setelah salah satu terapis dipilih oleh pengunjung, selanjutnya pengunjung diantar oleh resepsionis ke kamar yang telah disediakan dan setelah berada di dalam satu kamar, terapis melakukan pijat tradisional sensasi dengan mempertontonkan seksualitas hingga pengunjung dengan terafis melakukan hubungan badan.
“Dia izinnya di situ pijat tradisional. Tapi membuka Spa dan di dalamnya dengan modus prostitusi,” jelasnya.
Kemudian, untuk anak dibawah umur yang dijajakan yang baru diketahui satu orang. Tetapi masih dilakukan pengembangan dan untuk pelanggan bervariasi dari warga lokal maupun warga asing.
“Pelanggannya, kalau kita dalami dari keterangan para saksi maupun terapis di sana, iya bercampur kebanyakan dari luar dari bule-bule dan juga lokal,” ungkapnya.
Kemudian, pihak kepolisian juga belum bisa memastikan apakah untuk terapis juga menjajakan warga negara asing. Tetapi yang jelas bahwa pemilik Spa tersebut diketahui sudah satu tahun lebih di Bali dengan menggunakan visa kunjungan sementara dan Spa tersebut diketahui telah beroperasi sekitar satu tahun.
“Visa ke Indonesia ini sedang didalami penyidik supaya kita tidak salah memberikan informasi. Tapi izin menetap sementara (informasinya) seperti itu,” ujarnya.
Kemudian, untuk mekanisme pemasaran Spa tersebut menggunakan jaringan media sosial dan secara terbuka menawarkan treatment Spa tersebut.
“Mereka mekanisme pemasarannya ada manajemennya ada juga melalui jaringan media sosial mereka terbuka menawarkan itu. (Kalau terapis warga asing) belum ditemukan yah, tidak tau nanti hasil pengembangannya,” ujarnya.
Kemudian, terkait para terapis yang bekerja di tempat tersebut tidak diamankan dan ditetapkan tersangka, karena mereka dianggap sebagai korban.
“Terapis itu sebenarnya posisi korban tidak bisa kita jadikan tersangka, karena dia yang menjajakan yang bisa dikenakan pasal dan Undang-undang itu, terapis itu sebagai orang yang dipakai untuk alat menjajakan dan menghasilkan sesuatu profit,” ujarnya.
Keenam tersangka dipersangkakanPasal 76 I Jo. Pasal 88 Undang-undang Nomor 35, Tahun 2014, tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23, Tahun 2002, tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman 10 tahun dan atau Pasal 29 dan atau Pasal 30 Jo Pasal 4, Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44,.Tahun 2008, tentang pornografi dengan ancaman hukuman paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan atau pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP dengan ancaman hukuman 1 tahun 4 bulan Yo pasal 55 KUHP. (kanalbali/KAD)