Beban atau Pahlawan? Balada Kader Kesehatan dalam Pemberantasan Tuberkulosis

Penulis: dr I Wayan Cahyadi Surya Distira Putra, MPH

Ilustrasi: Pemeriksaan deteksi dini TBC oleh kader kesehatan - IST
Ilustrasi: Pemeriksaan deteksi dini TBC oleh kader kesehatan - IST

INDONESIA masih bergulat dengan beban besar untuk memberantas tuberkulosis (TBC), penyakit infeksi yang menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.

Menurut Laporan Tuberkulosis Global 2023 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menempati posisi kedua dunia setelah India, dengan kasus TBC mencapai 385 per 100.000 penduduk.

Untuk mengendalikan penyakit ini, pemerintah Indonesia melibatkan kader kesehatan di hampir setiap desa di seluruh Indonesia.

Namun, di tengah janji-janji program kesehatan dalam kampanye politik, muncul pertanyaan: sudahkah ada “investasi” yang diberikan untuk para kader kesehatan desa, yang menjadi garda depan dalam upaya pemberantasan TBC di Indonesia?

Tantangan Global dalam Pengendalian TBC

Pemberantasan TBC adalah tantangan global. Meskipun penyakit ini dapat disembuhkan dan dicegah, TBC tetap menjadi salah satu penyakit infeksi mematikan di dunia. Menurut WHO, terdapat 10,6 juta kasus TBC dan 1,6 juta kematian terkait TBC secara global pada tahun 2022.

Negara-negara seperti Indonesia menghadapi tantangan unik, termasuk akses layanan kesehatan terbatas di daerah pedesaan, pendanaan yang tidak memadai, dan kepadatan penduduk yang tinggi yang mempermudah penularan.

Faktor-faktor ini mencerminkan hambatan yang lebih luas yang dihadapi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah di seluruh dunia. Di banyak negara ini, pekerja kesehatan komunitas diterapkan sebagai elemen penting dalam strategi kesehatan nasional, seperti halnya peran kader kesehatan di Indonesia

Komitmen untuk mendukung kader kesehatan ini merupakan bagian dari gerakan global yang lebih luas untuk mengintegrasikan pendekatan berbasis komunitas dalam layanan kesehatan.

Kader kesehatan tidak hanya menjadi solusi dalam pengendalian TBC, tetapi juga merepresentasikan fenomena global menuju layanan kesehatan yang lebih inklusif dan mudah diakses, khususnya di daerah-daerah yang kurang terlayani oleh sistem kesehatan formal.

Negara-negara dari Afrika hingga Asia Tenggara telah mulai menerapkan inisiatif berbasis relawan serupa untuk menangani berbagai penyakit infeksi, dengan kader kesehatan menjadi tulang punggung strategi intervensi dini.

Upaya Global dan Solusi Bersama

Organisasi internasional, yang dipimpin oleh WHO dan inisiatif seperti Global Fund untuk memerangi AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria, semakin mengakui perlunya mendukung pendekatan layanan kesehatan berbasis komunitas.

Dukungan global ini telah menyediakan sumber daya penting untuk melatih dan memperlengkapi pekerja kesehatan komunitas, termasuk para kader kesehatan di Indonesia.

Pelajaran yang diambil dari titik-titik krisis TBC global, seperti India, Afrika Selatan, dan beberapa wilayah di Afrika Sub-Sahara, menunjukkan bahwa pemberantasan TBC dapat dicapai, dengan komitmen politik dan finansial yang berkelanjutan.

Upaya Indonesia sejalan dengan target global yang ditetapkan dalam WHO End TB Strategy, yang bertujuan untuk mengurangi 90% kasus TBC dan 95% kematian akibat TBC pada tahun 2035.

Model kolaboratif berbasis komunitas telah terbukti efektif, tetapi membutuhkan pendanaan yang memadai dan infrastruktur yang kuat untuk mendukung kader secara optimal.

Pandemi COVID-19 menekankan pentingnya pekerja kesehatan komunitas yang terlatih baik, yang terbukti menjadi andalan dalam pelacakan kontak, pengujian, dan edukasi masyarakat tentang tindakan pencegahan kesehatan.

Kader Kesehatan: Garda Terdepan Deteksi Dini dan Kepatuhan Pengobatan

Kader kesehatan berperan sebagai relawan yang dilatih untuk membantu upaya kesehatan berbasis masyarakat, termasuk edukasi, pencegahan, dan deteksi dini penyakit menular seperti TBC.

Peran mereka sangat penting di daerah-daerah terpencil, di mana mereka menjadi jembatan antara kebutuhan kesehatan masyarakat dan keterbatasan infrastruktur kesehatan yang tersedia.

Deteksi dini adalah kunci dalam pengobatan TBC. Kader kesehatan mengidentifikasi individu yang menunjukkan gejala kronis, seperti batuk berkepanjangan lebih dari dua minggu, penurunan berat badan drastis, serta riwayat kontak dengan penderita TBC, dan merujuk mereka ke fasilitas kesehatan terdekat.

Di daerah dengan beban TBC tinggi, Kementerian Kesehatan juga telah membentuk tim Active Case Finding (ACF), yang terdiri dari dokter, perawat, dan radiografer bergerak yang menggunakan rontgen untuk meningkatkan akurasi diagnostik, menemukan kasus tanpa gejala, dan mendeteksi TBC subklinis.

Dalam hal ini, kader kesehatan berperan penting dengan membantu mengidentifikasi kasus potensial yang memerlukan intervensi lebih lanjut.

Tugas penting lainnya bagi kader kesehatan adalah mengawasi kepatuhan pasien TBC terhadap pengobatan. Pengobatan TBC memerlukan kepatuhan ketat selama minimal enam bulan, dan ketidakpatuhan dalam pengobatan dapat menyebabkan resistensi obat, yang membuat kasus TBC lebih sulit diobati.

Kader kesehatan juga membantu fasilitas kesehatan dalam melacak pasien yang mangkir atau berhenti berobat. Melalui kunjungan rutin, mereka memastikan pasien mengikuti jadwal minum obat, mengidentifikasi mereka yang putus pengobatan, serta memberikan motivasi penting untuk pemulihan jangka panjang.

Meski menghadapi tantangan, banyak kader kesehatan yang berdedikasi penuh, memahami bahwa mereka menjadi harapan bagi para pasien yang berjuang untuk sembuh.

Tantangan di Lapangan: Beban atau Solusi?

Selain deteksi dini, kader kesehatan berkontribusi signifikan dalam efisiensi biaya dan waktu layanan kesehatan. Program kesehatan nasional seringkali memprioritaskan sumber daya untuk mereka yang sudah terdiagnosis, sehingga peran kader sangat krusial dalam mengidentifikasi individu yang berisiko.

Keterlibatan aktif ini juga memastikan bahwa anggaran kesehatan lebih tepat sasaran kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.

Namun, kader kesehatan sering bekerja dalam kondisi yang jauh dari ideal. Banyak dari mereka direkrut tanpa proses yang memadai dan harus menghadapi dinamika sosial-politik desa yang berubah-ubah.

Ketika proses rekrutmen tidak jelas, hal ini dapat menyebabkan keterlibatan kader yang kurang kompeten, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan dasar.

Tantangan yang dihadapi kader kesehatan semakin diperparah oleh keterbatasan dana dan fasilitas.

Pelatihan berkelanjutan yang tidak memadai, kurangnya dukungan tenaga kesehatan profesional, serta minimnya transportasi dan alat kesehatan dasar sering kali membuat para kader tidak siap menghadapi realitas di lapangan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah kader kesehatan adalah solusi yang berkelanjutan atau justru beban? Banyak kader merasa tidak dihargai dan tidak didukung, yang dapat menurunkan motivasi dan efektivitas mereka serta mengancam keberlanjutan program ini.

Solusi Berkelanjutan: Kesadaran Kolektif dan Optimalisasi Anggaran

Pendekatan kolaboratif menjadi kunci dalam pemberantasan TBC. Membangun kesadaran kolektif melalui pembentukan satuan tugas kesehatan di desa dapat mengurangi beban kader kesehatan.

Satuan tugas ini dapat melibatkan aparat desa, tokoh masyarakat, dan warga yang peduli kesehatan, berbagi tanggung jawab dalam pengendalian TBC.

Optimalisasi anggaran desa untuk penanggulangan TBC juga sangat penting. Pengalaman selama pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa desa-desa di Indonesia berhasil memobilisasi anggaran desa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

Selain itu, pemerintah pusat berencana menambah anggaran sebesar 8 triliun rupiah untuk mempercepat pemberantasan TBC di seluruh wilayah Indonesia.

Dana ini bisa digunakan untuk pelatihan kader, menyediakan transportasi, alat kesehatan dasar, dan insentif yang layak bagi kader kesehatan. Dukungan ini dapat menghasilkan efek domino yang positif dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.

Kader kesehatan dapat menjadi solusi efektif dalam pemberantasan TBC, terutama di daerah terpencil, dengan syarat rekrutmen dan pelatihan yang baik, insentif yang layak, serta dukungan masyarakat.

Semangat gotong royong antara kader, pemerintah desa, dan masyarakat dapat memastikan program pemberantasan TBC berjalan dengan baik, sehingga cita-cita Indonesia bebas TBC di tahun 2030 dapat tercapai.

Dengan dukungan yang cukup, kader kesehatan bukan menjadi beban, melainkan pahlawan yang memimpin Gerak Bersama, Sehat Bersama.

Selamat Hari Kesehatan Nasional!

 

Apa Komentar Anda?

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.