Tolak Pajak Hiburan 40 Persen, Pengusaha Sepakat Tunda Bayar Pajak

BADUNG, kanalbali.id – Para pelaku usaha hiburan malam di Pulau Bali, sepakat menolak kenaikan pajak hiburan yang mencapai 40 hingga 75 persen.

Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya mengatakan, bahwa dirinya dengan para pelaku pariwisata di Bali, baik pelaku usaha karoke, kelab malam, diskotik, khususnya di Kabupaten Badung, Bali, menolak kenaikan pajak tersebut.

“Bahwa kami menolak kenaikan pajak 40 persen itu. Masak sekarang diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan spa untuk menaikkan pajak jadi 40 persen. Irasional, sama sekali tidak masuk akal,” kata dia, saat menggelar diskusi dan rapat dengan para pelaku usaha hiburan malam di Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, Senin (15/1).

“Sedangkan, Thailand, mereka menurunkan pajak hanya 5 persen, mereka perlu turis datang ke Thailand. Nanti, Bali bisa ditinggalkan. Ini bahaya buat kita,” imbuhnya.

Sementara, dalam rapat dan diskusi tersebut puluhan pelaku usaha hiburan malam di Bali yang hadir bersepakat untuk menolak kenaikan pajak 40 persen.

Suryawijaya yang juga Ketua PHRI Kabupaten Badung menyampaikan, pemerintah sebenarnya tidak hanya dapat pajak dari Spa saja tapi juga mendapatkan pajak hotel dan restoran (PHR) dan kontribusinya lebih dari 80 persen untuk di Kabupaten Badung, Bali.

“Bisa bayangkan 2024, Kabupaten Badung menargetkan Rp 9,3 triliun. Itu yang terjadi, tanpa menaikkan pajak kita, ini mereka bisa mencapai targetnya. Kalau dipaksakan, mereka akan mematikan bisnis kita, tidak ada yang ingin datang ke Bali lagi. Mereka (wisatawan asing) lebih baik pergi ke Thailand. Sekarang orang liburan saja ke Jakarta tiketnya Rp 1,8 juta, ke Thailand hanya Rp 1,1 juta. Mereka akan pergi ke Thailand, karena sangat murah,” jelasnya.

Sementara, untuk Spa agar tidak terkena pajak 40 persen solusi yang paling mudah untuk mengatasi hal itu menggantikan Spa menjadi aktivitas kebugaran,”Tapi untuk diskotik dan yang lain?. Ini yang sulit,” ungkapnya.

Sehingga, kemudian pihaknya dengan para pelaku usaha hiburan malam di Bali dan di luar Bali akan melakukan seminar nasional untuk membahas soal kenaikan pajak dan nantinya mengajukan judisial review terhadap materi muatan Undang-undang soal kenaikan pajak 40 persen tersebut secepatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kemudian, kedua akan menunda pembayaran pajak tersebut karena daerah Kabupaten Badung, telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk penarikan pajak tersebut dan akan juga akan melakukan aksi damai terhadap kenaikan pajak itu.

“Kita berbarengan, ada Jogja, ada Jakarta, adakan di Bali juga, gaungnya akan internasional. Hasil daripada itu kita melakukan judisial review. Kemudian, menunda pembayaran pajak, SE Nomor 7 2023, untuk segera dilakukan 40 persen. Jadi, tunda saja dulu bayar, dulu pernah terjadi itu, kita tunda bayarnya. Biar jadi temuan tidak apa-apa. Karena, tidak mungkin kita naikkan, kita tetapkan dulu 10-15 persen, sampai menunggu hasil yudisial review,” ujarnya.

Ia juga mengajak, agar para pelaku usaha hiburan malam untuk menunda pembayaran pajak 40 persen sampai ada hasil dari yudisial review di MK,”Iya, kita menunggu dulu judisial review. Karena kalau kita bayar 40 persen, itu tamu kabur semua,” ujarnya.

Sementara, jika judisial review ditolak oleh MK pihaknya bersama para usaha hiburan malam tetap bersepakat untuk mendesak pemerintah agar kenaikan pajak 40 persen tidak diterapkan.

“Mereka akan mendesak terus. Kalau nggak, kan 40 persen ini membunuh usaha kita, mana mungkin. Kita untungnya juga gak segitu kok,” ungkapnya.

Ia menyebutkan, bahwa pajak 15 persen yang sudah diterapkan selama ini sudah masuk akal karena sangat terjangkau dan juga waktunya belum tepat menaikkan pajak, karena pariwisata di Bali baru recovery dari Pandemi Covid-19. Sementara, terkait menggelar demonstrasi pihaknya bersama para usaha hiburan malam akan menunggu hasil dari judisial review.

“Nanti kita diskusi apakah setuju kita semuanya. Kita susun strateginya, kapan kita turun, kapan kita ke Jakarta, bagaimana caranya. Saya rasa, lebih dari 10 ribu bisa kita turunkan. Yang bekerja 4,3 juta penduduk Bali ini (ialah) 1,2 juta bekerja di sektor dan subsektor pariwisata. Di PHRI ada 360 ribu. Makanya, kalau kita bersatu turunkan 5 ribu di Lapangan Renon bisa,” ujarnya.

Ia menilai, bahwa pajak 15 persen yang sudah diterapkan selama ini sudah bagus bukan malah dinaikkan,”15 persen sudah bagus. Itu kan pajak spa, pajak hotel juga sudah dapat, belum service charge,” ujarnya.

Sementara, General Manager Kelab Malam Boshe VVIP Club Bali, I Gusti Bagus Suwitra mengatakan, bahwa sebenarnya pajak 15 persen itu sudah besar dan kalau dinaikkan menjadi 40 persen tentu sangat berat. Pihaknya, juga sepakat dengan para pelaku usaha hiburan malam lainnya untuk mengajukan judisial review ke MK.

“Iya kita kita sebarin sama-sama dan suratnya bareng nanti. Bukan satu-satu dan mengatas namakan asosiasi hiburan malam,” ujarnya.

Ia juga menyatakan, bahwa tentu dengan adanya kenaikan pajak itu akan ada usaha hiburan malam yang tutup dan otomatis karyawan terkena PHK massal.

“Iya. Kalau PHK massal mungkin sebelum PHK sudah tutup duluan perusahaannya. Jadi sudah tidak PHK udah tutup, iya udah PHK sendiri,” ungkapnya.

Pihaknya juga sepakat bila nantinya ada usulan penundaan pembayaran pajak dan melakukan aksi damai dalam kenaikan pajak tersebut,”Setuju banget. Kalau memang itu cara yang akan dipilih oleh teman-teman semua dan dari beberapa tokoh, itu mungkin jalan,” ujarnya.

Seperti diketahui, pemerintah menaikkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan dari 15 persen menjadi 40 persen hingga 75 persen. Kebijakan itu, diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Dalam aturan itu, PBJT untuk jasa hiburan berlaku pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. (kanalbali/KAD)

Apa Komentar Anda?

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.