DENPASAR, kanalbali.id – Sebagai Lembaga Pendidikan tinggi yang memiliki fokus di dunia Komputer dan Teknologi Informasi, ITB Stikom Bali siap bersinergi dengan pihak manapun untuk menghadapi era metaverse.
“Kami mengajak pula teman-teman wartawan untuk bersiap menghadapi era ini,” kata Wakil Ketua Yayasan Widya Dharma Santhi I Made Marlowe Bandem dalam acara Coffe Morning di Duta Orchid, Denpasar, Rabu (9/2/2022).
Memahami Kesiapan Guru untuk Generasi Alpha
Pihak ITB Stikom Bali, kata dia, secara internal sudah mulai mengintegrasikan sejumlah hal untuk bisa dijaikan aset di dunia metaverse. Salah-satunya yang sedang digarap adalah dokumentasi Bali 1928 yang sebelumnya merupakan proyek repatriasi dokumentasi Bali di tahun 1930-an.
Dengan ditampilkannya hasil dari proyek itu, berbagai pihak dapat mengakses di metaverse dari man pun berada sehingga jangkauannya akan lebih luas lagi.
Pengamanan Aset Budaya di Era Metaverse
Sementara pakar digital Dedy Panji Agustino darii ITB Stikom Bali menilai, perlunya langkah antisipasi dari warga Bali dan Lembaga pemerintahan. Yakni, untuk mengamankan aset-aset adat dan budaya Bali, termasuk Pura Besakih di Karangasem.
“Idealnya, lembaga yang berwenang yang harus menampilkannya pertama kali di metaverse sebagai ruang publik yang terbuka. Ini untuk menghindari penyalahgunaan,” katanya.
Kepala Inkubator Bisnis ITB Stikom Bali itu menyatakan, pada era saat ini sangat dimungkinkan adanya pihak yang mengklaim aset budaya Bali untuk dimasukkan sebagai aset di metaverse. Bila hal itu sudah terjadi, maka akan ada kesulitan untuk mengklaim balik karena memang belum ada aturan yang memungkinkan untuk melakukannya.

Budayawan Made Bandem menyatakan, pihaknya tak perlu khawatir bila aset budaya Bali ditampilkan di Metaverse oleh pihak yang berwenang. Hal itu tak akan mengurangi nilai keagungan maupun daya tarik sebagai aset pariwisata. “Mungkin orang justru akan lebih tertarik lagi datang kesini,” katanya.
Dia menyamakan fenomena itu peristiwa tahun 80-an dimana pada saat itu dia mengajarkan gamelan dan tari Bali ke Amerika dan Jepang. Pihak yang memprotes khawatir, hal itu akan membuat orang merasa tak perlu ke Bali.
“Ternyata yang terjadi sebaliknya. Banyak orang yang sudah meengikuti sanggar di negaranya, merasa wajib datang ke Bali,” ujarnya.
Keberadaan aset budaya Bali di metaverse, menurutnya, juga akan makin meningkatkan pemahaman orang karena bisa menikmati secara lebih tenang. Sebagai perbandingan, dia sudah dua kali mendatangi langsung museum Louvre di Paris namun karena keramaian suasana di tempat itu maka sangat sulit untuk menikmati dan melakukan analisa mengenai kualitas lukisan disana.
“Setelah saya mengunjungi secara virtual baru bisa menganalisa secara detail. Sampai bisa tahu bahan untuk pembuatan lukisan dan kelebihan lainnya,” jelasnya. (kanalbali/RFH)



Be the first to comment