
Kampus IHDN Denpasar adalah salah satu lembaga pendidikan di Bali yang belum memiliki kesadaran kritis
DENPASAR, kanalbali – Kerumunan orang terlihat riuh memenuhi halaman aula kampus IHDN Denpasar , Rabu malam (16/19). Mereka mengikuti gelaran diskusi ‘Tancepan Brahmastra’ episode 3 bertajuk dunia pendidikan.
Acara ini diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Dharma Gita Jawa sebuah perkumpulan mahasiswa yang berlandas kebudayaan Jawa, pers pahasiswa IHDN Denpasar dan Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (FRONTIER) Bali.
“Kampus IHDN Denpasar adalah salah satu lembaga pendidikan di Bali yang belum memiliki kesadaran kritis akan hal-hal yang justru jadi dasar mengapa pendidikan itu diberikan,”kata Natri, penggagas diskusi ini.
Pramella Pasaribu: Kreativitas dan Inovasi UMKM di Buleleng Perlu Perlindungan Kekayaan Intelektual
. Krisna Dinata dari Frontier Bali menambahkan, sikap kritis mahasiswa seakan terbonsai oleh adanya kurikulum yang tercetak untuk memenuhi kebutuhan pasar. “Kami mencoba mengajak mahasiswa berkumpul dan duduk bersama guna menyentuh esensi yang lama terkubur dan seakan dikaburkan” imbuhnya.
Diskusi dipancing dengan pemutaran film berjudul Alangkah Lucunya Negeri Ini. Film besutan Dedy Mizwar ini bercerita tentang seorang pria bernama Muluk yang merupakan lulusan S2 namun malahan menjadi pengangguran.
Dalam perjalananya, Muluk bertemu dengan gerombolan pencopet yang menyadarkanya mengenai untuk apa pendidikan diperlukan. Acara dilanjutkan diskusi dengan menghadirkan seorang peneliti pendidikan muda sebagai pemantik, Eko Sasmito.
“Tidak bisa dinafikan kenyataan bahwa manusia sekarang terjerumus dalam perputaran abadi, sekolah untuk cari kerja, kerja untuk cari uang dan dapat uang untuk bisa sekolah,” ujarnya.
Terlebih lagi, kata dia, adanya Perpres No. 36 Tahun 2010 tentang sekolah dan pendidikan pemerintah memukul rata definisi pendidikan sendiri. ” Anggapan bahwa sekolah untuk mendapatkan, pingin pendidikan ya sekolah adalah kekeliruan” Kata Eko.
” Lantas bagaimana dengan sistem Upanisad dalam Hindu yang berarti duduk dekat dengan guru, dibawah pohon pula” imbuhnya.
Bahkan, dalam Perpres yang diterbitkan pada rezim SBY ini mengatur bahwa Sekolah diciptakan sebagai salah satu badan usaha milik negara.”Perpres ini mengisyaratkan pada pemodal bahwa mereka memiliki kesempatan untuk berivestasi dalam industri pendidikan di Indonesia dengan pembagian 49 Persen milik pemodal dan 55 persen milik negara,” tegasnya.
Hal ini juga berarti bahwa pendidikan hanya untuk mengisi lapangan kerja yang diciptakan oleh para pemodal dan akhirnya kita tidak bisa lepas dari peeputaran setan itu” kata pria yang menempuh jenjang S2 Kajian Budaya Universitas Udayana itu.
“Sekolah melalui kurikulumnya membuat kita terkotak-kotak dan membungkam biar tidak sadar, padahal menurut Paulo Freire, Kesadaran yang di inginkan dalam pendidikan kata mengenali diri, memahami diri, memaknai kita mengapa ada di dunia,” tegasnya. Pendidikan yang berhasil bukan melulu untuk mendapat pekerjaan tetapi untuk menyadarkan dan membebaskan kita serta menolong sesama. (kanalbali/KR14)