Kehilangan Selera untuk Tertawa Pertanda Apa?

Ilustrasi - Kehilangan selera untuk tertawa - IST
Ilustrasi - Kehilangan selera untuk tertawa - IST

Biasanya, pada masyarakat kita, orang tertawa diidentikkan dengan perasaan senang; entah karena baru mendapatkan uang atau karena keberuntungan lain. Lotere, misalnya. Padahal, pada orang-orang tertentu, luapan emosi itu justru karena sedang susah. Hingga pada satu titik, ia mentertawakan kesusahannya sendiri.

Penulis: Angga Wijaya

TAK semua orang bisa begitu. Entah karena pengkondisian atau takut dianggap sinting. Tertawa, bahkan menjadi sebuah metode meditasi. Ada kelegaan usai mampu tertawa. Plong! Seperti ada beban yang terlepas dari dalam diri.

Selama ini kita terlampau serius. Tidak seperti saat kanak-kanak, bisa dengan bebas meluapkan emosi. Tertawa. Menangis. Tidak dibuat-buat. Alamiah.

Ada yang hilang saat kita semua beranjak dewasa. Kita kehilangan rasa humor. Terlampau serius dalam banyak hal. Padahal hidup juga adalah sebuah lelucon, permainan. Leela, dalam bahasa sebuah agama. Permainan Illahi. Tak serius.

Pun berarti, sifat Tuhan juga Maha Bercanda. Apalagi yang bisa kita lakukan, ketika beban begitu berat kita rasakan? Biasanya kita menangis. Jarang ada yang mau tertawa. Sebab tertawa mungkin saja dianggap aneh. Memalukan. Aib.

“Gila kamu, ya?” Itu kalimat yang terlontar ketika kita melihat teman atau kerabat tertawa di tengah ketidakberdayaan yang dihadapinya. “Kok tertawa, sih, kamu?

Tentang Rasa Humor

Di dunia yang semakin kompleks ini, barangkali yang paling langka bukan lagi harta atau kekuasaan, melainkan rasa humor. Satu kemampuan sederhana yang dulu, saat kecil, kita miliki tanpa diajarkan siapa pun.

Kini, ia lenyap pelan-pelan. Tertawa menjadi sesuatu yang harus disembunyikan. Harus punya alasan. Harus sopan.

Di saat seperti ini, pemikiran Osho (1931-1990), hadir seperti hujan deras di tanah yang retak. Osho—tokoh spiritual asal India yang dikenal luas karena ajaran-ajarannya yang membebaskan dan sering kali provokatif—tidak menawarkan tawa sebagai hiburan murahan, tetapi sebagai gerbang menuju kesadaran. Baginya, tawa bukan hanya pelepas stres, tapi juga semacam revolusi batin.

Tertawa adalah tanda dari keheningan terdalam. Tertawa adalah tanda bahwa kamu mulai memahami kehidupan, kata Osho. Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tapi ia menantang akar budaya kita yang menjadikan keseriusan sebagai simbol kemuliaan. Dalam pandangan Osho, keseriusan adalah penyakit modern. Tawa adalah obatnya.

Kita hidup di zaman yang serba cepat dan penuh tekanan. Kegagalan harus ditutup rapat. Emosi harus dikontrol. Tertawa di tengah kesedihan dianggap tidak waras. Padahal bisa jadi, justru mereka yang masih mampu tertawa saat hidup begitu sulit, adalah orang yang paling waras dari semuanya.

Bagi Osho, tawa adalah jalan menuju melampaui pikiran. Tawa menghancurkan batas logika dan menyatukan kita dengan dimensi yang lebih luas. Saat seseorang benar-benar tertawa, ia melepaskan ego, meluruhkan rasa penting diri, dan menjadi murni, dimana hanya ada napas, suara, dan kelegaan.

Meditasi Tertawa

Ia bahkan menciptakan metode meditasi khusus yang disebut Mystic Rose, di mana peserta  selama berjam-jam  terbahak setiap hari. Bukan karena lucu. Tapi karena itu adalah katarsis—proses membersihkan luka dan beban emosi yang mengendap terlalu lama. Sebab tidak semua kesedihan bisa disembuhkan dengan tangis. Beberapa justru hanya bisa diurai lewat tawa.

Sayangnya, kita kehilangan itu. Kita lebih suka terlihat kuat dan tangguh daripada jujur pada perasaan sendiri. Kita takut dibilang tidak waras jika menertawakan kekacauan hidup yang tak bisa kita kendalikan. Kita menjadi terlalu serius dalam memainkan peran—hingga lupa bahwa panggung kehidupan ini sejatinya penuh adegan komedi.

Bahkan dalam tradisi mistik Timur, kehidupan disebut sebagai Leela—permainan ilahi. Tuhan bukan penguasa yang muram dan pendendam. Ia juga Maha Bercanda. Lalu mengapa kita begitu tegang menjalaninya?

Dalam tawa yang jujur, kita menyentuh keintiman dengan keberadaan. Seperti anak kecil yang tertawa karena hujan pertama turun. Tertawa karena sandalnya hanyut. Tertawa karena es krimnya jatuh. Tawa yang tidak dibuat-buat. Tawa yang bukan pengalihan, tapi penerimaan.

Osho mengingatkan bahwa tertawa juga adalah doa. Doa yang tidak meminta apa-apa. Doa yang hanya hadir, menerima, dan ikut bergelombang bersama denyut kehidupan.

Barangkali kita memang butuh kehilangan dulu rasa humor itu, agar saat menemuinya kembali, kita benar-benar paham artinya. Agar kita sadar bahwa itu adalah berkah—bukan karena hidup sedang mudah, tetapi karena kita akhirnya mampu berdamai dengan apa pun yang sedang terjadi.

Lalu, kalau suatu hari kita mendapati diri terbaha-bahak di tengah keruwetan hidup, jangan buru-buru merasa bersalah. Jangan takut dibilang gila. Bisa jadi, kita justru sedang waras-warasnya.

Karena seperti kata Osho: Tertawa bisa menjadi terapi yang paling luar biasa. Tidak ada yang seperti  itu untuk melepaskan energi yang tertekan.

Dan hidup, dengan segala kekalutan dan kelucuannya, sesungguhnya memang sedang bercanda. ( kanalbali / IST )

 

Apa Komentar Anda?