
“Orang miskin bukanlah Takdir, melainkan hasil dari tangan-tangan yang Serakah” (Bertholt Brecht)
Penulis: Ngurah Karyadi
Kutipan bijak dari Bertholt Brecht saya tempatkan di awal, mencermati Pidato Kenegaraan Presiden di Gedung MPR RI, 15/8, yang mengerucut pada “Serakahnomic”, atau ekonomi berbasis keserakahan.
Sekaligus mengenang Pidato Bung Karno, 17 Agustus 1965, tentang: Berdikari menuju bangsa Mahardika.
Berdikari akronim dari Berdiri Diatas Kaki Sendiri, atau mengandalkan kekuatan sendiri. Sebuah konsep, yang sempat dijadikan nama penulis, yang lahir sebulan kemudian.
Namun karena keberatan nama, dan sakit-sakitan, lalu diganti: Karyadi -yang katanya, dari dokter ahli sambung tulang pertama negeri.
Sementara, Mahardika, atau Merdeka -yang kebetulan disematkan jadi nama saudara potongan- adalah bentuk tertinggi dari kebebasan -bukan sekedar bebas dari pejajahan fisik, tapi bebas dari belenggu batin, dari keharusan untuk diakui, dari nafsu menguasai, dari rasa takut kehilangan.
BACA JUGA: Sekolah Rakyat dan Janji Keadilan Pendidikan dari Negeri untuk Anak Bangsa
Dalam Pidato Kenegaraan tersebut, Presiden Prabowo menyoroti potensi negara gagal, atau bahkan bubar akibat “Korupsi, Korupsi dan Korupsi” disegenap aspek kenegaraan, termasuk BUMN, dan BUMD, namun nyaris tanpa jalan keluar/rencana aksi yang “terstruktur, sistematis dan massif”, atau malah sebaliknya: Serakah pungut pajak -dari PBB, sampe nyanyi karaoke.
Sebagaimana gelora perlawanan rakyat Pati, Bone, Cirebon, dan akan disusul yang lain, terkait rencana masalah tersebut.
Mungkin sedikit berbeda dengan ungkapan Bung Karno, yang dikutip dari konten digital Perpusatakaan Nasional (2020), yakni:
“Kita tidak cukup hanya berjiwa Nasakom–kita pun harus berjiwa Pancasila, berjiwa Manipol/Usdek (Manifesto politik/Undang-Undang Dasar 1945), berjiwa Trisakti Tavip (Tahunvivere pericoloso atau tahun di mana revolusi bergelora), berjiwa berdikari!.” Namun kini sulit, karena semua aparat menjadi Nica Gadek, Londo Ireng, atau sejenis “Black skin, white musk”-nya Frans Fanon
Dalam kontek ini, Soekarno memaparkan secara rinci gagasannya tentang berdikari. Bung Karno menekankan bahwa Indonesia bisa mandiri dan tidak bergantung terhadap bangsa lain, mulai dari dalam kehidupan politik, ekonomi, hingga kehidupan sosial budaya.
BACA JUGA : Kutukan Ibu dalam Tinjauan Antropologi Budaya
Dalam Pidato Kenegaraan setahun sebelumnya (17/8/1964), Soekarno menyinggung konsep berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) untuk pertama kalinya. Dalam pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso! (Tavip), diformulasikan konsep Trisakti, yakni: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan sebagai bentuk revolusi suatu bangsa.
Bung Karno sekaligus menolak gagasan imprealisme dan neo-kolonialisme. Dalam pidatonya, ia menyebut imprealisme-lah yang membutuhkan Indonesia, dan bukan sebaliknya, yang kian menjadi-jadi akhir-akhir ini. Suatu keadaan yang berbading terbalik dengan situasi bangsa hari ini, yang kian didominasi: Asing, Aseng, dan Asong (Kabir: Kapitalis Birokrat).
Mental Asongan, atau Kapitalis Birokrat sudah merambah di semua sektor pemerintahan Pusat, Daerah, dan Desa. Seakan lupa, bahkan terlihat melawan peringatan para pendiri bangsa, seperti diungkap Bung Besar: “Inilah keterangannya, kenapa sesudah kaum imperialis terlalu banyak cingcong dan pertingkah, aku serukan ‘Go to hell with your aid!’. Sesudah dipersetan, mereka sekarang mendekat-dekat lagi dan menawar-nawarkan kembali ‘bantuan’ mereka. Tetapi saya tahu bahwa tidak ada ‘bantuan’ nekolim (neokolonialisme) yang cuma-cuma,” katanya.
Lebih jauh, Soekarno melihat praktek neo-kolonialisme lebih berbahaya daripada kolonialisme model lama. Ada sejumlah alasan ungkapnya, yaitu: Pertama, karena cara-cara maupun praktek-prakteknya belum cukup dikenal oleh rakyat.
Kedua, karena penjajah yang sesungguhnya, sering kali tidak jelas kelihatan.
Sebagai mana kita saksikan hari ini, para Asong/Kabir lebih terang benderang, seperti para Raja, Bupati dan Wedana (Camat) di masa pejajahan ‘tidak langsung’ Belanda, atau Jepang. Seakan abaikan peringatan Bung Karno:
“Sebab neo-kolonialisme itu adalah penjajahan by proxy, penjajahan by remote control, penjajahan ‘dari jauh’,” kata Bung Karno. Neokolonialisme masuk dalam bentuk kekuatan modal asing yang menguasai alias kapitalisme”.
Dalam pidatonya, Bung Karno juga menyinggung paham sosialisme yang kala itu menjadi trend di dunia. Sementara, revolusi Indonesia masih dalam tahap nasional- demokratis. Menurutnya, sosialisme belum bisa diterapkan karena masih ada/dikuasai modal asing di Tanah Air.
Disertai harapan, “..Nanti akan datang ketikanya, yang Indonesia akan membangun sosialisme, yaitu apabila modal imperialis sudah habis dan pemilikan tanah kaum tuan-tanah sudah dibagi kembali kepada rakyat.
Yang terang, dengan modal imperialis tidak mungkin kita membangun sosialisme,” yang sudah tentu nyaris tak terdengar kini. Sebaliknya, Negara terancam Gagal, atau bahkan Bubrah dan Bubar, akibat: Korupsi, Korupsi dan Korupsi -yang kini nyaris menjangkiti semua belahan dunia Paska Pandemi/COVID, atau New World Orders (NWO)-nya Claus’s Swabs.
Sesungguhnya, konsep Berdikari Bung Karno bukan menolak atau mengurangi kerja sama dengan negara-negara lain, melainkan memperluas kerja sama internasional, terutama di antara sesama negara baru merdeka, masa itu, seperti dikatakan: “Yang ditolak oleh berdikari adalah ketergantungan kepada imperialisme, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling-menguntungkan.” Dalam prakteknya kini, Asing, Aseng, dan Asong ‘untung’, rakyat ‘buntung’.
Dulu, langkah konkret Berdikari terhadap negara lain inidiwujudkan dengan mengutus Wakil Perdana Menteri I sekaligus Menteri Luar Negeri RI saat itu, Subandrio disertai Menteri Penerangan dan dua orang Menteri Negara untuk mengunjungi empat negara Timur Tengah dan delapan negara Afrika dalam rangka pembinaan setiakawan Asia-Afrika.
Kini, sibuk memoles citra dengan mengirim bantuan kerjsama kemanusian ke Palestina, di tengah rakyat yang busung lapar.
Meski utamanya, Berdikari terkait penolakan terhadap kapitalisme asing, konsep yang ditawarkan Bung Karno ternyata jauh lebih luas dari pada itu. Konsep berdikari telah diterapkan Bung Karno dalam Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun sejak 1961.
Lalu, pada 1963, Sukarno menyerukan kebijakan ekonomi dalam Dekon (Deklarasi Ekonomi). Sayangnya, program Dekon gagal saat diluncurkan, akibat Perang dingin dan prahara G-30-S 1965 -soal siapa dalang dan pelaku, perlu uraian tersendiri.
Tidak hanya soal ekonomi, Sukarno pernah merinci konsep berdikari dalam tiga aspek yakni ekonomi, politik, dan budaya.
Untuk aspek ekonomi, Bung Karno menyebut Indonesia diberkahi dengan alam yang kaya, rakyat yang rajin. Tapi sayangnya hasil keringat rakyat dimakan tuan tanah, tengkulak, lintah darat hingga setan desa, yang masih bercokol hingga hari ini.
Proyek terobososan dulu, seperti Koperasi Unit Desa/KUD misalnya, gagal akibat mental Ketua Untung Dulu -mudah-mudahan tidak menjangkiti Koperasi Merah Putih, yang sedang dicanangkan.
Dalam Pidato Kenegaraan Presiden kemarin, tidak nampak pentingnya Indonesia memecahkan masalah sandang, pangan dan papan. Sekaligus keberanian menindak, siapa pun yang menghalangi pencarian solusi masalah pangan, sandang, dan papan harus berhadapan dengan hukum. Seperti dikatakan Soekarno:
“Barang siapa merintangi pemecahan masalah ini, dia harus dihadapkan ke depan mahkamah rakyat dan sejarah.”
Untuk aspek politik, saat itu, Bung Karno menyebut Indonesia sudah berdaulat. Sekaligus, menekankan Indonesia harus terus membangun “nation-building” dan “character-building”, atau pembangunan phisik dan karakter untuk memperkuat kedaulatan tersebut.
“Kerukunan nasional sekarang ini–kerukunan antara berbagai agama dan berbagai suku bangsa, termasuk suku-suku keturunan asing –kerukunan nasional yang bebas sama sekali dari diskriminasi atau rasialisme macam apapun, harus kita bina dengan kecintaan seperti kita membina kesehatan tubuh kita sendiri,” kata Bung Karno.
Sama seperti aspek ekonomi, Indonesia kaya akan seni budaya mulai dari seni rupa, seni tari, musik dan lain-lain. Ia lalu menyinggung budaya asing yang mulai masuk ke Indonesia.
Ia meminta dihapuskannya imprealisme berupa budaya asing yang masuk. Bung Karno menekankan: “Maka itu tepat sekali film-film imperialis Inggris dan AS diboikot, juga tepat sekali pemberantasan ‘musik’ Beatle, literatur picisan, dansa-dansi gila-gilaan, dan sebagainya.”
Sekaligus, meminta agar kebudayaan nasional dapat menorehkan tinta emas, menjadi budaya yang yang revolusioner. “Kita bukan hanya ‘trahing kusumo, rembesing madu’, tetapi kita juga ‘trahing buruh-tani-lan-prajurit, rembesing revolusi!”, kata Bung Karno.
Sehingga, penikmat bukan hanya kalangan atas/elite, harus sampai kalangan bawah/ekonomi sulit: buruh, tani, mahasiswa, dan miskin kota.
Namun, dalam dunia tanpa batas hari ini, substansi “Ke-berdikari-an” diatas bukan harga mati. Teks sesuai konteks. Terlebih, kita bukan sebagai peniru/ulangan, yang hanya omon-omon, tapi praksis adaptasi dan pencipta, atau kreator seni budaya -termasuk seni budaya perlawanan. Sekaligus perlu kehati-hatian dalam pemaknaannya hari ini, sehingga tidak terjangkit: Belenggu SARA, Chauvinisme, Xenophobia, dan sejenisnya.
*Ngurah Karyadi, Penulis lepas