UBUD, kanalbali.id – Bukan Arma namanya kalau tidak selalu meresonansi “the heart of art lover” kepada seluruh lapisan masyarakat. ARMA, memang sejak didirikan oleh Gung Rai bulan 6 tahun 96, telah berhasil menjadi salah satu episentrum seni budaya dan isu-isu perdamaian dunia, dari jantungnya Bali, Ubud.
Jiwa kuratorial ARMA terhadap seni Lukis, sebagai basis kepedulian terhadap seni, berkembang merambah sedemikian rupa ke ranah tradisi, budaya hingga isu perdamaian yang kesemuanya kian mengglobal.
Jiwa kuratorial ini jugalah rupanya yang menjadi api penyelenggaraan ARMA Festival yang tahun ini telah memasuki tahun kedua sejak diadakan pertama kali tahun 2023.
Dan di era milenial sekarang ini, adalah Gung Yudi bersama anak-anak muda di ARMA menjadi motor penggerak utama perhelatan tersebut. Anak-anak muda ARMA ini bukan saja pekerja profesional di bidang permuseuman, resort dan pariwisata, tetapi sesungguhnya mereka adalah pekerja seni yang segayung bersambut dengan nafas kuratorial kesenian yang menjadi DNA Arma.
Gung Yudi, yang bernama lengkap Anak Agung Gede Yudi Sadona, adalah putra Gung Rai yang ketiban sampur meneruskan ARMA. Anak muda kelahiran Desa Peliatan tahun 1980 ini, sebagaimana galibnya generasi muda kelahiran 80an memang sepatutnya pada era sekarang ini berada di depan menakhodai apa yang telah dirintis oleh generasi ayah-ibu. Tentu dengan tetap mendapat bimbingan dari “para suhu sepuh” yang senantiasa siap menyala-nyala juga seiring dengan derap degup sang penerus.
Selain tentunya Gung Aji, sang ayah, para suhu sepuh itu antaranya : Gung Ari (sang paman, yang menurut Gung Yudi adalah gurunya di bidang ilmu seni rupa), Putu Suasta, Warih Wisatsana, Jean Couteau dan pasti banyak lagi, mengingat kebersahajaan Gung Yudi yang selalu siap ngangsu kawruh, sebagai generasi muda, kepada siapapun yang datang maupun ia datangi.
Bukan suatu kebetulan penyelenggaraan ArmaFest ini mengambil tanggal 14 September, yang juga adalah tanggal kelahiran Gung Yudi. Mungkin ini bisa dipandang sebagai penanda komitmen seorang tokoh muda dari ARMA, untuk mengangkat karya-karya seniman muda ke pentas nasional dan dunia.
Tentu tantangan yang dihadapi Gung Yudi berbeda dengan yang dihadapi generasi sang ayah. Di zaman milenial ini, dengan terpaan media sosial dan dinamika globalisme versus tradisi (local), sebuah kehormatan harus diberikan kepada anak-anak muda untuk menafsirkan sendiri zamannya, termasuk menafsirkan sendiri tradisinya. Maka tepatlah tema yang diusung ArmaFest tahun ini : “Tradition Reimagine”.
Apakah maksudnya kaum muda memaknai ulang tradisinya? Seperti apa? Menarik sekali! (kanalbali/IST)
Be the first to comment