Sosok Wiguna Mahayasa, Disabilitas Tuli dan Netra Pendiri Asosiasi Wirausaha Inklusif

I Made Prasetya Wiguna Mahayasa, sosok wirausaha inklusif - IST
I Made Prasetya Wiguna Mahayasa, sosok wirausaha inklusif - IST

DENPASAR, kanalbali.id –   Usianya baru 25 tahun dan dan baru saja ia menuntaskan studi Magister Manajemen dari Telkom University, Bandung. Sebelumnya, Studi S1 ditempuh di Universitas Negeri Malang jurusan Pendidikan Luar Biasa.

Sejak mahasiswa, meskipun mendapat beasiswa, ia tetap bekerja sebagai pengajar musik untuk anak-anak dan remaja.

Dialah I Made Prasetya Wiguna Mahayasa, pemuda penyandang disabilitas netra dan tuli kelahiran Denpasar pada 21 Maret 2000.

Kini ia tercatat sebagai ketua Asosiasi Wirausaha Inklusif Indonesia (AWINDO), wadah bagi penyandang distabilitas yang tertarik atau telah memulai bidang wirausaha yang didirikannya pada 20 April 2024 di Denpasar bersama\ lima orang temannya.

Visi asosiasi ini sederhana tetapi mendasar, yakni membuka akses kewirausahaan yang inklusif bagi teman-teman disabilitas. Mereka yang kesulitan mendapatkan pekerjaan dan terjun ke dunia usaha tetap bisa mengembangkan diri, menjadi mandiri, sekaligus berkontribusi bagi perekonomian Indonesia.

Sejak resmi membuka pendaftaran pada Januari 2025, asosiasi ini sudah memiliki 334 anggota. Anggota itu tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan bidang usaha yang beragam. Ada yang menjadi seniman, terapis pijat, petani, hingga pengusaha teknologi.

“Sekarang trennya banyak ke teknologi. Ada anggota kami juga yang punya usaha di bidang advertising digital. Ini menurut saya sangat menarik,” ujarnya.

Namun perjalanan menuju kemandirian tentu tidak mudah. Wiguna sendiri merasakannya.

“Ketika menjalankan usaha, mau ketemu klien itu susah, komunikasi secara langsung juga sulit. Jadi di sisi lain kami tahu ilmunya, tapi hambatan sebagai disabilitas itu dua kali lipat,” ungkapnya.

Kesulitan serupa dialami rekan-rekannya. Seorang tunanetra mengeluhkan rumitnya mengurus legalitas usaha karena tampilan laman pendaftaran tidak ramah pembaca layar. Yang lain kesulitan memahami pemasaran digital.

Wiguna menegaskan, “Nanti dengan volunteer kami bantu. Bagaimana pendaftarannya, edukasinya, sampai ke ilmu pemasaran. Intinya mempermudah teman-teman pengusaha disabilitas menjalankan usaha mereka”.

Menariknya, Wiguna tidak hanya menjadi penggerak organisasi, tapi juga pernah berperan sebagai pemberi kerja. Ia merekrut beberapa teman untuk membantunya dalam usaha yang ia jalankan.

Dari pengalaman itu, ia semakin paham betapa besar tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas. Ada yang sulit mengakses teknologi, ada pula yang terkendala mobilitas.

“Ketika saya merekrut karyawan, saya tahu betul bahwa tidak semua bisa langsung mahir. Ada proses adaptasi. Tapi bagi saya yang penting adalah kemauan belajar. Kalau ada niat, keterampilan bisa ditingkatkan,” katanya.

Selain aktif di AWINDO, Wiguna juga mendirikan PT Mahayasa Teknologi Nusantara (PT MTN) pada 4 September 2021 di Denpasar. Awalnya perusahaan ini meluncurkan aplikasi Wiguna Payment, lalu berkembang menjadi Mpay Komunika, Smart Saldo, dan Teman Pay.

PT MTN juga berkomitmen membuka lapangan kerja setara, bahkan pernah melakukan perekrutan daring dengan melibatkan panitia rekrutmen disabilitas. Prinsipnya sederhana, yakni kesempatan dan kompetensi yang setara bagi semua.

Tak berhenti di sana, Wiguna juga mendirikan Sunar Sanggita, sebuah kursus musik inklusif yang melibatkan pengajar tunanetra.

Di tempat inilah musik menjadi ruang tumbuh, bukan sekadar hiburan. Sunar Sanggita menawarkan les musik, studio rekaman, sewa alat, hingga pengisi acara.

Pada 2023, Sunar Sanggita meraih juara satu di Astra Disability Connection Program, mengalahkan berbagai model bisnis lain dan membuktikan bahwa inklusi bisa punya daya saing tinggi.

Sunar Sanggita juga menjadi bahan riset akademik. Pada 2025, terbit sebuah publikasi di ResearchGate yang membahas perjalanan pelanggan kursus musik inklusif dengan studi kasus Sunar Sanggita. Riset ini penting untuk memetakan pengalaman murid dan orang tua, sekaligus meningkatkan kualitas layanan.

Dengan demikian, Sunar Sanggita bukan hanya bisnis, tetapi juga laboratorium pengetahuan.

Pendidikan dan Visi ke Depan

Keputusan Wiguna melanjutkan pendidikan hingga S2 bukan hanya untuk dirinya. Ia ingin memberi contoh bahwa penyandang disabilitas juga mampu meraih pendidikan tinggi. Di Telkom University, ia mengambil jurusan Manajemen Bisnis Digital, sebuah bidang yang sejalan dengan visinya membangun wirausaha berbasis teknologi.

“Bagi saya, pendidikan itu bukan sekadar gelar. Tapi cara untuk membuka wawasan. Saya inin teman-teman disabilitas lain juga berani kuliah setinggi mungkin. Jangan takut dengan keterbatasan,” katanya mantap.

Di balik perjuangan itu, Wiguna tidak melupakan keluarga. Ia ingin kelak bisa membahagiakan orang tua, memberi mereka kehidupan yang lebih baik. Baginya, keluarga adalah alasan utama untuk terus maju.

Wiguna selalu menekankan pentingnya penerimaan diri. Baginya, itu adalah fondasi. “Kalau tidak menerima, kami hanya akan terjebak pada kesedihan. Tapi kalau menerima, kami bisa melangkah. Hidup memang tidak mudah, tapi selalu ada jalan,” ucapnya.

Ia percaya bahwa setiap keterbatasan membawa ruang untuk kreativitas. Justru karena sulit, orang disabilitas bisa menemukan cara-cara baru yang lebih kreatif dalam menjalani hidup. Semangat itulah yang ia bagikan kepada anggotanya, kepada siapa pun yang ia temui.

Wiguna tahu betul, menjadi pengusaha itu sulit. Bukan hanya bagi disabilitas, bahkan bagi non-disabilitas pun riset menunjukkan hanya sebagian kecil yang benar-benar berhasil. Tetapi ia percaya semangat bisa mengalahkan jalan buntu. “Minimal mereka bisa mandiri dulu,” katanya mantap.

Dari Denpasar, Wiguna menyalakan api kecil. Api yang menyala dari keterbatasan, tumbuh menjadi bara yang menghangatkan banyak orang. Ia percaya, jalan pengusaha disabilitas mungkin penuh kelok, tapi tidak ada jalan buntu bagi semangat.

Dan di hadapan saya kala itu, saya melihat bukan hanya seorang pemuda berusia 25 tahun dengan segudang keterbatasan. Saya melihat seorang guru yang mengingatkan, bahwa hidup betapapun sulit selalu bisa dicari celahnya. Bahwa kita semua pada akhirnya dituntut untuk tidak menyerah pada keadaan. Wiguna telah memilih jalannya. Pertanyaannya, apakah kita berani memilih jalan kita sendiri. ( kanalbali/AWJ)

Apa Komentar Anda?