Dari “1984” George Orwell ke “1984” SID

I Gusti Ngurah Karyadi, Aktivis di Bali - IST
I Gusti Ngurah Karyadi, Aktivis di Bali - IST

Penulis: Penulis : Ngurah Karyadi (Aktivis LSM tinggal di Jembrana, Bali)

“….Satu sembilan delapan empat,
Fasis ia berpesta di panggung peragaan busananya,
Tak diundang kau tak punya apa-apa,
Namun kau ‘kan bahagia,
Itu kata mereka.

Kutahu aku tak sendiri,
Hadapi semua ini,
Dikala oligarki sibuk bermain Tuhan,
Alasannya wabah, bencana alam…”

Di tahun 1984, saat saya baru menginjakan kaki di dunia kampus/Unud, seorang kawan pinjamkan buku: “1984” (George Orwell, 1949). Dari judul sudah aneh, namun saya seakan terhipnotis, deg-degan, was-was, atau skeptis, alias meragukan.

Namun, harus akui ada keadaan macam begitu, dan di sekitar: Kejayaan Rezim Orde Baru, dan Jendral Soeharto. Terasa Benar saat jalani Penataran P4 dan Ospek. Semua dinding seakan jadi telinga, lengkap dengan Menwa, Intel kampus, dan Senat mahasiswa, yang diisi para pendengung (buzzer, kini).

80 tahun merdeka, dan 40 tahun paska ramalan tersebut, kini penduduk negeri berubah jadi Cebong dan Kampret, yang diperintah oleh penguasa, atau “Fasis, yang berpesta di panggung peragaan busananya”, teriak serak Jrx/SID: 1984 (2024) -Seperti dalam kutipan diatas.

BACA JUGA: Ke-berdikari-an, Renungan di Hari Kemerdekaan

Ada kebohongan yang terstruktur, sistematis dan massif. Ada warga dijentil kian kemari, bagaikan main kelereng, seperti di Pantai Bingin, atau TPA, Swung, dan sebagainya. Kedustaan diubah jadi Kebenaran, dan sebaliknya.

Warna putih dibilang hitam, atau hari malam dibilang siang, vice versa. Kok bisa? Di puncak Bromo, atau Semeru barangkali, dan itu pun barangkali kalau bakar daun ganja.

Terpikir di benakku, asal keturunan mana George Orwell, atau Jerinx dkk., ini.

Mungkin mereka blasteran binatang melata (reptile) dan makhluk luar angkasa (UFO). Mungkin juga, salah masuk sekolah dan keliru guru. Atau, setidaknya salah baca buku, dan kesurupan halus-inasi.

Mereka maunya apa di dunia? Atau lari dari kenormalan umum, dan atau mereka sedang meramalkan yang bukan-bukan? Apa maunya memancing Di air keruh? Kalau sekedar ingin cari nafkah, masih banyak jalan yang bisa ditempuh.

Misalnya buka toko skin-care, seperti kini mewabah. Atau, jadi guide tourist, atau calo tanah? Atau, setidaknya pura-pura lumpuh dan bersimpuh di perempatan jalan: Kasi-man.

Atau, jika betul-betul sudah habis akal, adu untunglah jadi tim sukses/relawan untuk dapat jabatan Komisaris, Dirjen, atau menteri. Nasib sering datang menyambar bagai petir siang bolong, yang “nyaris tak terdengar”, kata sebuah iklan.

Kenapa pula mesti tulis buku, atau lagu 1984 segala macam? Mustahil di tahun yang diramalkan, 1984, dan bahkan 40 tahun kemudian itu, segalanya terjadi: Semua jungkir balik, atau “nungkalik” (Bali). Mustahil istilah-istilah menjadi “sungsang”.

Mustahil 40 tahun setelah tahun 1984 itu, kalau ada orang bilang “damai” yang dimaksud sebetulnya “perang”.

Mustahil di saat ini, kalau ada orang bilang “demokrasi” yang dimaksud sebetulnya “diktator”. Atau kalau mulut bilang “pilihan” itu maksudnya “paksaan”. “Pajak” dibilang “Zakat”, atau “Kucing Kertanegara” dibilang “Macan Asia”, dan/atau “Direstui_, berarti “Diresufle”, seperti kisah OTT-nya Wamenaker, mantan Forkot, yang Forget.

Estimasi, menduga dan meramal boleh-boleh saja. “Pokoknya sopan dan jangan kelewat batas”, kata Ketua DPR, saat ditanya soal rencana demo “DPR Bubar”, 25 Agustus ini.

Tukang obat saja boleh operasi, mengapa yang lain tidak? Yang penting tidak mencemooh, atau jatuhkan wibawa penguasa.

Tahu apa mereka di tahun 1984, dan kini di tahun 2025 itu teknologi sudah nyaris hampir di puncaknya, tahu apa mereka di tahun 1984, dan 2025 ini dusta, omon-omon dan kawan-kawannya menjadi kegemaran resmi sehari-hari.

Tahu apa mereka di tahun 1984, atau 2025 ini pengertian istilah sudah kacau balau lewat olahan mesin propaganda yang diberi selubung serapi-rapinya, tahu apa mereka di tahun 1984, dan 2025 ini orang tidak bisa hidup semata-mata dari makan dan minum melainkan mesti ditunjang menu tambahan yang namanya: Intimidasi, dan kekerasan.

Dengan diliputi rasa takut dan cemas yang memadai, penduduk di tahun 1984, sampai kini, tidak bakalan mampu tidur dengan lelap.

Lebih gegabah lagi di sebut soal “de-eduksi”, diganti MBG, dan guru menjadi beban negara, kata Menteri Keuangan.

Massa dijauhkan dari pengikut-sertaan pemecahan soal-soal pokok, dan bahkan “semua harus tangani sendiri-semdiri,” seperti ucapan Sampah,seorang Gubernur.

Pemilihan perwakilan tidak mampu membawa perubahan apa pun, kecuali peningkatan gaji dan fasilitas penguasa, dengan pungutan Pajak, cukai dan retribusi yang mencekek Panjak/rakyat.

Kaitan politis antara penduduk dengan penguasa menjadi longgar bahkan putus sama sekali. Wangi kemanusiaan sudah memudar, dan iklim hukum rimba merasuk ke lorong-lorong dan singgah di pintu-pintu rumah tinggal.

Yang namanya pendidikan mengalami perubahan corak yang tak terbayangkan sebelumnya. Satu-satunya gerak kepala yang bisa dilakukan orang hanyalah mengangguk, setuju, dan kritik, protes dan unjuk rasa merupakan kemustahilan.

Ramalan George Orwell sepertinya terbukti, dan kian menjadi-jadi. Tahun 1984 sempat berlalu, dengan lengsernya Soeharto dan Orde Baru-nya di tahun 1998. Namun, kini tidak semua dari kita sadar, dan masih ada (kembali) persis di depan hidung kita setelah 40 tahun berlalu.

Seakan berulang, atau berjilid-jilid tepatnya. Sungguh saya tidak tahu apakah kini – tepatnya di tahun 2025 ini – ramalan George Orwell, masih bisa dikenali. Kalau masih, dia akan mendapat apresiasi besar.

Semua apa yang ditulisnya mulai awal hingga akhir, termasuk titik serta komanya, bukan: Kitab Omong Kosong. Dan kalau dia sudah tiada, di kuburnya dia akan membuka peti mati, meninju-ninju liang lahat, dengan menari riang gembira.

Sebab, justru di tahun 2025, atau 40 tahun kemudian, seperti ungkapan Jerinx, dkk/SID, merupakan tahun yang paling tidak menentu: “...Di kala Oligarki sibuk bermain Tuhan, Alasanya wabah, bencana alam..” Penduduk hidup terancam, penuh rasa takut. Dinding-dinding mendengar apa yang dibincangkan orang.

Perubahan apa pun tak mungkin, penduduk tak bisa utarakan hasratnya. Kalau disebut istilah “demokrasi” maka yang dimaksud “sing demo dikerasi”, atau bahkan “kremasi”.

Kalau tersebut istilah “kebebasan” maka yang dimaksud betul-betul “kebablasan”.

Negeri di tahun 2025, atau 40 tahun kemudian ini bagaikan negeri neraka, hasil ciptaan penguasa yang Serakahnomics, kata Presiden, seakan sedang “Meludah keatas”, atau “Mekecuh melek menek”. (kanalbali/IST)

Apa Komentar Anda?