Kawasan Tahura Diterjang, Made Rentin Meradang

Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Made Rentin - IST
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Made Rentin - IST

DENPASAR, kanalbali.id – Sebagai Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) Bali, I Made Rentin, kini berada di pusaran penertiban kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai di Bali.

Ia menyebut adanya temuan dugaan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri dan sejumlah rumah warfa yang berdiri di dalam kawasan itu.

“Kami sudah mengajukan 11 pembatalan dokumen terkait SHM yang berada di dalam kawasan Tahura Ngurah Rai,” sebutnya seusai Rapat di DPRD Bali tentang Tata Ruang dan Izin di Gedung DPRD Bali, Senin (29/9) sore.

“Jadi disitu ada bangunan yang memang perumahan warga, yang mengejutkan ada sekolah. Salah satu sekolah di Kabupaten Badung. Rupanya setelah kami kroscek awalnya disertifikatkan oleh Desa Adat, dan Desa Adat melepas tanah itu kepada Pemkab Badung, saat itu SMK-SMA masih urusan kabupaten,” kata Rentin.

“Oleh Pemkab Badung dibangun fasilitas sekolah yang dalam perjalanan SMA itu diserahkan kepada provinsi, dan rupanya tanahnya masih dalam kawasan tahura,” imbuhnya.

Ia menyebutkan, bahwa bukti soal bangunan sekolah dan rumah warga lainnya berada di kawasan Tahura Ngurah Rai, telah diberitahukan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali untuk dilakukan pembatalan.

“Bukti kami menyatakan itu ada. Ada dalam kawasan tahura, 11 item kami mohonkan kepada BPN untuk pembatalan PAL tapal batas tahura itu jelas ada di dalam ruang belajar, di dalam halaman rumah warga termasuk di beberapa fasilitas lainnya,” ujarnya.

“Ini kan secara rill dan nyata titik koordinatnya ada. (Tapal batas) itu kita evaluasi rutin dalam lima tahun sekali. Itu pemerintah dalam peraturan Menteri Kehutanan, (dan itu) masuk kawasan Tahura Ngurah Rai,” jelasnya.

Kemudian, saat ditanya terkait temuan 106 bidang tanah yang beririsan dengan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai di Bali Selatan, yaitu Denpasar Selatan dan Badung Selatan. Temuan itu, berawal dari sidak pansus tata ruang DPRD Bali. Pihaknya mengatakan, akan membentuk tim gabungan terkait temuan tersebut.

“Iya itu masuk. Cuman tadi hasil rapat kesepakatan kita dengan BPN, kita bentuk tim gabungan tidak ada hanya BPN, semua stakeholder terkait. Termasuk kami di DKLH, dilibatkan untuk melakukan atau memastikan bahwa 106 sertifikat hak milik itu betul-betul ada di kawasan tahura,” ujarnya.

“Ketika itu nyata ada di dalam kawasan tahura, kita lakukan tindak lanjut. BPN sudah menyetujui untuk proses lebih lanjut pembatalan atau pencabutan sertifikat hak milik,” jelasnya.

Sementara, terkait sertifikat hak milik untuk pembatalan dokumen tanah di kawasan tahura, sudah ada 11 sertifikat yang diajukan untuk dibatalkan ke BPN.

“Tadi itu baru 11 (sertifikat). Rupanya dalam perjalanan selalu berkembang dia, diupdate, Dan 106 (sertifikat bidang tanah) itu 11 (sertifikat) ada di dalamnya (106). Dan sisa dari 11 (sertifikat ) itu besok kita dalami untuk kelapangan,” ujarnya.

“Untuk memastikan, betul-betul berada di dalam kawasan tahura. Dan 106 itu semua SHM atau sertifikat hak milik yang perlu kita pastikan untuk ceks ke lapangan besok. (Termasuk sertifikat sekolah) iya (SHM). Karena, awalnya kan keluarnya sertifikat dari desa adat,” ungkapnya.

Sementara, terkait sekolah yang berdiri di kawasan tahura itu adalah sekolah negeri yang kini dibawa naungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.

“Sekolah negeri kan dibawa pemprov kan. Cuman waktu awal pembangunan masih menjadi kewenangan kabupaten, dibangun fisik gedungnya oleh kabupaten Badung saat itu. Karena kewenangan SMA saat itu masih di pemerintahan Kabupaten Badung. (Sekolahnya) masih jalan, masih berdiri dan berlanjut masih menerima siswa,” jelasnya.

Pihaknya juga mengatakan, kalau nantinya dinyatakan melanggar dengan mendirikan bangunan di kawasan tahura, tentu akan dicarikan win-win solution.

“Ada win-win solution mencari daerah dan tanah lain sebagai pengganti itu paling bijak. Tapi proses alurnya adalah sertifikat dibatalkan dulu. Setelah sertifikat dibatalkan kembali kepada kawasan tahura, setelah itu ada kebijakan bisa menukar atau tukar guling dan mencari tanah yang luas. Dan minimal sama, biasanya satu berbanding satu atau satu berbanding dua atau lebih. Bahasa regulasinya minimal sama luasnya,” ujarnya.

Ia menyebutkan, untuk 11 sertifikat atau 11 bangunan yang diduga berdiri di kawasan tahura, bukan bangunan usaha. Tetapi, seperti sekolah dan rumah-rumah warga.

“Nggak ada (bangunan usaha), sebagai besar adalah fasilitas publik, ada sekolah, ada rumah warga. Kalau rumah warga itu lebih banyak dia pertimbangannya bahwa sudah ada dari nenek moyang kami. (Mereka bilang), keluarga kami menempati lahan ini, jadi dia sertifikatkan. Yang terus kami telusuri dan kami turun ke lapangan besok, adalah memastikan apa history dan riwayat sampai tanah itu bisa disertifikatkan padahal berada di kawasan tahura itu kita kroscek besok,” ujarnya.

Pihaknya menyatakan, dari 106 bangunan yang bersertifikat itu pihaknya belum bisa menerangkan berapa luasannya.

“Saya belum jelas karena belum pegang data. Nanti kita kroscek lapangan dulu,” ujarnya.

Selain itu, pihaknya juga akan menelusuri lahan-lahan di tahura kenapa dikonversi yang sebelumnya adalah lahan-lahan konservasi.

“Ini yang sedang kami telusuri apa sih, apa ada faktor warisan, dan faktor-faktor lain yang kita harus telusuri dan sedang proses pendalaman. Saya masih dalami, apalagi saya pejabat baru di DKLH, jadi masih ditelusuri oleh tim gabungan untuk ceks ke lapangan,” ujarnya.

Sebelumnya, kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) atau kawasan mangrove di Kota Denpasar, Bali, diduga banyak diserobot oleh bangunan yang tak berizin dan terjadi dugaan ahli fungsi lahan di kawasan konservasi itu.

Bahkan, di kawasan hijau itu ditemukan sebuah pabrik konstruksi yang dimiliki oleh Warga Negara Asing (WNA) asal Rusia. Hal tersebut diketahui ketika Pansus Tata Ruang, Perizinan, dan Aset Daerah DPRD Provinsi Bali, melakukan inspeksi mendadak di lokasi pada Rabu (18/9).

Ketua Pansus Tata Ruang, Perizinan, dan Aset Daerah DPRD Bali, I Made Supartha mengatakan, bahwa inspeksi mendadak itu dilakukan pada pasca terjadinya banjir besar yang melanda sejumlah wilayah Pulau Bali, pada Rabu (10/9) lalu.

“Jadi kami dari pansus tata ruang itu ngecek ruang-ruang ini yang ada. Supaya ke depan kalau hujan datang lagi, tidak terjadi banjir. Datanglah kami ke daerah mangrove itu. Daerah mangrove itu kan green belt, artinya sabuk hijau Bali. Dari mulai Sanur sampai ke Nusa Dua itu kan wilayah hutan-hutan bakau, semua tahura, taman hutan rakyat,” kata Supartha, saat dihubungi Jumat (19/9).

Kemudian, saat melakukan inspeksi mendadak itu dirinya kaget karena di kawasan Tahura di Denpasar, sudah banyak sekali bangunan untuk tempat-tempat usaha. Salah satunya, yang dimiliki oleh WNA Rusia.

“Kami kan ini ngecek ke sana, sudah banyak sekali ada bangunan. Ini kelihatannya sudah alih fungsi dari lahan bakau atau hutan bakau Ini menjadi lahan-lahan banyak kegiatan. Jadi bentuk alih fungsinya seperti apa, maka kami cek di sana. Memang benar ada alih fungsi lahan mangrove. Dan sudah keluar sertifikat banyak gitu,” imbuhnya.

Padahal menurutnya, sesuai Undang-undang kehutanan dan lingkungan itu tidak boleh ada sertifikat tanahnya, karena di sana adalah lahan konservasi dan itu ada aturannya.

“Kami cek BPN ( Badan Pertanahan Nasional di Bali), ternyata rata-rata di sana sudah sertifikatnya. Itu ada 50 are (meter persegi), ada 70 are, ada 28 are, ada 30 are. Banyak sekali itu di wilayah konservasi,” ungkapnya. (kanalbali/KAD)

Apa Komentar Anda?