
DENPASAR, kanalbali.id – Penerapan prinsip kearifan lokal sebagai respon cepat penanganan bencana alam hingga saat ini masih terus dilakukan di sejumlah wilayah rawan bencana di Indonesia, seperti Bali, Poso, dan Maluku.
“Ketika terjadi bencana masyarakat kembali ke budaya lokalnya, di mana tiap daerah memiliki cara penanganan yang berbeda yang diwarisi secara turun menurun,” jelas Direktur Eksekutif Yayasan IDEP, Muchamad Awal dalam acara talkshow di Warung Kubukopi, Selasa, (24/5/2022).
Awal mengatakan, setiap peristiwa alam memiliki pertanda yang dapat diketahui melalui cerita orang tua jaman dulu. Sama halnya saat Gunung Agung di Karangasem Bali akan mengalami erupsi, ketika itu hewan-hewan berlarian turun dan keluar dari area gunung sebagai pertanda suatu bencana akan terjadi.
“Pertanda yang dipercaya dari jaman dulu ini masih harus kita pegang teguh, dan masyarakat juga tetap yakin dengan tanda tersebut untuk meminimalisir dampak yang lebih besar,” tambahnya.
Menurutnya, ketika musim panas Pulau Dewata rentan mengalami kekeringan dan saat hujan rawan banjir maupun tanah longsor. Sebagai respon tangguh masyarakat dengan kearifan lokalnya membuat cubang untuk persediaan air ketika musim panas, dan menanam kebutuhan pokok ketika musim hujan.
Pentingnya Transaksi Digital di Era Pandemi
“Hal ini bisa disebut sebagai ketangguhan masyarakat dengan penerapan kearifan lokal dalam mengatasi bencana alam,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Yayasan Panorama Alam Lestari (YPAL) Poso Sulawesi Tengah, Yopy Hary mengatakan, ketika dua wilayah yang cukup jauh dengan Palu mengalami bencana alam, penyaluran bantuan tidak bisa langsung dilakukan, karena tempatnya cukup sulit untuk dijangkau.
Respon cepat masyarakat lokal dilakukan dengan memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan pangan selama satu minggu sampai bantuan datang.
“Pas saat itu masyarakat sedang menanam jagung, jadi itu dimanfaatkan selama berhari-hari hingga kami bisa masuk ke wilayah mereka,” tuturnya.
Dari peristiwa tersebut, ia menyadari bahwa harus adanya kesediaan pangan di tengah masyarakat untuk mengantisipasi hal yang sama terjadi ketika muncul bencana alam yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya.
Direktur Yayasan Pelangi Maluku, Rosa Pentury menuturkan masyarakat adat di Maluku memiliki tradisi Sasi yang memberlakukan larangan terhadap pengambilan hasil panen pada satu wilayah dalam satu waktu tertentu. Tradisi ini dilakukan di darat dan di laut, baik untuk komoditas ikan maupun palawija.
“Tradisi ini akan menghasilkan panen yang berlimpah, sehingga masyarakat memiliki cukup banyak persediaan pangan. Ini dapat digunakan ketika terjadi suatu bencana,” jelasnya. (Kanalbali/LSU)
Be the first to comment