
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung di Denpasar, Bali, selama bertahun-tahun telah menjadi isu krusial yang kompleks dan multiperspektif Ibarat sebagai sebuah “jebakan Batman”. TPA Suwung merepresentasikan sebuah masalah yang tampaknya sederhana, namun memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang saling terikat erat.
Oleh: I Nengah Muliarta (Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa)
Jebakan pertama yang kita hadapi adalah pola pikir pengelolaan sampah yang linier, yakni kumpulkan-angkut-buang.
Paradigma ini memandang sampah sebagai “barang yang tidak berguna” yang harus segera disingkirkan dari pandangan. Solusi yang paling mudah dan murah adalah mengangkutnya ke TPA, menumpuk, dan menimbunnya.
Pola pikir ini menghasilkan gunungan sampah yang menjulang tinggi, mengeluarkan gas metana yang berbahaya, serta mencemari tanah dan air. Akibatnya, TPA menjadi sumber bau busuk, tempat berkembang biaknya lalat, dan ancaman bagi kesehatan masyarakat sekitar.
TPA Suwung bukan hanya sekadar tempat pembuangan, melainkan simbol kegagalan dalam mengelola sumber daya.
Jebakan Kedua, ketika TPA Suwung penuh atau menimbulkan protes masyarakat, biasanya muncul solusi-solusi cepat yang seringkali tidak berkelanjutan.
Mulai dari pembangunan fasilitas pengolahan sampah yang megah (tanpa memperhatikan efektivitasnya), hingga kebijakan yang tergesa-gesa tanpa partisipasi publik yang memadai.
Solusi-solusi ini seringkali berakhir sia-sia karena tidak disertai dengan perubahan perilaku fundamental dari masyarakat dan industri.
Sebagai sebuah contoh, pembangunan TPS 3R di masing-masing desa yang diharapkan mampu mengurangi sampai mulai dari tingkat desa. Pembangunan TPS 3R ini juga dilengkapi dengan bantuan peralatan yang cukup memadai.
Sayangnya SDM pengelolaan sampah yang tersedia terbatas, baik dari segi kemampuan pengelolaan sampah maupun dari segi jumlah. Tak jarang beberapa TPS 3R hanya menjadi tempat transit sampah sebelum ke TPA.
Bali secara ekologis sudah tidak mampu lagi menampung pertambahan penduduk secara berkelanjutan. Data yang umum digunakan terkait daya dukung dan daya tampung wilayah, bahwa Bali hanya mampu mendukung kehidupan 1,5 juta orang.
Kenyataanya berdasarkan data BPS terkait proyeksi penduduk Provinsi Bali berdasarkan laporan 2 Januari 2025 mencapai 4,46 juta jiwa. Jumlah kunjungan wisatawan domestik selama 2024 mencapai lebih dari 10 juta orang dan mancanegara lebih dari 6 juta orang.
Tentunya jumlah ini berkorelasi dengan jumlah sampah dan limbah yang dihasilkan. Sementara kemampuan mengelola sampah ataupun limbah di Bali masih sangat terbatas.
Penutupan TPA Suwung
Permasalahan yang cukup ramai saat ini adalah terkait rencana penutupan TPA Suwung. Alasan umum yang sering terdengar bahwa TPA Suwung telah tidak mampu lagi menampung sampah.
Pemprov Bali menutup TPA Suwung sebagai implementasi dari Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 921 Tahun 2025 tentang Penghentian Pengelolaan Sampah dengan Metode Open Dumping.
Jika memperhatikan fakta dan data tersebut menunjukkan ada usaha baik dari pemerintah untuk memperbaiki tata kelola pengelolaan sampah di TPA. Intinya pemerintah pusat meminta daerah untuk memperbaiki sistem pengelolaan sampah dengan cara menghentikan praktek open dumping.
Apalagi sejak awal Pembangunan TPA Suwung memang direncanakan untuk mengelola sampah dengan system sanitary landfill. Mestinya bukan penutupan TPA yang harus dilakukan tetapi memperbaiki sistem tata Kelola TPA.
Memang harus diakui bahwa tanpa disadari praktek open dumping yang terjadi di TPA selama ini tidak hanya menyebabkan bau dan pencemaran, tetapi juga berkontribusi terhadap pemanasan global.
Tumpukan sampah dari metode open dumping memang menghasilkan gas metana (CH₄) dalam jumlah besar akibat dekomposisi anaerobik sampah organik.
Metana adalah gas rumah kaca yang jauh lebih kuat daripada CO₂—potensinya dalam memerangkap panas di atmosfer sekitar 20–30 kali lebih besar dibandingkan CO₂ dalam jangka waktu 100 tahun, dan bahkan bisa mencapai 80 kali lipat dalam periode 20 tahun.
Selain mengubah pola pengelolaan sampah memang harus ada upaya juga untuk mengurangi pembuangan sampah ke TPA. Permasalahan yang terjadi yang perlu menjadi perhatian penting yaitu memastikan, apakah yang terbuang ke TPA Suwung memang sampah atau juga limbah.
Mengutip definisi sampah pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah menyebutkan bahwa sampah Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menyatakan limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
Jangan sampai kemudian residu atau bahan buangan dari Perkebunan, perkantoran, toko dan perusahaan yang merupakan limbah juga terbuang ke TPA Suwung. Mengingat limbah harus diolah oleh penghasilnnya.
Pengolahan Sampah Berbasis Sumber
Upaya pengurangan pembuangan sampah ke TPA memang harus dilakukan oleh semua pihak, untuk memperpanjang umur TPA. Salah satu caranya adalah pengelolaan sampah berbasis sumber.
Upaya ini memang sudah didengung-dengungkan sejak lama, sayang implementasinya di lapangan menghadapi banyak tantangan. Pengelolaan sampah berbasis sumber tidak dapat hanya melalui kampanye dan edukasi, tetapi pendampingan yang berkelanjutan.
Masyarakat harus didorong untuk mengurangi konsumsi, memilih produk dengan kemasan minimal, dan beralih ke produk yang dapat digunakan kembali (reusable). Peran pemerintah, swasta, dan masyarakat sangat penting dalam mengedukasi dan menyediakan alternatif yang berkelanjutan.
Terkait pengelolaan sampah berbasis sumber, Masyarakat selama ini umumnya direkomendasikan untuk melakukan pengomposan.
Sayangnya belum disertai dengan penjelasan yang memadai terkait metode apa yang harus digunakan, apakah aerob atau anaerob. Terkait pemilihan metode ini juga berkaitan dengan upaya memilih teknik pengomposan yang adaptif dengan mitigasi pemanasan global.
Pengomposan, meskipun bermanfaat, memiliki keterbatasan dalam hal nilai ekonomi dan efisiensi waktu. Metode seperti eco-enzyme dan budidaya maggot menawarkan solusi pengelolaan sampah organik yang lebih canggih dan berkelanjutan.
Kedua pendekatan ini tidak hanya menyelesaikan masalah sampah, tetapi juga menciptakan produk sampingan yang memiliki nilai ekonomi dan lingkungan signifikan, sehingga berkontribusi pada pengembangan ekonomi sirkular yang lebih tangguh dan efisien.
Eco-enzyme adalah cairan hasil fermentasi sisa-sisa organik, gula, dan air. Secara ilmiah, proses ini melibatkan dekomposisi kompleks bahan organik menjadi molekul-molekul sederhana melalui aktivitas mikroorganisme, menghasilkan enzim, alkohol, dan asam asetat.
Produk ini memiliki beragam fungsi yang bernilai tinggi, mulai dari sebagai pembersih hingga sebagai pertisida organik.
Metode lain yang lebih unggul adalah biokonversi sampah organik menggunakan larva Black Soldier Fly (BSF) atau maggot. Larva ini adalah agen dekomposer yang sangat efisien dan cepat dalam mengonsumsi materi organik.
Proses ini tidak hanya mengurangi volume sampah secara drastis, tetapi juga menghasilkan produk yang bernilai ekonomi, mulai dari pakan ternak berprotein tinggi dan kasgot atau pupuk organic unggul.
Maggot memiliki kandungan protein dan lemak yang sangat tinggi, menjadikannya sumber pakan alternatif yang ideal untuk ternak, unggas, dan ikan. Hal ini dapat mengurangi ketergantungan pada pakan komersial yang mahal.
Sementara sisa metabolisme maggot, yang dikenal sebagai kasgot, merupakan pupuk organik padat yang kaya akan nutrisi dan mikroorganisme bermanfaat, efektif untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah.
Melangkah Maju, Bukan Berjalan di Tempat
TPA Suwung adalah alarm yang terus berdering, mengingatkan bahwa model pengelolaan sampah yang ada sudah usang. Jebakan-jebakan yang dihadapi bukanlah takdir, melainkan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang diambil.
Dengan memilah solusi secara cermat, dapat bertransisi dari model pengelolaan sampah yang linier ke model ekonomi sirkular yang lebih berkelanjutan.
Langkah ini bukan hanya tentang menutup TPA, tetapi juga tentang membuka kesadaran baru bahwa setiap individu memiliki peran penting.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat, dapat mewujudkan Bali yang lebih bersih dan berkelanjutan, di mana TPA Suwung menjadi kenangan dari masa lalu, bukan bayang-bayang yang terus menghantui. (***)