Kisah Korban Perdagangan Orang di Benoa: Tergiur Tawaran di FB Berujung Mimpi Buruk

Kapal Penampungan ABK - Foto: Dok tim Advokasi
Kapal Penampungan ABK - Foto: Dok tim Advokasi

DENPASAR, kanalbali.id – 21 orang calon anak buah kapal (ABK) Kapal Motor (KM) Awindo 2A yang diduga menjadi korban kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Kisah yang mereka alami layaknya sebuah mimpi buruk.

Siti Wahyatun  dari Tim Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (Tangkap) mengungkap, para korban diketahui berusia 18 hingga 47 tahun, dan mereka direkrut melalui media sosial Facebook oleh calo dari Depok, Lampung, Surabaya, Jakarta, Pandeglang, Tangerang, Bandung, Bogor, Brebes, Madiun, Temanggung, Boyolali, Cirebon, dan Cilacap.

Mereka direkrut sebagian untuk bekerja jadi Awak Kapal Perikanan (AKP) dan dijanjikan untuk bekerja sebagai AKP dengan diiming-imingi gaji antara Rp 3 hingga Rp 3,5 juta per bulan.

Ada juga kasbon dari Rp 5 juta hingga Rp 6 juta, serta dijanjikan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya dan tanpa potongan apapun.

“Sebagian korban mengalami penipuan berkaitan dengan posisi kerja, beberapa dijanjikan bekerja di Unit Pengolahan Ikan (UPI) untuk bagian pengemasan, beberapa dijanjikan bekerja di kapal penampung (collecting), dan beberapa tidak diberikan informasi berkaitan tempat kerja,” jelasnya.

Di kapal tersebut mereka dijerat utang  dengan dibebankan utang Rp 2,5 juta untuk membiayai akomodasi, jasa calo, jasa administrasi, dan biaya-biaya lainnya yang itu tidak ada di kesepakatan awal.

Mereka, disekap  kurang lebih 7 hingga 8 hari. Selain itu, para korban hanya diberi makan dua kali setiap harinya dengan nasi dan lauknya adalah enam bungkus mie sayur yang bukan mie instan.

“Lalu dibagi untuk 30 orang, yang per orangnya hanya mendapatkan dua hingga tiga sendok mie saja. Terus, ada potongan kecil tempe atau telur, bahkan mereka sempat makan dengan sambal yang dibuat dari cabai yang sudah busuk,” ujarnya.

“Mereka tidak (dapat) air matang yang disediakan. Mereka terpaksa minum dari air palka kapal yang itu adalah air mentah dan kotor dan sangat tidak layak untuk konsumsi. Mereka membuat kopi juga terpaksa dengan air asin dan ketika malam hari mereka tidak disediakan penerangan, juga tidak ada listrik di kapal tersebut,” lanjutnya.

21 korban tiba di Pelabuhan Benoa, Bali, sejak tanggal 8 Agustus 2025 dan mereka ditempatkan di atas kapal KM. Awindo 2A yang berada di Perairan Pelabuhan Benoa Bali.

Selama berada di KM. Awindo 2A mereka tidak diberikan akses untuk ke darat dan untuk ke darat hanya bisa diakses menggunakan sampan atau perahu jukung.

“Mereka tidak diberikan akses untuk itu, bahkan sebagian dari mereka handphonenya disita, identitas pribadinya juga disita seperti KTP. Jadi mereka sangat sulit untuk akses di sana,” kata Siti saat konferensi pers di Kantor LBH Bali, Senin (8/9) sore.

Selain itu, para korban ini diberikan perintah kerja seperti mengecat kapal, membersihkan palka kapal atau ruang penyimpanan muatan yang berada di bawah geladak kapal, dan menguras solar, menimba air palka, karena mesin penguras airnya rusak. Semua itu, dilakukan tanpa alat pelindung diri atau fasilitas keselamatan kerja.

“Dan tentu saja ini sangat berbahaya dilakukan. Karena hal-hal tersebut bisa mencelakai nyawa mereka sendiri jika dilakukan tanpa alat pelindung diri,” imbuhnya.

Para korban ditempatkan di kapal cumi atau KM Awindo 2A yang akan diberangkatkan dari Pelabuhan Benoa. Korban yang telah menyepakati tawaran kerja, awalnya dibawa oleh calo ke sebuah tempat penampungan di Pekalongan, Jawa Tengah, sebelum kemudian dibawa  ke Pelabuhan Benoa, untuk menangkap ikan cumi.

Selain itu, di dalam KM. Awindo 2A juga diawasi oleh kapten kapal dan para jaringan calo yang bolak-balik dari darat menggunakan sampan karena jaraknya cukup jauh dari kapal atau sekitar 10 menit dari daratan, dan mereka dijaga secara ketat.

“Dan akses ke daratnya harus menggunakan sampan juga. Dan sangat sulit untuk mereka untuk ke darat. Bahkan ada salah satu dari mereka  yang sakit kakinya, itu sampai harus  memaksa memohon-mohon untuk diobatin dulu ke darat. Akhirnya, karena didesak terus, satu orang sempat ke darat untuk diobatin,” jelasnya.

“Kalau butuh konsumsi, seperti rokok dan lain sebagainya itu harus bilang. Nanti sampan-nya yang datang. Jadi, mereka kalau kebutuhan apa, disuruh menginformasikan agar sampannya yang menghampiri mereka. Jadi, mereka memang tidak dibiarkan untuk ke darat,” jelasnya.

Sementara Gede Andi Winaba  yang juga kuasa hukum korban mengatakan, bahwa kalau kekerasan secara fisik tidak ada. Tetapi, mereka diancam agar membayar utang mereka sebesar Rp 2,5 juta itu.

“Kalau misalkan memang pada akhirnya tidak mau di (bekerja di kapal) cumi. Maka harus membayar sekian dan sebagainya. Karena memang konteksnya mereka tidak mempunyai modal. Jadi, secara terpaksa harus menyanggupi, tentu ancaman tersebut yang membuat mereka juga akhirnya terkena tekanan secara mental. Dan ada juga yang akhirnya depresi, beraktivitas tidak seperti biasanya dan sebagainya,” ujarnya.

Selain itu, dari salinan PKL yang diterima oleh tim advokasi, secara tertulis gaji yang seharusnya diberikan pada mereka yang sesuai Upah Minimum (UMR) – (kanalbali/KAD)

 

Apa Komentar Anda?