Karakter Orang Bali Kini, Membaca Ulang Margaret Mead

Children Looking at Photographs Taken in their Village Ten Years Earlier, Bayung Gedé, Bali, Indonesia] ArtistKen Heyman (American, 1930–2019) Date1968 Period20th century Mediumgelatin silver print (vintage) DimensionsImage Size: 6 x 9 inches Credit LineGift of Dr. and Mrs. Stephen Nicholas Object number2015.085 Curatorial DepartmentModern & Contemporary Art _Place of OriginUnited States
Children Looking at Photographs Taken in their Village Ten Years Earlier, Bayung Gedé, Bali, Indonesia] ArtistKen Heyman (American, 1930–2019) Date1968 Period20th century Mediumgelatin silver print (vintage) DimensionsImage Size: 6 x 9 inches Credit LineGift of Dr. and Mrs. Stephen Nicholas Object number2015.085 Curatorial DepartmentModern & Contemporary Art _Place of OriginUnited States

Penulis: Angga Wijaya *

Nama Margaret Mead sempat mengegerkan dunia antropologi dengan penelitiannya tentang karakter orang Bali. Ilmuawan yang dikenal sebagai “ibu antropologi modern” itu kemudian menulis buku legendaris The Balinese Character: A Photographic Analysis.

Namanya sudah terpateri dalam benak saat saya menempuh studi Antropologi Budaya di Fakultas Sastra Universitas Udayana—sekarang bernama Fakultas Ilmu Budaya—antara tahun 2004 sampai 2009. Nama Mead kerap muncul dalam bahan kuliah. Tapi baru beberapa waktu lalu, saya membaca

Tapi baru pada akhir-akhir ini saya membaca bukunya dalam format PDF yang saya temukan di internet. Kesimpulan dalam buku itu mengejutkan saya karena menyebut karakter orang Bali menunjukkan kepribadian skizoid, alias cenderung terpisah secara emosional, menahan ekspresi, dan menjauhi kelekatan.

Kesimpulan diambil antara lain melakui pengambilan dokumentasi ratusan foto hitam-putih yang menggambarkan kehidupan masyarakat Bali tahun 1930-an, dari bayi hingga lansia, dari keseharian hingga ritual.

Mead dan suaminya kala itu, Gregory Bateson, menyusun foto-foto itu menjadi semacam argumentasi visual. Mereka menafsirkan pola-pola perilaku orang Bali secara psikologis.

Skizoid, dalam psikologi Barat, sering dikaitkan dengan kondisi kepribadian yang tertutup, dingin, bahkan mengarah ke gangguan mental serius seperti skizofrenia.

Benarkah Kesimpulan itu?

Saya, yang lahir dari keluarga Bali dan tumbuh dalam suasana adat dan upacara, merasa ada yang keliru di sana.

Orang Bali yang saya kenal justru sangat terhubung satu sama lain. Mereka aktif dalam kegiatan banjar, saling bantu dalam upacara, bahkan menyisihkan waktu untuk ngayah dan metulung tetangga.

Tapi benar juga bahwa mereka jarang memeluk. Jarang berkata “aku sayang kamu.” Bahkan seorang ibu pun bisa sangat hemat dalam menyentuh anaknya secara fisik. Apakah itu artinya mereka tidak mencintai?

Mead dan Bateson menafsirkan semua itu sebagai bentuk keterputusan. Sebagai sinyal kepribadian yang menyimpan potensi gangguan mental.

Namun seperti yang dikritik oleh Prof. Dr. Luh Ketut Suryani dalam bukunya Orang Bali, Mead gagal memahami dimensi spiritual dan simbolik dalam kebudayaan Bali.

Apa yang dalam budaya Barat dianggap sebagai ekspresi kasih sayang, di Bali justru sering diekspresikan secara halus, tersirat, bahkan melalui keheningan.

Suryani, yang seorang psikiater dan juga intelektual Bali, dengan tegas menyebut analisis Mead sebagai dangkal.

Mead, kata Suryani, membaca wajah-wajah Bali tapi tidak mendengar suara batinnya. Ia menyimpulkan karakter dari citra-citra diam tanpa memahami makna sekala-niskala—bahwa di Bali, yang tak tampak bisa jauh lebih penting dari yang tampak.

Namun saya tak bisa sepenuhnya mengabaikan bahwa kesehatan mental di Bali memang menjadi persoalan yang kian nyata.

Di tengah budaya yang menekankan keseimbangan dan harmoni, banyak jiwa justru merasa tidak punya tempat untuk bicara.

Termasuk saya. Saya adalah penyintas skizofrenia. Diagnosa itu datang bertahun-tahun lalu, ketika dunia saya runtuh tanpa bisa saya ceritakan kepada siapa pun.

Dan saya tahu, bukan budaya Bali yang membuat saya sakit. Tapi bisa jadi, budaya ini—dengan segala nilai luhur dan tekanan sosialnya—membuat saya kesulitan menemukan ruang untuk jujur.

Jujur tentang rasa lelah, tentang kebingungan, tentang trauma masa kecil yang tak pernah sempat saya bicarakan.

Dalam masyarakat yang sangat menjaga citra dan kesantunan, kesedihan bisa menjadi aib, dan sakit jiwa bisa dianggap kutukan.

Masalah Kesehatan Mental

Lebih dari itu, data nasional menunjukkan bahwa ada sesuatu yang memang perlu kita cermati bersama dari sisi kesehatan mental.

Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI, Bali merupakan provinsi dengan prevalensi pengidap skizofrenia tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 2,9 per 1000 penduduk.

Angka ini jauh di atas rata-rata nasional, yang saat itu berada di sekitar 1,7 per 1000 penduduk.

Temuan ini mengejutkan banyak pihak, sebab Bali selama ini dikenal sebagai pulau dengan tingkat pendidikan cukup tinggi, infrastruktur kesehatan yang memadai, serta tradisi spiritual yang kuat.

Tapi justru di tempat seperti ini, gangguan jiwa berat paling banyak tercatat. Apakah ini kebetulan? Atau ada sesuatu yang belum kita hadapi secara jujur?

Mungkin di sinilah letak paradoks dari analisis Mead. Ia keliru karena menyimpulkan karakter orang Bali sebagai skizoid hanya dari tampilan luar.

Tapi ia juga, tanpa sengaja, menunjukkan betapa sulitnya menjadi diri sendiri di tengah budaya yang sangat menuntut keselarasan.

Kebenaran dalam Kekeliruan

Ada kebenaran yang terselip dalam kekeliruannya: bahwa dalam dunia yang terlihat tenang, bisa saja tersembunyi riak-riak jiwa yang butuh pemulihan.

Saya melihat itu dalam banyak kasus orang dengan gangguan jiwa di desa-desa. Mereka bukan orang gila. Mereka hanya tidak punya ruang aman untuk merasa.

Mereka tumbuh dalam struktur sosial yang rapi, tapi tak punya tempat untuk menangis. Mereka adalah cermin dari kita semua yang terlalu lama percaya bahwa menahan adalah bentuk kekuatan.

Hari ini, saya percaya bahwa orang Bali bukan skizoid. Mereka hanya dilatih untuk mengelola emosi dengan cara yang tak kasat mata, seringkali simbolik dan ritualistik.

Namun di tengah perubahan zaman—di mana pariwisata, media sosial, dan tekanan ekonomi datang bersamaan—kita perlu menciptakan bentuk baru dari harmoni: harmoni yang memberi tempat bagi kesedihan, kegagalan, dan pemulihan jiwa.

Jika Margaret Mead atau para antropolog penerusnya datang kembali ke Bali hari ini, mereka akan menjumpai pulau yang sangat berbeda dari yang mereka teliti hampir satu abad lalu.

Bali kini tak hanya ruang ritual dan upacara, tetapi juga ladang konflik antara adat dan pasar, antara spiritualitas dan eksploitasi.

Mereka akan menjumpai anak muda yang gelisah, perempuan yang merantau menjadi TKW, warga desa yang terhimpit utang, serta ODGJ yang masih dikurung karena dianggap aib.

Jika mereka datang dengan pendekatan yang sama seperti dulu—mengandalkan lensa kamera dan teori Barat—mereka bisa kembali keliru.

Tapi jika mereka datang dengan rendah hati, dan mau mendengar lebih banyak daripada menafsir, mereka mungkin akan belajar sesuatu yang dulu tak mereka pahami: bahwa orang Bali tidak sedang menyembunyikan emosi, melainkan sedang mengolahnya dalam bahasa simbol, doa, tarian, dan keheningan.

Dan jika antropolog muda—terutama dari Bali sendiri—yang kini mulai meneliti jiwanya sendiri, mungkin Bali akan ditulis bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek yang bercerita, menafsir, dan menyembuhkan dirinya sendiri. (*)

*Penulis adalah seorang penyintas Skizofrenia

 

 

 

 

Apa Komentar Anda?