
Hari itu Pak Deputi ada di kantornya, Lebaran sudah berlalu tiga minggu, malu-malu saya coba ketuk pintu kaca untuk menyapa.
“Eh mas Rangga, saya sholat dulu, boleh tunggu di ruang pertemuan ya” sapa Pak Deputi sekaligus mengarahkan saya ke ruang pertemuan, dibantu oleh stafnya.
Saya menghubungi beliau, Deputi 5 Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), setelah sekian tahun tidak bersua.
Kedeputian 5 membidangi koordinasi Penanggulangan Bencana dan Konflik Sosial, seolah posisi yang disiapkan untuknya. Selepas mengisi berbagai jabatan di BNPB, Pak Lilik kami memanggilnya, berpindah ke Kemenko PMK di bawah kepemimpinan Pak Pratikno, eks Mensesneg dua periode.
“Sukses Webinarnya ya mas, ada berapa total yang ikut?” tanya Pak Deputi setelah kami duduk, hanya berdua di ruangan itu. Saya paparkan keberhasilan Webinar 10 April menjelang Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) 2025, dilihat dari jumlah pendaftar yang mencapai 1.090 orang, dengan berbagai profesi dan asal daerah.
“Disparitas profesi ini mengagetkan Pak, ada sekitar 19 bidang profesi mulai dari BPBD, SAR, TAGANA, Guru dan Tenaga Kependidikan. Juga kalangan profesional ada pengacara ada dokter, bahkan pekerja informal seperti ojek online dan buruh harian ikut. Mitigator mereka ini Pak” saya pampangkan datanya sembari melihat raut Pak Deputi yang terbelalak.
“Banyak juga, ini mas Rangga klasifikasi ya?” kemudian beliau menceritakan momen inilah yang ia tunggu-tunggu sewaktu menjabat di BNPB, terutama pada masa kepemimpinanan Pak Doni Monardo yang melewati masa Pandemi Covid.
Pak Lilik sangat intensif memikirkan bagaimana Tenaga Kebencanaan yang dibutuhkan negara, dapat dikonsolidasi dan difungsikan tidak hanya sebagai relawan, melainkan juga sebagai tenaga terlatih yang bisa masuk ke dalam sistem.
“Pernah saya konsultasi dengan teman-teman Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan RB), mereka sampaikan tidak bisa nomenklatur relawan dimasukkan ke dalam sistem kepegawaian negara. Juga istilah fasilitator masih terlalu luas, sehingga istilah Tenaga Kebencanaan itulah yang diajukan. Kalau saat itu sudah diskusi dengan mas Rangga saya pilih istilah MITIGATOR ini” ujarnya seolah mengaminkan usulan saya untuk menggunakan kata Mitigator sebagai istilah yang mewakili kalangan relawan kemanusiaan yang bergerak di kebencanaan.
Tentang Mitigator
Mitigator diambil dari kata mitigasi, serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Menjaga Officium Nobile Profesi Advokat
Dalam Penanggulangan (manajemen) Bencana, mitigasi berlaku pada tahap Pra-Bencana. Demikian disebutkan dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sebuah paradigma baru dalam kebencanaan pasca bencana tsunami Aceh yang menewaskan ratusan ribu orang.
Mitigasi seolah menjadi mantra baru, menggerakkan masyarakat untuk berperan serta dalam Penanggulangan Bencana. Relawan kebencanaan bermunculan baik dari organisasi kerelawanan yang sudah lama seperti Gerakan Pramuka (Pramuka Peduli), Palang Merah Indonesia, dan organisasi keagamaan yaitu LPBI-NU dan Muhamadiyah (MDMC).
Dari lembaga filantrophy turut berpartisipasi seperti BAZNAS, Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, ESQ Kemanusiaan, Catholic Relief Service (CRS), Advent Development and Relief Agency (ADRA), Budha Tsuci. Kalangan NGO internasional yang berkiprah pada pendanaan humanitarian service dan perlindungan anak seperti UN-OCHA, UNICEF, Save the Children (SCI), Child Fund (CF), Good Neighbor (GNI), Plan (PII), getol mendorong mitigasi bagi kelompok rentan seperti anak, disabilitas, dan lainnya.
Di pemerintahan ragam instansi yang menangani kebencanaan tidak kalah semarak. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai otoritas penanggulangan bencana di Indonesia mengeluarkan aturan terkait klaster kebencanaan (terkini ada enam), yaitu pencarian dan pertolongan (Basarnas-Damkar), pengungsian dan perlindungan (Tagana Kemensos), logistik (Bulog-Dolog), kesehatan (Puskris Kemenkes), pendidikan (SPAB Kemendikdasmen), dan pemulihan (PU-PR, dll).
Ragam program seperti Keluarga Tangguh Bencana (Katana), Desa Tangguh Bencana (Destana), Kelurahan Tangguh Bencana (Keltana), dan Kecamatan Tangguh Bencana (Kencana) dicetuskan untuk memberikan arah mitigasi yang lebih jelas.
Kondisi Ketangguhan Bencana
Dengan berjibunnya lembaga-lembaga tersebut, pencapaian ketangguhan masyarakat menghadapi bencana masih jauh dari harapan. Sebagai tolok ukur misalnya jumlah Desa dan Kelurahan yang terpapar program mitigasi, baru 10% dari total 84.000 Desa dan Kelurahan di Indonesia.
Meski mengandalkan program Destana dan Keltana, perangkat setempat tidak kurun mengadopsinya dan masih gagap saat bencana terjadi.
Demikian pula dengan keselamatan sekolah (safe school) yang telah dibuatkan Peraturan Mendikbud serta Persekjennya, tentang Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Dari sekitar 500.000 satuan pendidikan formal dan non-formal, kurang dari 25% yang terpapar program SPAB.
Walau sudah berkali kejadian bencana menunjukkan peserta didik (anak sekolah) sangat rentan, juga pengalaman Pandemi Covid menunjukkan perlunya mitigasi sekolah, SPAB terseok.
Maka mitigator, baik dari instansi pemegang otoritas kebencanaan (disaster) dan kedaruratan (emergency) seperti BPBD, BASARNAS, Damkar, Tagana, Puskris, dari NGO lokal-nasional-internasional, kalangan profesional dan pekerja non formal, perlu diangkat untuk membangun ketangguhan masyarakat.
Pasca Pelatihan
“Buat Kelas Mitigasi yang bagus dan jaga kualitasnya ya mas Rangga” pesan Pak Deputi setelah hampir tiga jam kami berdiskusi, melempar ide, mengulik gimik. “Kualifikasi apa yang bisa membuat mitigator ini diserap sistem?” tanya beliau.
“Mitigator bisa naik kelas mengambil program Master Humanitarian Pak” ungkap saya menyambut tantangan Pak deputi. “Setelah mitigator menyelesaikan Kelas Mitigasi (Training of Mitigators) yang diampu oleh Akademi Mitigasi, tersedia program HSE MBA atau Master Humanitarian yang bisa diambil mitigator, seperti yang saat ini saya tempuh”
*Peserta program Roxbourg Humanitarian MBA, Switzerland
Pendiri Tenggara Foundation
Direktur Akademi Mitigasi
Be the first to comment