Menyimak Kisah Horor Suzzanna di Balinale Film Festival

Salah-satu adegan dalam film Suzzana - Repro on screen - IST
Salah-satu adegan dalam film Suzzana - Repro on screen - IST

DENPASAR, kanalbali.id – Ada banyak film dokumenter yang bisa ditonton serangkaian Balinale Film Festival di Icon Mall, Sanur 1-7 Juni 2025. Salah-satunya adalah Film “Suzzanna The Queen of Black Magic” karya sutradara David Gregory yang diputar pada Senin (2/6/2025) malam.

Saya sejak awal menetapkan hati untuk menonton film ini karena kenangan di masa lalu sebagai penggemar film horor yang tentu saja akrab dengan kisah-kisah yang diperankan Suzanna.

Kisah itu juga akrab dengan cerita-cerita keseharian karena saya dibesarkan di Yogyakarta sebagai salah-satu pusat kebudayaan Jawa dimana kisah-kisah mistis memiliki penggemarnya sendiri untuk diceritakan dari mulut ke mulut.

Tapi bahkan setiap pekan saya selalu menunggu tabloid  berbahasa Jawa “Joko Lodang” dimana di dalamnya terdapat rubrik “Jagading Lelembut” atau dunia mahluk halus.

Kisah kehidupan Suzzanna

Menyimak film ini, tentu jauh dari sekedar suntingan kembali terhadap kehororan film-film Suzzanna.

Sutradara mengawalinya dengan kisah Suzzanna sendiri yang sejak lahir ternyata telah menyediakan narasi gelap yang lumayan mengejutkan.

Suzzanna bersama kedua anaknya - Snapshot on creen - IST
Suzzanna bersama kedua anaknya – Repro on screen – IST

Bagaimana tidak.  Ayah dari pemilik nama Suzzanna Martha Frederika van Osch ternyata adalah seorang tentara Belanda yang jatuh cinta dengan gadis pribumi dari tanah sunda.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia, ayahnya tertembak mati dalam suatu pertempuran dan saat itu Suzzanna masih dalam kandungan. Belakangan, setelah Suzzanna lahir pada 13 Oktober 1942, sang ibu pun memilih untuk berlayar ke negeri Belanda karena khawatir akan keselamatannya.

Jadilah kemudian Suzzanna tinggal dengan neneknya di seputaran Buitenzorg atau sekarang Bogor, Jawa Barat. Dalam kesaksian teman-teman masa kecilnya, Suzzanna sudah menebar impian bahwa suatu saat dia akan menjadi bintang film terkenal. Penampialnnya selalu lincah dan bisa bergaul dengan siapa saja.

Sampai suatu hari dia menghilang begitu saja. Eh, tiba-tiba muncul di sebuah produksi film Usmar Ismail berjudul “Asmara Dara”. Film ini mengantaranya meraih
Penghargaan Aktris Cilik Terbaik (Best Child Actress) pada Festival Film Asia, Tokyo 1960. Pada masa ini, kehidupan Suzanna pun berubah karena dia memilih menikah dalam usia sangat muda dnegan Dicky Suprapto pada tahun 1959.

Dari film Sexy ke Film Horor

Seperti diungkap dalam film ini, selama tahun 60-an, film Indonesia relative sulit berkembang. Situasi politik yang bernuansa ideologis membuat cara pandang yang konservatif terhadap film Indonesia. Film dikiblatkan sebagai alat perjuangan dan bukan sarana ekspresi yang punya nilai komersial.

Situasinya berubah setelah terjadi tragedi politik tahun 1965. Pemerintah Orde Baru memberi kebebasan kepada investor asing untuk masuk ke dunia film. Para filmmaker pun lebih bebas dalam membuat film dan sensor menjadi lebih lunak.

Salah-satunya ditandai dengan genre film yang mengeksploitasi sensualitas. Suzzanna sempat moncer dalam genre ini ketika dia berperan dalam film “Bernafas dalam Lumpur” pada tahun 1970. Film ini menampilkan dunia pelacuran dan kekerasan seksual di dalamnya.

Poster film Suzzanna bergenre sensualitas - Snapshot on creen - IST
Poster film Suzzanna bergenre sensualitas – Repro on screen – IST

Setelah mendirikan Tidar Jaya Film bersama suaminya, Suzzanna membintangi film horor pertamanya berjudul “Beranak dalam Kubur” (1972). Film ini cukup mengejutkan khalayak film Indonesia. Namun, Suzzanna masih sempat menjajal kembali film bertema syahwat berjudul   “Napsu Gila” (1973).

Sampai disini karir Suzzanna sempat mengalami jeda karena kematian anaknya Ari Soeprapto pada 1977.  Rumah tangganya pun mengalami masalah yang berpuncak pada perceraian di tahun 1980.

Suzzanna baru bangkit dan mengukuhkan diri sebagai ratu film horor melalui penampilan pada film dengan judul “Sundel Bolong” ( 1981). Film ini sangat ikonik yang mengisahkan seorang wanita wanita bernama Alisa yang diperkosa dan kemudian meninggal secara tragis.

Setelah dikuburkan, ia kembali sebagai hantu sundel bolong (hantu wanita dengan lubang besar di punggung) untuk membalas dendam atas kematiannya yang tidak adil.

Berturut-turut kemudian ia membintangi film “Ratu Ilmu Hitam” (1981),   “Perkawinan Nyi Blorong” (1983),  dan   “Malam Jumat Kliwon” (1986).

Pada masa-masa ini mulailah beredar sejumlah kisah mistis di seputar dia yang juga diklarifikasi oleh suami keduanya Clift Sangra dalam film dokumenter ini. Seperti kebiasaan untuk makan bunga melati atau melakukan ritual khusus sebelum pembuatan fim.

Saat ditanya mengenai keberannya, Suzzanna menjawab santai,”Tidak semua hal harus diceritakan,” katanya.

Hubungan dengan Clift Sangra

Pernikahan kedua Suzzanna dengan Clift Sangra diawali dengan pertemuan mereka pada film “Sangkuriang” (1982).  Suzzanna berepran sebagai sebagai Dayang Sumbi (diperankan Suzzanna) dan Sangkuriang diperankan Clift Sangra.

Film ini berkisah tentang legenda seorang anak dibuang, Namun akhirnya mereka bertemu kembali dan tanpa sadar sang anak pun jatuh cinta pada ibunya.

Clift bercerita di dilm ini ada adegan ciuman diantara mereka dan dirasakannya memiliki arti tersendiri. Ternyata, Suzzanna merasakan hal yang sama sehingga akhirnya mereka melanjutkan hubungan sampai ke jenjang pernikahan.

Clift Sangra, suamin kedua Suzzanna - - Snapshot on creen - IST
Clift Sangra, suamin kedua Suzzanna – Repro on screen – IST

Hubungan ini menjadi problematik setelah anak dari suami pertama Suzzanna, Kiki Maria, juga memilih tinggal di Magelang. Konon agar Suzzanna lebih mudah bertemu dengan cucunya.

Meski hidup di rumah yang terpisah, hubungan mereka semakin tegang. Apalagi dengan adanya tuduhan bahwa Clift hendak membunuh Suzzanna.

Kisahnya memuncak ketika terjadi perkelahian antara Clift dengan suami Kiki Maria hingga Clift menembakkan pistol. Akibat kejadian ini, Clift sempat dipenjara.

Perseteruan bahkan terus berlangsung setelah Suzzana meninggal dan Clift memilih untuk melakukan pemakaman secara terbatas sesuai permintaan Suzzanna.

Di Balik Film Horor Suzzanna

Dalam film ini terdapat berbagai pandangan dari kalangan sineas film, akademisi hingga orang yang teribat langsung dalam pembuatan film.

Selain tinjauan politik yang melatarbelakangi film Suzzanna, film-film horor itu dianggap mewakili selera umum masyarakat Indonesia di era tahun 70-an hingga 80-an yang masih dekat dengan hal-hal mistis.

“Ajaran mengenai harmoni dalam masyarakat agraris bahkan memasukkan unsur dunia gaib yang harus dihormati dan dijaga agar tak menimbulkan masalah,” kata akademisi Universitas Gadjah Mada, Achmad Kharis Zubair .

Ada juga yang melihat film Suzzana mengandung semangat perlawanan kaum perempuan dimana mereka selalu kalah dalam kehidupan nyata dari kaum laki-laki. Lalu, baru setelah terjadi kemarin, si perempuan dapat melakukan tindakan dengan menampilkan diri sebagai hantu atau mahluk lain yang membalas dendam.

Dari sisi sinematografi, Suzzana mewariskan genre film horor yang mungkin tak akan terulang lagi karena perbedaan generasi penikmatnya. Suzzanna sendiri menjadi ikon yang tak tergantikan karena kuatnya karakter yang dimainkanya.

Tercatat artis Joice Erna sempat memerankan hantu dalam film “Sundel Bolong”. Pun demikian dengan Luna Maya pada seri Suzzana Reborn. Namun keduanya belum mampu melampaui ketenaran The Queen of Black magic. (kanalbali/RFH)

Apa Komentar Anda?